PAMERAN dan Dialog Perupa se-Sumatera X di Kota Jambi, 29 September-3 Oktober, menyisihkan sebuah kesadaran baru. Kalangan perupa dan penikmat karya seni tidak ingin lagi kegiatan ini menjadi sekadar ajang kangen-kangenan. Mereka berharap suguhan ide-ide baru muncul, dalam upaya menunjukkan ragam aksen rupa Sumatera.
Namun, seperti keresahan Kohar, perupa asal Sumatera Selatan, 40 karya rupa yang tampil di Taman Budaya Jambi tersebut belum menyiratkan aksen yang dipengaruhi daerah tempat para perupa ini. "Saya percaya perupa mestinya dipengaruhi lingkungannya, tapi saya tidak melihatnya di sini," tuturnya dalam dialog yang berlangsung Selasa (30/10).
Kohar menganalogikan dengan bahasa lisan yang di Sumatera sangat beragam aksennya. "Tapi kenapa dalam bahasa rupa, saya tidak melihat aksen itu?" ujarnya.
Joko Irianta, perupa asal Lampung berpendapat senada. "Kegiatan ini bukan hanya forum kangen-kangenan, tapi lebih dari itu, untuk membangun keragaman seni. Saya melihat setelah 10 tahun kegiatan ini dilaksanakan, differential of arts itu tidak muncul," tuturnya.
Adi Rosa, perupa yang menjadi pembicara dalam dialog tersebut, berpendapat bahwa aksen pada karya dapat muncul ketika seorang perupa mau belajar sejarah. Kepekaan intelektual terhadap lingkungan sekitarnya diperlukan, untuk kemudian dapat tertuang dalam bahasa rupa.
Adi Rosa menduga mandeknya kualitas karya para perupa se-Sumatera ini, mungkin disebabkan persoalan lemahnya manajerial.
Untuk pendapat kedua ini disepakati Subarjo, perupa asal Lampung. Ia merasakan bahwa manajemen kesenirupaan sering terabaikan. "Sampai-sampai kita lupa kapan terakhir melukis. Lalu ketika ada pameran, kita tergagap-gagap," tuturnya.
Sejumlah perupa lalu mengira-ngira, penyebab mandeknya kualitas karya yang dipamerkan, karena sejak dua tahun terakhir, upaya panitia untuk memberikan nilai tambah, misalnya saja dalam bentuk penghargaan untuk penampilan karya terbaik, tidak lagi ada.
Namun, persoalannya tidak sekecil itu. Erwan Suryanegara, perupa dari Sumsel, mencoba membandingkan karya lukis dan karya patung di dataran tinggi Pasema pada masa megalithikum. Ia melihat, meski patung-patung tersebut dibuat dalam tema yang sama, hasil perupaan yang diciptakan memiliki warna berbeda-beda. Ia lalu menyimpulkan hal serupa dapat berlaku dalam karya seni lukis. Ia menyebutnya jamak tunggal.
Ja’far Rasuh, penggagas Pameran dan Dialog Perupa se-Sumatera X ini berpendapat, seluruh karya rupa terlahir dengan sendirinya. Bahwa sentuhan lingkungan itu pasti ada, sehingga hasil karyanya menunjukkan nuansa kelokalan, dan tidak akan sama tiap perupa.
Kritikus seni rupa dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Suwarno Wisetrotomo, menyatakan, yang lokal dan unik serta spesifik merupakan pesona. Itu yang mestinya diangkat. (ITA)
Sumber: Kompas, Kamis, 1 November 2007
No comments:
Post a Comment