January 26, 2014

[Lampung Tumbai] Lingkaran Setan di Lampung

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda

P.P. Roorda van Eysinga tercengang melihat banyaknya orang yang menyandang gelar-gelar kehormatan di Lampung. Gelar-gelar itu dahulu kala diberikan oleh Sultan Banten kepada orang-orang yang setia kepadanya dan mampu menghasilkan banyak lada. Konon, ada pula orang-orang yang berhasil mengerahkan massa sehingga memiliki kekuasaan besar di suatu daerah tertentu.

Asisten-Residen Rademakers
di Sungai Tulangbawang, 1922.
(Tropen Museum, Amsterdam)
Bagaimanapun, daerah-daerah di Lampung terbagi-bagi ke dalam daerah-daerah yang masing-masing dikuasai oleh seseorang. Menghadapi entah berapa banyak kekuasaan otonom seperti itu, orang Belanda kebingungan.  Setiap upaya yang direncanakan untuk mengembangkan Lampung (demi mengisi kantong Hindia-Belanda) ditentang oleh orang-orang yang berkuasa itu.

Dahulu kala, orang bergiat menanam lada untuk mendapatkan gelar dan dukungan dari Sultan Banten dan kerabat dekatnya. Lada dari Lampung berlimpah-limpah. Akan tetapi, ketika perhatian sang Sultan beralih dan Belanda tidak pula datang membeli, jaringan produksi lada itu seolah-olah menjadi lumpuh. Kopi adalah hasil pertanian lain yang dicari Belanda. Namun, sekitar 1850-an, usaha penanamannya belum berhasil dengan baik.
Kegagalan penanaman kopi kemungkinan disebabkan oleh tanah yang tidak cocok untuk bibit kopi yang ditanam, tetapi juga karena para petani belum mengenalnya. Ini menurut Roorda van Eysinga.

Kini, kopi dari Lampung terkenal di mana-mana. Sejak kapan tanaman ini diperkenalkan di Lampung? Mengapa P.P. Roorda van Eysinga sempat menduga bahwa tanaman ini tidak cocok untuk lingkungan alam Lampung? Jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini pastilah akan kita temui di dalam tulisan lain.

Tanaman komoditas dagang lain yang diinginkan Belanda adalah kapas. Tanaman ini dikenal baik oleh setiap orang di Lampung karena pohon kapas tumbuh subur di sana. Entah sejak kapan kapas dari Lampung dibawa ke Banten untuk dijual. Nyatanya, kapas Lampung tadinya disukai dan banyak dijual di Banten karena harganya yang murah dan mutunya yang baik.

Namun, sejak orang Banten mulai menanam sendiri pohon-pohon itu, kapas dari Lampung tidak lagi dicari-cari. Sejak itu pula, kapas menjadi tidak menarik sebagai komoditas dagang bagi orang Lampung.

Pada pertengahan abad ke-19, penarikan pajak tanah (yang dikenal dengan istilah erfpacht) belum mungkin dilakukan di Lampung. Penduduknya terlalu miskin dan mereka terpencar-pencar tinggal di dusun-dusun berjauhan yang masing-masing terpisah oleh belantara yang lebat. Rawa-rawa dan belantara lebat itu harus dilewati siapa pun yang hendak menarik pajak. “Verschrikkelijk!” – menakutkan! kata P.P. Roorda van Eysinga.

Sebagian terbedar wilayah Lampung yang terbentang luas dan tertutup belantara dan rawa-rawa itu belum dibuka untuk permukiman ataupun pertanian. Wilayah itu bahkan sama sekali tidak menunjukkan adanya tinggalan purbakala atau tanda-tanda pernah diolah. Akan tetapi, manusia di Lampung tidak sebanyak pepohonan di belantaranya. Untuk membuka hutan-hutan itu diperlukan tenaga, sedang sumber daya manusia itu sangat terbatas.

Walaupun penyakit kolera—yang membumihanguskan banyak daerah lain—tidak menyerang Lampung, jumlah penduduk Lampung tetap tidak bertambah, bahkan sepertinya malahan berkurang. Aturan-aturan adat yang menyulitkan terbentuknya ikatan perkawinan menjadi penghalang besar bagi pertambahan penduduk.

Di dalam tulisannya, P.P. Roorda van Eysinga mencatat sebab-sebab kematian di 14 dusun dalam waktu empat tahun. Sebanyak 8.308 jiwa tinggal di keempat dusun itu pada awal pencatatan. Dalam waktu empat tahun, jumlah itu menjadi 8.928 jiwa dengan lahirnya 620 orang anak. Dari jumlah itu, 61 orang kemudian meninggal dunia karena dimangsa harimau, 15 orang dimakan buaya, 8 orang dibunuh oleh oknum yang tak dikenal, 7 orang menghilang—entah ke mana—dan 577 meninggal dunia karena sakit.

Catatan ini menarik direnungkan. Penyebab kematian yang terutama adalah penyakit. Sayang sekali, P.P. Roorda van Eysinga tidak mengaitkan angka-angka itu dengan usia karena bila ternyata bahwa yang terkena penyakit adalah penduduk berusia lanjut, hal itu dapat menunjukkan tingkat ketenteraman dan kemakmuran relatif keempat dusun tadi. Statistik pemerintah Hindia-Belanda lumayan lengkap.

Walaupun membaca statistik sangat membosankan dan seorang peneliti sering terkantuk-kantuk dan muak melihat deretan angka-angka dalam ratusan tabel, semua itu dapat memberikan gambaran yang relatif tepat dan menarik mengenai situasi masyarakat yang sebenarnya bila tabel-tabel itu dikaitkan satu sama lain. Datanya tersedia. Siapa yang bersedia dan tertarik mengolahnya?

Lingkungan alam Lampung tidak hanya baik untuk pertanian saja. Ibu Pertiwi mengaruniai Lampung dengan lingkungan alam yang sangat cocok untuk perdagangan. Lampung dikelilingi oleh pantai-pantai yang baik untuk dijadikan pelabuhan karena terlindung dari hantaman ombak.

Tiga buah sungai besar yang dapat dilayari sampai jauh ke pedalaman memungkin pengangkutan komoditas pertanian dan hasil hutan ke pelabuhan-pelabuhan itu. Itu kalau ada komoditas pertanian dan kehutanan yang dapat diperdagangkan.

Sekali lagi, kendala yang dihadapi sama: tidak ada hasil pertanian untuk dagang dan tidak cukup tersedia tenaga produktif untuk membuka hutan, mengolah dan menggarap lahan pertanian. Di mata Roorda van Eysinga, lengkaplah sudah lingkaran setan yang mengungkung Lampung pada waktu itu. n

Pustaka Acuan:
P.P. Roorda van Eysinga. “Beschouwing van den staat der nog weinig bekende Lampongs” dalam Verschillende Reizen en Lotgevallen van S. Roorda van Eysinga (Amsterdam: Johannes van der Hey & Zn. 1832). n

Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Januari 2014

No comments:

Post a Comment