BANDAR LAMPUNG (Lampost): Guru Bahasa Indonesia kini cukup sulit menyosialisasikan sastra, terutama puisi dan metode penulisan puisi di sekolah, sehingga pemahaman pelajar terhadap puisi sangat terbatas hanya pada pengungkapan perasaan.
Penyair Inggit Putria Marga mengemukakan hal tersebut usai melakukan penjurian lomba penulisan puisi yang digelar dalam rangka Pekan Seni Pelajar Lampung (Peksipel) di Universitas Lampung, Rabu (20-2). Kondisi tersebut terlihat dari karya-karya puisi yang dikirimkan para siswa. "Secara kuantitas, jumlah peserta yang mengikuti lomba penulisan puisi ini sangat banyak karena mencapai jumlah ratusan karya. Namun memang bila berbicara kualitas, masih sangat jauh dari yang diharapkan," kata Inggit.
Dia menjelaskan pada umumnya karya puisi para siswa yang ikut lomba tersebut masih terbatas pada pengungkapan perasaan mereka. "Karya mereka masih 'telanjang' dan sangat remaja. Diksi-diksi yang digunakan masih verbal, bahkan kalau bisa dikatakan lebih mirip seperti curahan hati atau curhat," ujar dia.
Belum lagi bila itu berkaitan dengan penyusunan dan penggunaan kalimat yang terlihat masih sangat lemah. "Tidak hanya pada pemilihan metafora terhadap karya yang diambil, tapi juga kesalahan dasar bahasa. Misalnya, masih bingungnya pelajar pada persoalan imbuhan, penempatan kata sifat dan benda, awalan yang semuanya masih sangat berantakan," ujarnya.
Padahal bila melihat dari kuantitas peserta, penulisan puisi mendapatkan apresiasi yang besar dari para pelajar. "Artinya pihak sekolah mesti melihat minat dari para pelajar dalam penulisan puisi yang lebih kreatif dan mengarah pada sastra lumayan besar. Sehingga membutuhkan sosialisasi dan pembelajaran yang lebih terhadap dunia sastra, terutama puisi lewat pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah." n TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 22 Februari 2008
No comments:
Post a Comment