Oleh Djadjat Sudradjat
SETIAP pribadi punya mimpi dan pesonanya sendiri. Dan setiap pesona juga punya cara untuk memancarkan marwahnya. Agaknya juga Rahmad Darmawan, nama yang tengah mencuat di langit sepak bola Indonesia. Rahmad, seorang pelatih, orang yang punya kuasa. Tapi, juga orang yang setiap saat siap dimaki secara terbuka. Berkuasa tapi juga siap dicerca. Dua kata yang memang kerap berdampingan bagi seorang pelatih.
Namun, Rahmad punya cara yang lentur mengelola kuasa itu. Ia tak menghardik anak asuhanya yang, mungkin, bermain tak apik. Ia juga tak menuduh mereka yang tak patuh. Ia terus meneguhkan spirit anak-anak yang rapuh dengan menggali potensi dan menata emosi yang, bisa jadi kerap berfluktuasi.
RD, demikian ia dipanggil, seperti galibnya orang-orang ternama disapa, dengan inisial huruf depan setiap kata, kadang juga akronim, atau yang lain, adalah pelatih-pendidik. Komunikasi dan bukan indoktrinasi, dialog dan bukan monolog, adalah andalannya dalam bekerja. Sebab, berkomunikasi bisa menggali potensi dan dialog memecahkan kejumudan aneka persoalan.
Dalam melatih, RD tak semata bicara bola, tapi bicara manusia, dan problem manusia sungguhlah kompleks. Tapi, ia membuka diri untuk anak asuhannya menceritakan urusan manusia yang kompleks itu, jika memang perlu soal pacar atau keluarga, misalnya. Ia paham, kitaran usia tim Garuda Muda, 18—23 tahun: usia yang dalam kacamata psikologi memang “rawan emosi”. Dan jika tak diatasi, bisa jadi kendala performa.
Menengok biodata RD, yang lahir di Desa Tanggulangin, Punggur, Lampung Tengah, 26 November 1966, adalah pemain tim nasional 1980-an dan 1990-an. Tapi, saya tak mendegar gema namanya di percaturan sepak bola Indonesia di kurun waktu itu. Mungkin juga karena saya bukan pemerhati bola. Berbeda dengan beberapa nama, seperti Ronny Patinassarani, Andi Lala, Nobon, dan Sutan Ricky Yakobi, yang akrab di telinga pada zamannya. Padahal, ia atlet plus: sarjana lulusan Fakultas Olahraga Kesehatan IKIP Jakarta (kini Universitas Negeri Jakarta) dan tentara Angkatan Laut, kini berpangkat kapten (Marinir).
Tentulah latar belakang itu jadi modal penting menekuni kepelatihan. Selain di dalam negeri, ia menimba ilmu di Malaysia dan juga Jerman. Cerita sukses RD bisa dilihat jejaknya, antara lain membawa Persipura dan Sriwijaya FC juara. Tetapi, yang kian membuat namanya jadi buah bibir ketika timnya tampil mengesankan di laga SEA Games ke-26 yang baru lalu itu.
RD melambung bukan karena “keberhasilan” sesuai target, capaian yang jadi keharusan dalam dunia usaha, tapi karena ia dengan jujur mengatakan, ia pelatih gagal. “Saya gagal karena hasil Garuda Muda dalam SEA Games kali ini tak sesuai target. Target sepak bola Indonesia kan medali emas,” kata lelaki yang hobi bertopi itu. Oleh sebab itu, ia dengan rendah hati “menampik” upaya “promosi” untuk dirinya.
Yang “berhasil” dan yang “gagal” memang tak selalu beroposisi ekstrem, tetapi bisa juga lentur. RD memang gagal mempersembahkan emas, yang juga seolah-olah telah menjadi “harga mati” bagi para pencinta Tim Nasional, tapi kekalahannya atas Malaysia dalam laga final bukan kegagalan yang penuh. RD, yang rendah hati itu, memang tak “sukses” merebut emas, tetapi ia “berhasil” meracik talenta anak-anak muda menyuguhkan permainan yang impresif. Para penggila bola jadi penuh harap pada lelaki yang suka menyanyi ini. Ia diyakini punya potensi menghidupkan kembali sepak bola nasional yang selama dua dekade meredup.
***
SEPAK BOLA kini memang telah menjadi permainan yang lintas bangsa. Sudah sangat umum para pelatih tim nasional di berbagai negara dikomandani para pelatih dari aneka bangsa. Tapi, dalam konteks Indonesia, kepercayaan yang diberikan kepada RD kali ini punya arti penting. Setidaknya, pertama ia memperlihatkan tak semua yang luar negeri jadi jaminan mutu. Kedua, membangkitkan semangat percaya diri kepada apa yang disebut “dalam negeri”. Sebab, problem bangsa-bangsa jajahan, seperti kata para antropolog, mengidap kompleks inferioritas. Ia baru percaya diri jika luar negeri mengakuinya. Inilah senomania yang berpotensi meruntuhkan diri sendiri.
