bejuta hanipi ngeringkol dilom hati:
"jadikon hurikmu ngedok reti
jama niku, ulun tuhamu, rikmu
jama sapa riya!"
"APA artinya," tanya Pak Dian Komarsyah, pembimbing saya ketika membaca bait puisi ini dalam lembar halaman motto di skripsi berjudul "Hubungan Komitmen dengan Penegakan Disiplin Pegawai Negeri Sipil" sebagai tugas akhir di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung (1996).
Pak Dian wajar tidak mengerti petikan sajak Kehaga I (Damba I) yang saya cantumkan itu karena ia memang tidak beretnis Lampung. Dan, saya juga yakin meski sudah lama di Lampung, dia sangat jarang mendengar orang bertutur dengan bahasa Lampung.
Tapi, yang terjadi ini: Ayah-ibu saya Lampung yang paseh berbahasa Lampung. Tapi, saya tidak bisa berbahasa Lampung. Di rumah sehari-hari berbahasa Indonesia. Dan, saya tengah memperdalam kemampuan berbahasa Inggris saya.
Ah, itulah yang terjadi pada anak saya, keponakan-keponakan saya, dan beberapa generasi tahun 1980-an hingga kini.
***
Meskipun tulisan ini jauh dari ilmiah, tetapi saya perlu menyampaikan beberapa istilah yang saya pakai dalam tulisan ini.
Sastra Lampung merujuk pada sastra yang ditulis dengan menggunakan bahasa Lampung. Sebab, sastra adalah seni berbahasa. Sastra Lampung berbahan baku bahasa Lampung. Karena itu tidak saya tulis dengan "sastra berbahasa Lampung". Dengan begitu, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menggunakan bahasa Lampung dalam kerja kesesusastraan (proses kreatif)-nya.
Turunan dari (sebagai bagian dari/salah satu jenis) sastra Lampung adalah puisi/sajak Lampung. Puisi Lampung jelas ditulis dengan bahasa Lampung, sehingga tidak harus dipanjangkan "puisi berbahasa Lampung" atau "sajak berbahasa Lampung". Dan karena itu, penyair Lampung adalah penulis puisi yang menuliskan syair (sajak/puisi) dalam bahasa Lampung.
Batasan ini saya pakai hanya dalam tulisan ini.
***
Sekarang saya hanya mau bercerita bagaimana saya bersentuhan dengan sastra Lampung atau lebih spesifiknya puisi Lampung sejak masih lahir. Orang Lampung harusnya bisa bersyukur karena nenek moyang yang sangat kreatif. Mereka mewariskan suku Lampung dengan sistem budaya, bahasa, sastra, dan aksara.
Sebuah warisan yang tidak ternilai harganya sebenarnya. Tapi, kebanyakan kita orang Lampung atau setidaknya yang mengaku Lampung (soalnya banyak juga yang malu menyatakan diri Lampung) tidak menyadari ini.
Tapi, saya beruntung (atau malah sebuah 'kesialan') lahir di Liwa, sebuah tempat yang -- kata istri saya sendiri -- terlalu jauh dari Bandar Lampung. Dulu, seingat saya saya, hampir tidak pernah menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa lain dalam kehidupan sehari-hari, kecuali di ruang kelas sekolah.
Saya mendengar semua orang berbicara dalam bahasa Lampung, meski ada sedikit saja yang menggunakan bahasa Indonesia. Petani, pedagang, pegawai negeri, polisi, tentara, apa pun profesi mereka, tetap berbahasa Lampung. Di pasar, di kantor, di sekolah, di ladang, di terminal, di mana saja yang terdengar bahasa Lampung.
Dalam setiap ucapan orang-orang itu -- sungguh baru saya sadari beberapa tahun kemudian -- saya menemukan puisi. Puisi Lampung!
Jangankan di upacara-upacara adat yang menuntut kemampuan berbahasa Lampung yang mumpuni; dalam percakapan sehari-hari pun sesungguhnya orang Lampung seperti tengah berpuisi.
***
Masih di SMP saya menemukan sebuah buku tua yang hampir terbuang. Sebuah buku tentang aksara Lampung (Kaganga) karangan Moehammad Noeh. Waktu itu bahasa Lampung belum lagi menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah, sehingga saya pun tidak pernah belajar secara resmi membaca dan menulis huruf Lampung itu di sekolah.
Saya penasaran. Secara otodidak, saya pelajari sendiri buku itu, bagaimana membaca dan menuliskannya. Karena jarang saya pergunakan, saya tidak terlalu mahir menggunakan huruf Kaganga ini.
Tapi, huruf Lampung ini cukup membekas dalam ingatan saya. Apalagi ketika Pemerintah Provinsi Lampung kemudian menjadikan bahasa Lampung -- sebenarnya cuma huruf Lampung -- sebagai pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah. Saya jelas, tidak bersekolah lagi.
