Oleh Udo Z. Karzi
SEBELUMNYA, saya ingin berterima kasih kepada Budi P. Hatees, Asarpin, dan Irfan Anshory yang melalui tulisan mereka telah merangsang saya untuk kembali berwisata bahasa-budaya Lampung.
Banyak hal yang ingin saya tanggapi sebenarnya. Tapi, dalam ruang yang terbatas ini, saya hanya ingin menuliskan sedikit pengetahuan yang sebisa mungkin mendasarkan pada referensi yang pernah ada.
Satu hal yang ingin saya katakan, saya cuma praktisi bahasa Lampung yang barangkali tidak terlalu hirau dengan tata bahasa Lampung. Beberapa akademisi toh sudah melahirkan beberapa penelitian bahasa dan budaya Lampung. Perpustakaan Universitas Lampung bisa menjadi saksi dari berapa banyak penelitian tentang bahasa-budaya Lampung ini.
Bahasa MDMD
Pilihan kata dalam Mak Dawah Mak Dibingi (MDMD), saya pungut dari bahasa keseharian di sebuah tempat bernama Liwa. Beberapa kata, ada juga yang disunting dan 'diperbaiki' Irfan Anshory (Talangpadang) dan karena itu beberapa kosa kata Lampung Talangpadang masuk ke situ. Kata-kata yang saya gunakan juga bukan kata yang – ada yang bilang – bahasa Lampung tinggi. Ah, sebenarnya bahasa Lampung cukup demokratis dengan tidak membeda-bedakan mana bahasa kasar dan mana bahasa halus.
Saya penutur asli bahasa Lampung di Liwa (nama marga/kecamatan) di Kabupaten Lampung Barat. Ada semacam konvensi yang menjadi ciri khas varian (sub dari sub dari subnya lagi) bahasa Lampung; yang membuat bahasa Lampung Liwa menjadi 'berbeda' dibanding dengan kecamatan tetangganya Kecamatan Batu Brak dan Belalau; Kecamatan Pesisir Tengah, Utara, dan Selatan; serta Kecamatan Sukau dan masuk ke wilayah Sumatera Selatan, bahasa Lampung Ranau. Belum lagi, kalau bahasa Lampung di luar Lampung Barat.
Kebiasaan ‘buruk’ orang Liwa adalah suka menyederhanakan kata bahasa Lampung dan membuatnya lebih gampang diucapkan. Misalnya, kata lawang (Pubian), luangan (Belalau) menjadi longan (gila); haku menjadi aku (kata saya); hamu menjadi amu (katamu); hani menjadi ani (katanya); haga menjadi aga (mau, ingin); kuwawa menjadi kawa (berani); radu menjadi adu (sudah); sinji menjadi inji (ini); dan sebagainya.
Saya ingat misalnya, pernah bersitegang soal kata 'sulan'. Bagi orang Krui (calon Kabupaten Pesisir Barat), 'sulan' berarti tikar, tempat duduk, ditiduri juga boleh. Tapi bagi orang Liwa sulan berarti tempat tidur atau kasur. Sedangkan tikar disebut orang Liwa dengan 'jengan'.
Ada lagi, 'culuk'. Di Liwa, 'culuk' dengan pengucapan yang berbeda bisa bermakna beda juga; bisa berarti tangan, bisa pula berarti korek api. Tapi di Sukau, korek api disebut 'kusut'. Sementara bahasa Pubian (Gedongtataan), 'culuk' malah berarti 'jari telunjuk'.
Wah, sesama orang Lampung bisa saling menyesatkan kalau berbicara. Hahahaa...
Bahasa Lampung
Bahasa Lampung yang dituturkan di Liwa, hanya salah satu varian saja dari bahasa Lampung. Meskipun banyak sekali dialek dan subdialek bahasa Lampung, tidak bisa dinafikan bahasa Lampung itu sama: bahasa Lampung. Karena itu bahasa Abung, Tulangbawang, Komering, Ranau, Kayu Agung, Way Kanan, Cikoneng, dan sebagainya tetap memiliki hak yang sama untuk disebut sebagai bahasa Lampung.
