January 5, 2014

[Lampung Tumbai] Mencari Jejak Masa Lalu

Oleh Frieda Amran


PENGANTAR REDAKSI
Mulai hari ini, Lampung Post Minggu akan menghadirkan rubrik baru bernama Lampung Tumbai. Rublik ini diasuh oleh Frieda Amran, penyuka sejarah dan penggila buku-buku tua yang kini bermukim di Belanda. Ia menyelesaikan studi di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1983, lalu meneruskan pendidikan ke negeri Belanda. Sesuai namanya, Lampung Tumbai yang berarti Lampung tempo dulu, rubrik ini dimaksudkan untuk mengisi kekosongan sejarah masa lalu Lampung. Tabik.

Walaupun tulisan mengenai Lampung dan daerah lain di nusantara tak terbayangkan banyaknya, masih terlalu sedikit yang diolah sebagai sumber data primer penelitian bahasa, sejarah, dan ilmu sosial di Indonesia.


EMPAT tahun yang lalu, saya diminta mengasuh rubrik Palembang Tempo Doeloe di harian Berita Pagi, Palembang. Rubrik itu berisikan artikel-artikel yang kuolah dari tulisan-tulisan orang Belanda dan Inggris dari abad ke-18 dan ke-19 mengenai Palembang. Sejak itu, ketika sebagian besar orang menatap lurus masa depan, aku justru mula menengok ke belakang—mencari jejak-jejak masa lalu.

Jejak-jejak itu tertinggal di halaman buku-buku usang di perpustakaan KITLV (Koninklijk Intituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde). Perpustakaan yang terdapat di Kota Leiden, Belanda, itu dikenal sebagai perpustakaan kedua di dunia yang memiliki koleksi buku dan dokumentasi terbanyak mengenai Indonesia. Koleksi buku, dokumen, dan naskah yang terlengkap terdapat di Indonesia sendiri, di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan Museum Nasional di Jakarta.

Walaupun tulisan dan dokumentasi mengenai seluruh wilayah nusantara—bahkan sampai pulau dan dusun yang terkecil—tersedia, dari dahulu kala dan bahkan sampai sekarang perhatian sebagian besar peneliti, penulis dan pengamat budaya mancanegara lebih banyak dicurahkan pada masyarakat dan kebudayaan di Pulau Jawa dan Bali. Hal ini tidak mengherankan. Pulau Jawa sejak dulu dijadikan dan dianggap sebagai pusat kekuasaan dan Pulau Bali sejak dulu menarik perhatian karena keindahan alam, kecantikan perempuannya dan budayanya yang memesona.

Hal itu menyebabkan daerah, masyarakat, dan kebudayaan lain telantar. Tim redaksi harian Lampung Post berniat mengatasi ketimpangan itu dengan menciptakan rubrik Lampung Tumbai yang akan diisi dengan tulisan-tulisan mengenai Lampung, masyarakat, dan kebudayaannya di masa lalu. Artikel-artikel di dalam rubrik itu dibuat dengan mengolah tulisan dan dokumentasi berbahasa Belanda sehingga sumber-sumber data kesejarahan dan ilmu sosial itu dapat dimanfaatkan oleh peneliti dan peminat sejarah, bahasa, dan budaya masyarakat Lampung.

Perpustakaan KITLV menyimpan sekitar 1534 tulisan mengenai Lampung  dalam bentuk buku, majalah, dan naskah. Buku tertua mengenai Lampung di perpustakaan itu ditulis oleh Johan Diederik Kruseman dan terbit pada 1817 (Kort Overzicht der Lampongsche ProvintiĆ«n, ingedient aan Kommissarissen Generaal over Nederlandsch IndiĆ«). Selain itu terdapat sepuluh buah naskah bertulis tangan tentang Lampung, peta-peta tua, dan dokumentasi visual yang teramat menarik sebagai bahan mentah untuk peneliti dan penulis mengenai sejarah masyarakat dan budaya di daerah Lampung.

Walaupun tulisan mengenai Lampung dan daerah lain di nusantara tak terbayangkan banyaknya, masih terlalu sedikit yang diolah sebagai sumber data primer penelitian bahasa, sejarah, dan ilmu sosial di Indonesia. Beberapa hal menjadi kendala. Pertama, hampir semua tulisan itu berbahasa Belanda. Bahasa Belanda kuno pula dengan kalimat-kalimat yang teramat panjang.