***
Dalam ingatan saya, puisi Lampung bisa kita dengar ketika muli-meranai segata (berbalas pantun) dalam nyambai (di tempat lain nama yang mirip: miyah damar, cangget bara, dan sebagainya). Puisi juga saya dengar ketika orang-orang tua burasan (melamar), buhimpun (bermusyawarah), butetah (pemberian adok), serta dalam rangkaian berbagai upacara adat dari lahir, sunat, menikah hingga meninggal.
Ada pula setekut/sesiah (berbicara dengan batas dinding antara muli dan meranai di tengah malam) yang penuh bahasa puisi.
Seorang yang hendak menikah tetapi melangkahi kakaknya mampu melahirkan puisi. Seorang yang ditinggal orang yang sangat ia kasihi menghadirkan puisi. Seseorang yang tengah bergembira membuahkan puisi. Seseorang yang jatuh cinta menelurkan puisi. Orang sakit diobati dengan memmang (mantera). Pendeknya, puisi lahir kapan dan dimana, dan oleh siapa saja.
Tapi, tidak ada yang berani berani berkata, "Saya penyair." Sebab, puisi lahir sebagai sebuah spontanitas saja. Untuk merayu seorang muli yang sedang lewat, misalnya. Puisi lahir seperti angin lewat saja. Setelah itu, dilupakan tidak apa.
Lain waktu akan lahir puisi baru lagi.
***
Tibalah saatnya saya memasuki kehidupan urban Bandar Lampung selepas SMP. Bandar Lampung! Saya tidak perlu bercerita lagi tentang bagaimana kehidupan di Bandar Lampung. Yang jelas, saya semakin sulit menemukan puisi Lampung dalam keseharian di kota ini, kecuali di komunitas yang sangat kecil di tempat tinggal saya di Pakis Kawat dulu.
Rindu saya terhadap puisi Lampung sesekali memang terobati saat pulang pekon mengikuti rangkaian nayuh (pesta pernikahan) dan acara muli-meranai (nyambai).
Tapi, kini acara-acara penuh puisi itu sudah semakin jarang. Berganti dengan organ tunggal, dangdut, dan kesibukan kaum muda berkunjung ke tempat-tempat hiburan dan rekreasi. Anehnya, meski sering mendatangi tempat-tempat indah, kita tetap tak mampu berpuisi. Hahahaa….
***
Ada lebih dari 30 jenis sastra lisan Lampung, kata pengamat sastra Lampung.
Wah, buat sastrawan Lampung atau penyair Lampung, jelas ini (seharusnya) menjadi stok bahan bakar yang banyak untuk berpuisi ria. Saya merindukan puisi Lampung. Tapi, rasanya tidak mungkin saya selalu hadir ketika orang-orang Lampung tengah berpesta puisi.
Maka, tidak ada jalan lain, puisi Lampung itu harus ditulis, dikreasi ulang, diperkaya dengan imaji baru. Ya, puisi Lampung atau sastra Lampung harus memasuki era yang lebih modern dengan ciri utama: keberaksaraan, tidak anonim, kebaruan (walau tetap tidak melupakan ruh kelampungannya), dan mungkin juga semangat perlawanan (pemberontakan atas kemapanan).
Semoga.
* Udo Z. Karzi, perantau yang selalu merindui puisi Lampung
Dimuat di Lampung Post, Minggu, 24 Februari 2008
Ha ha....
ReplyDeletesaya merasa menemukan oase pada kerinduan Udo. Dan taukah? bahwa indahnya kerinduan akan sirna jika diterpa pertemuan. Maka, saya, berusaha menikmati ketiadaan puisi- puisi Lampung itu.
Pada tulisan saya tentang "Defamiliarisasi Tari Bedana" ada fakta tentang, misalnya para tokoh adat di sekitar saya yang justru nanggap Organ Tunggal dg goyangan binal ketimbang menanggap seni tradisi.
Yang berarti, saya mengajak Udo untuk menikmati saja kepunahan itu, sebab dg itulah batin kita dapat dicekam kerinduan yang indah.
Yah, daripada memimpikan dan keras memperjuangkan tradisi tapi yang didapat malah hujatan...
ah, anak muda... jangan pula menjadi vatalis.
ReplyDeletetulisan saya justru mau bilang: puisi lampung masih ada. dan kita (atau saya sendiri?) harus tetap terus menulis puisi.
saya menulis maka saya ada. menuls toh pekerjaan membuat sejarah. (kalo kita masih berkutat pada kelisanan, kita masih berada di zaman prasejarah).
yah, baru segitulah kita. masih pada tatanan eksistensialis.
hidup toh harus punya jejak.
akan halnya perjuangan, mengapa pula kita berhenti karena hujatan?