Dalam bahasa Sunda ada awi (bambu), dalam bahasa Sumbawa terdapat punti (pisang), dalam bahasa Batak ada bulung (daun). Jika dalam bahasa Lampung terdapat pula awi, punti, dan bulung bukan berarti bahasa Lampung bahasa hibrida (nyontek dari mana-mana), tetapi ini berarti membuktikan bahasa-bahasa Nusantara memang satu rumpun, yaitu rumpun Austronesia dari Madagaskar sampai pulau-pulau di Pasifik. Jadi, bukan Lampung nyontek Batak atau Batak nyontek Lampung, tetapi karena semuanya memang satu asal.
Kemudian, Asarpin menyebutkan kata 'babai' untuk menunjukkan perempuan. Dalam soal ini Asarpin bisa keliru. Sebab, "babai" sebenarnya berarti menggendong/memomong anak. Yang dimaksudkan mungkin "bebai". Dalam bahasa Tagalog bebai berarti perempuan agung, hanya dipakai untuk menyebutkan perempuan yang terhormat. Bisa jadi ini arti aslinya dalam bahasa Austronesia purba. Bahasa Lampung memanggil ibu dengan ‘ina’ yang dalam bahasa Austronesia berarti 'orang diagungkan'. Jadi, agak gegabah jika Asarpin mengatakan bebai (perempuan) sama dengan babui (babi).
Dalam buku Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara (Balai Pustaka, 1964), Prof. Dr. Slametmuljana tidak menyinggung-nyinggung bahasa Lampung. Mungkin dia tidak sempat meneliti bahasa Lampung. Dia membandingkan bahasa Melayu, bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan beberapa bahasa lain sama dengan bahasa-bahasa di Indocina (Khmer, Palaung, Shan, dan lain-lain). Slametmuljana tidak mengatakan bahasa-bahasa Nusantara mengambil dari mereka, tetapi dia membuktikan suku-suku Nusantara berasal dari sana satu akar dengan mereka (bukan meniru mereka); sesama ahli waris Austronesia purba. Istilah bahasa hibrid untuk bahasa Lampung harus ditolak karena tidak memiliki dasar ilmiahnya.
Bahasa Lampung tergolong bahasa tua dalam rumpun Melayu karena masih banyak menyimpan kosakata Austronesia purba. Dalam Perbendaharaan Kata-kata dalam Berbagai Bahasa Polinesia, Pustaka Rakjat, Djakarta, 1956 hal 16-31), Prof. Dr. Otto Demwolff dari Jerman mendaftar kosakata yang dilestarikan bahasa Lampung: apui (api), bah (bawah), balak (besar), bingi (malam), buok (rambut), heni (pasir), hirung/irung (hidung), hulu/ulu (kepala), ina (ibu), ipon (gigi), iwa (ikan), luh (air mata), pedom (tidur), pira (berapa), pitu (tujuh), telu (tiga), walu (delapan), dan sebagainya.
Di atas semua itu sebenarnya saya hendak mengatakan bahasa Lampung bisa bisa modern, bergaya, dan berdaya. Tak hanya lisan, tetapi juga tulisan. Bagi saya keberagaman bahasa Lampung toh justru memperkaya khazanah budaya Lampung.
Kalaulah di Kota Bandar Lampung dan Metro kita sulit mendengar orang berbicara Lampung, maka satu-satunya jalan untuk mengenalkan orang (siswa) pada bahasa Lampung, ya harus dengan teks (tulisan). Lain soal kalau di kabupaten-kabupaten yang bahasa Lampungnya masih dituturkan sehari-hari.
Aksara Kaganga
Kalau Asarpin masih meragukan keaslian aksara Kaganga dan menduga sebagai asimilasi huruf Batak dan Bugis, saya justru mengatakan aksara Lampung, Batak dan Bugis memang bersaudara. Sebab, salah satu teori asal-usul suku Lampung menyebutkan suku Lampung memang mempunyai hubungan darah dengan Batak dan Bugis, di samping tentu saja Pagaruyung di Sumatera Barat.
Aksara Lampung sebagaimana dipelajari siswa di sekolah sekarang ini sesungguhnya sudah beberapa kali mengalami proses pembakuan oleh akademisi dan para tetua adat. Terdapat 20 huruf induk yang bisa dihapal (seperti huruf Arab): ka ga nga pa ba ma ta da na ca ja nya ya a la ra sa wa ha gra.