Saya kira jika diberi kepercayaan, RD adalah harapan sepak bola kita. Jawaban-jawabannya atas pertanyaan Lampung Post yang mewawancarainya di sela-sela persiapan laga di babak semifinal melawan Vietnam (18-11), membuat harapan itu tak berlebihan. Awalnya ia menyaring 50 pemain, umumnya mereka kalah bersaing dengan para pemain asing di klub masing-masing. Lalu dikerucutkan jadi 40, 27, dan terakhir 23 nama. Tapi, atas keinginan menjadi bagian untuk mengharumkan bangsa, para pemain minta 27 nama itu tetap dipertahankan. Dan RD dengan penuh haru setuju. “Kami ingin ikut menjadi bagian dari tim untuk bangsa ini,” kata para pemain seperti ditirukan RD. (Lampung Post, 20-11). Di tangan RD mereka jadi “berbunyi”.
Hanya tiga bulan RD menyiapkan timnya. Sementara kucuran dananya pun tersendat-sendat. Dalam kondisi seperti itu tak mungkin menyiapkan tim dengan syarat ideal. Rencana 16 kali uji coba, 10 dia antaranya laga persahabatan di luar negeri, hanya jadi mimpi. Laga di negeri orang hanya terlaksana tiga kali. Bandingkan dengan Malaysia yang mempersiapkan tim selama dua tahun dan kaya akan laga persahabatan. Bagi tim baru, pertandingan luar negeri amatlah penting untuk mengukuhkan mental. Bukankah urusan mental memang problem umum para etlet kita. Problem bangsa-bangsa bekas jajahan!
Tentu RD tak hendak berapologi, tetapi kenyataannya Indonesia memang dua kali dihempaskan Malaysia dalam SEA Games yang baru usai itu. Ada kemiripan suasana dan harapan publik kali ini dengan Piala AFF tahun lalu, ketika Indonesia begitu cemerlang mengalahkan musuh-musuhnya, tetapi pada akhirnya kalah dari dari negeri jiran itu. Kekalahan beruntun yang kian menyulut akumulasi emosi untuk membalas setiap kedua tim bertemu di masa datang.
RD benar, dalam soal apa pun, apalagi sepak bola, prestasi tak mungkin hadir dengan jalan pintas. Setidaknya ada empat hal yang harus mendapat perhatian khusus. Pertama, kualitas kompetisi harus lebih banyak dan skup lebih luas. Kedua, sarana yang lebih memadai. Ketiga, pembinaan pemain-pemain muda secara sistematis. Keempat, pendidikan untuk pelatih. Sementara di negeri ini seperti ada kecenderungan umum. ingin hasil bagus tanpa peduli prosesnya.
Mengenai bibit pesepak bola, Indonesia, kata RD, tanah yang subur, tetapi bakat-bakat itu kerap melisut. Ia tak menjadi buah karena tak diurus serius. Negeri ini begitu banyak pelatih, tetapi umumnya autodidak, dan tak bisa ikut mengembangkan olahraga yang berbasis ilmu. Biaya pendidikan kepelatihan memang mahal, dan seperti pengalaman RD, ia harus merogoh kocek sendiri ketika menimba ilmu kepelatihan di Jerman. PSSI harus mulai membiayai para pelatih muda yang bertalenta bagus untuk menjadi lokomotif sepak bola Indonesia yang penggemarnya luar biasa itu.
RD, yang tetap mencintai tanah kelahirannya, menyimpan obsesi membangun sekolah sepak bola di Lampung dengan kompetisi yang ketat. Beberapa tahun lalu ia pernah merintis kompetisi di kampungnya dan berjalan bagus, tapi tangan-tangan yang tak paham bola merusaknya. Ia pun mundur. Padahal, katanya, Lampung punya banyak bibit pemain bola yang bagus. Dari kampung RD saja kini ada beberapa pemain di PSSI Junior. Coba kalau ada upaya serius di banyak daerah.
RD, kini ia tengah dibutuhkan untuk kepentingan yang lebih besar: Indonesia. Selain menjadi pelatih Garuda Muda (juga Persija), ia juga masih menangani program Indonesia Prima dengan 900 siswa di Bandung. Mestinya para elite di Lampung memberinya apresiasi. Suatu waktu ia bisa “diberi tugas” membangun persepakbolaan Lampung yang lama tak terdengar itu.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 December 2011
No comments:
Post a Comment