January 19, 2014

[Refleksi] Tabiat

Oleh Djadjat Sudradjat


Djadjat Sudradjat
LAMPUNG adalah sebuah paradoks.  Di sini segala pemangku kepentingan bisa saling bertemu, tapi agaknya tak saling "bertegur sapa". Ia membaur tapi tak melebur. Ia tetap dalam "mimpi" sendiri-sendiri. Seolah mengikuti  geografi dengan gunung, laut, dan huma yang terlihat  saling memandang, tapi tak saling bicara.
   
Bandar Lampung juga telah menjelma menjadi kota yang padat dan riuh. Penuh mal, minimarket, dan ruko.  Ia serupa kota-kota lain yang tengah bertumbuh dengan identitas yang tak jelas. Serbabergegas, tanpa ruang "berhenti" untuk berkontemplasi. Miskin perspektif kultural dalam membangun kota untuk mengajak kita mengenali diri  sendiri: Lampung yang agung! Memang ada penanda siger yang dipasang di bagian depan bangunan. Tapi, di balik itu seperti tak ada kebanggaan budaya  yang menggetarkan  sukma.
   

Ke manakah Lampung hendak dibawa? Adakah para pejabat daerah di sini tengah menjadi inspirasi dalam mengambil solusi? Saya sejujurnya gelisah dalam soal ini. Karena mereka beberapa kali gagal mengatasi problemnya sendiri (Lampung). Lampung seperti disandera oleh ego para elitenya.  Ia seolah tengah mengamalkan semboyan ini: "Aku berkuasa, maka aku ada!"
   
Mari kita bicara satu contoh: agenda pemilihan gubernur. Ia menjadi hajat penting yang berlarut, penuh tarik-menarik. Di sini kepastian menjadi nisbi. Spirit mencari solusi seperti  mati. Semula pemilihan gubernur direncanakan 2 Oktober 2013, mundur menjadi 2 Desember 2013, dan yang terbaru 27 Februari 2014. Ini pun kemungkinan mundur lagi. Bahasa apa yang paling tepat untuk tidak mengatakan, "Sepakat untuk tidak sepakat"? Tak ada preferensi lain kecuali yang ada dalam subjektivitasnya sendiri-sendiri.
   
Ruang publik pun serupa layar raksasa yang hanya menayangkan kegaduhan tapi miskin kebersamaan. Kekuasaan serupa kutub. "Aku gubernur',  "aku KPU", "aku Panwaslu", "aku DPRD". Juga "aku bupati" dan "aku wali kota". Bagaimana mungkin dalam "keakuan" seperti itu  otonomi daerah bisa  mempercepat kemakmuran publik dan merekatkan keindonesiaan? Padahal, inilah tujuannya.
   
Bagaimana kita menafsirkan tayangan di layar raksasa ruang publik seperti itu? Ketika para elite di sini tak bisa berkomunikasi secara produktif tentang hajat penting  pemilihan gubernur?  Bagaimana mengelola negara serupa ini?  Sebuah jadwal, apa pun, bisa berubah, tentu saja, karena ia memang bukan kepastian matematika. Tetapi,  "elastisitas" ini jelas karena egoisme kekuasaan yang membatu.  Sebab, komunikasi telah  majal. Dan kepentingan bersama dikorbankan.
   
Maaf, saya tak melihat ini semata soal perebutan kepentingan sesaat hari ini. Ia agaknya tabiat yang kian bertumbuh menjadi "kultur jalan sendiri" ketika kekuasaan berada di tangan.  Inilah ekspresi dan laku kekuasan yang tak memuliakan publik, tetapi memuliakan diri sendiri. Kekuasaan yang telah kehilangan makna publik!
   
Fail-fail dalam politik Lampung di masa reformasi  membuktikan potret itu. Kita ingat cerita tentang calon bupati terpilih tapi digagalkan. Cerita calon gubernur terpilih dipolisikan. Cerita gubernur dan DPRD provinsi saling berteguh berebut kebenaran ( SK-15). Cerita saling meniadakan antara gubernur dan wakil gubernur. Memang tak mungkin membangun harmoni seutuhnya dalam tugas yang berbeda-beda. Tetapi bukankah kekuasaan apa pun yang dibiayai oleh  uang rakyat, sudah seharusnya titik tuju utamanya adalah untuk rakyat? Di titik ini mestinya mereka bertemu.
   
Kita tahu, modal utama mengelola negara adalah saling bekerja sama. Ada yang secara konstitusi lebih tinggi, sejajar, dan di bawah. Yang di atas tak boleh tinggi hati. Yang sejajar tak boleh merasa bisa saling menghajar. Yang di bawah tak boleh menjadi bebek karena kehilangan nyali mengoreksi. Mimpi dan orientasi mereka haruslah hanya satu: publik.
   
Kini kita hidup di masa ketika para pemimpin publik tengah dikoreksi habis-habisan karena kesadaran global warga negara. Kemajuan teknologi telah mampu membantu menjadi semacam "makhluk halus" yang bisa menelusup  ke mana dan apa yang dilakukan para pejabat publik di ruang-ruang gelap kekuasaan. Masa pemimpin yang hanya piawai membusungkan dada telah usai. Ia harus dikubur dalam-dalam!
   
Karena itu, kita berharap pemilu dan pemilihan gubernur nanti benar-benar menjadi momen untuk mendapatkan para pengelola negara dan pemerintahan yang punya makna publik tinggi. Elite yang menjadi inspirasi bagaimana pemimpin seharusnya bekerja. Karena itu, kita butuh pemilihan umum yang jauh dari laku transaksional. Pemilih yang tak bisa dibeli dengan kekuatan apa pun kecuali karena kecakapan, kompetensi, dan integritas yang dipilih. Kita ingin Lampung berlari, tapi juga tak lupa berkontemplasi agar selalu tahu ke mana sesungguhnya provinsi  ini hendak dibawa. N

Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Januari 2014

No comments:

Post a Comment