Tak jarang, satu kalimat memenuhi satu setengah halaman buku! Anak-anak kalimatnya berbelok ke sana kemari seperti anak-anak sungai yang keluar masuk dusun sehingga air Sungai Tulangbawang tak lagi tampak. Kendala bahasa itu menyebabkan bahwa para peneliti kita biasanya terpaksa mengandalkan pustaka acuan second hand, yang dibaca, diolah, dan diinterpretasikan oleh orang lain ke dalam bahasa Inggris yang lebih mudah dicerna.

Kendala kedua adalah sudut pandang dan titik tolak setiap peneliti yang mungkin sekali berlainan. Minat dan perhatian peneliti atau ahli sejarah mancanegara belum tentu sama dengan minat ahli sejarah kita sendiri. Biasanya yang dianggap sebagai “sejarah” oleh para akademisi adalah peristiwa-peristiwa besar di masa lalu yang dianggap penting, berpengaruh, dan menimbulkan perubahan terhadap kehidupan suatu masyarakat. Peristiwa-peristiwa penting itu dicatat dan dipaparkan sesuai garis linear dari tahun sekian sampai tahun sekian.

Sebagai orang awam, sebagian besar di antara kita hanya mengetahui bahwa “orang di Lampung” berada di bawah kekuasaan “orang Banten” dan Sultannya. Siapakah orang Lampung yang dimaksud? Seperti apakah sosok orang Lampung itu? Apakah mereka tertekan dan merasa takut ketika menghadapi Sultan Banten? Bagaimana pula perasaan mereka ketika orang Belanda yang berkulit putih dan berhidung mancung datang dengan kapal-kapal layar yang besar? Apakah orang Lampung dulu berbeda sama sekali dengan orang Lampung sekarang ini? Apa perbedaannya? Dan, apa pula yang masih terus bertahan dan tak berubah?

Ketika membahas deretan peristiwa dalam rentang waktu ratusan dan ribuan tahun, tentunya ahli-ahli sejarah tak mungkin lagi memberikan perhatian pada detail-detail kecil yang menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Namun, pertanyaan-pertanyaan di atas sering menghantuiku. Ternyata, buku-buku usang di perpustakaan KITLV menyimpan jawaban atas semua pertanyaanku!

Mengapa sebagian naskah-naskah kuno kita dan banyak dokumentasi mengenai Indonesia kini tersimpan di perpustakaan dan arsip negeri Belanda? Sebagian naskah itu disimpan oleh Residen atau pejabat Belanda yang bertugas di suatu daerah. Naskah-naskah dan dokumen-dokumen itu kemudian dibawa pulang ke negerinya ketika masa kerja mereka di nusantara berakhir.

Hampir semua naskah kuno di perpustakaan KITLV merupakan hibah waris dari keturunan mantan pejabat-pejabat Hindia-Belanda. J.A. van Rijn van Alkemade yang lama tinggal di Residensi Palembang membawa beberapa naskah Palembang ke Aceh ketika ia pindah ke daerah itu. Di sana, naskah-naskah itu dihadiahkannya kepada Snouck Hurgronye pada 1898. Ketika Snouck Hurgronye meninggal dunia, ahli warisnya menyerahkan naskah-naskah kuno itu kepada perpustakaan KITLV.

Namun, tak semua orang membawa koleksi naskah mereka ke negeri Belanda sebagai kenang-kenangan. Beberapa orang menghibahkan koleksi mereka kepada Bataviaasche Genootschap van Kunst en Wetenschappen (Ikatan Seni dan Ilmu Pengetahuan di Batavia).

Setelah kemerdekaan, koleksi naskah lembaga ini menjadi bagian dari koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan Museum Nasional. Akan tetapi, tak banyak lagi orang yang dapat membaca naskah-naskah dan buku-buku tua berbahasa Belanda itu.

Di dalam rubrik Lampung Tumbai, kita akan bersama-sama membuka kembali lembaran-lembaran usang buku-buku tua di perpustakaan Belanda itu. Sedikit demi sedikit, kita akan dapat mengenal Lampung ketika sebagian besar tanahnya masih tertutup rimba belantara dan nenek-moyang kita terbiasa menghadapi harimau dan gajah di pinggir ladangnya. Dengan cara itu, semoga perhatian dan kecintaan kita kepada kekayaan budaya yang ditinggalkan oleh leluhur dan nenek-moyang kita dapat ditingkatkan. n

Pustaka Acuan:
Roorda van Eysinga. Beschouwing van den staat der nog weinig bekend Lampong, een deel van de residentie bantam uitmakende

Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Januari 2013

No comments:

Post a Comment