Kalau diperhatikan, Lampung juga mengenal huruf r (ra), meski hampir tidak ada kata Lampung yang menggunakan huruf r. Lalu, huruf terakhir, ketika saya browsing saya malah menemukan huruf gra bukan kh atau gh. Sehingga, saya katakanlah sebagai pengguna jadi huruf, cukup mengernyitkan kening juga. Kok gra bukan kha atau gha yang sering diributkan selama ini.
Soal huruf kh atau gh. Keputusan guru-guru bahasa Lampung sebenarnya membakukan dengan huruf gh bukan kh. Tapi, sampai sekarang tetap saja ada yang memakai kh. Ketika saya membaca buku Pelajaran Bahasa Lampung terbitan Gunung Pesagi, saya juga menemukan dualisme pemakaian huruf. Semua sebenarnya sudah diganti dengan gh, tetapi di beberapa tempat di buku-buku itu masih terselih huruf kh.
Dan, sampai sekarang, masih saja terjadi perdebatan yang tidak kunjung selesai.
Lalu, ketika saya pulang ke Liwa, saya kok tidak asing dengan orang Jawa yang pasih berbahasa Lampung. Ada yang berhasil bertutur hampir 100% dengan penutur asli bahasa Lampung, ada yang kedengaran tetap terasa dialek Jawanya, dan ada juga pasih berbahasa Lampung, tetapi tetap menggunakan huruf r dan tidak bisa mengucapkan huruf gh.
Dengan melihat itu, saya pun memutuskan menuliskan huruf r menggantikan huruf gh itu. Tentu saja, dalam pelisanan perlu dijelaskan, bahwa r dibaca gh. Entah mengapa, pemakaian huruf r ini seperti mendapat pembenaran ketika Lampung Post yang bekerja sama dengan Program Studi Bahasa dan Sastra Lampung FKIP Unila menyelenggarakan rubrik Pah Bubahasa Lampung (Ayo Berbahasa Lampung); secara konsisten memakai huruf r. Dengan argumen, satu huruf satu bunyi.
Menyebut beberapa literatur seperti H. N. van der Tuuk, “Het Lampongsch en Zijne Tongvallen”, TBG (Tijdschrift Bataviaasch Genootschap), deel 18, 1872, pp. 118-156; C. A. van Ophuijsen, “Lampongsche Dwerghert-Verhalen”, BKI (Bijdragen Koninklijk Instituut), deel 46, 1896, pp. 109-142; dan Dale Franklin Walker, “A Grammar of the Lampung Language”, Ph.D. Thesis, Cornell University, 1973; semua ilmuwan itu memakai r, bukan ch, kh atau gh.
Dan, semuanya menyatakan kekagumannya terhadap bahasa Lampung yang memiliki aksara sendiri. Kata mereka, cuma sedikit suku-suku Nusantara yang memiliki aksara. Salah satunya yang memiliki aksara sendiri, yaitu bahasa Lampung.
Menurut Irfan Anshory, penggunaan huruf r pada bahasa Lampung hanya masalah ejaan. Bukan mengubah fonem. Kalimat "radu ruwa rani mak ratong" tetap diucapkan seperti biasanya orang Lampung berbicara. Di Talangpadang dan beberapa tempat lain ejaan r sudah lama dipakai dalam penulisan adok (gelar), misalnya Radin Surya Marga, Minak Perbasa, Kimas Putera, dan lain-lain.
Pemakaian huruf ejaan r justru mengembalikan ke bahasa Arab asli: riwayat, kabar, kursi, laher, sabar, water, bulan muharam, rejob, dan sebagainya. Ejaan kh dipakai dalam dalam menuliskan yang memang memakai ‘kha’ dalam bahasa Arab: akhir, khusus, khas, dan sebagainya.
Budaya Lampung
Lampung sebagai sebuah nama sesungguhnya bermakna ambigu. Namun setidaknya, ada empat nama yang bisa dilekatkan pada Lampung itu: suku, bahasa, budaya, dan provinsi (lihat: http://id.wikipedia.org).
Kalau kita bicara Provinsi Lampung, akan lebih mudah merumuskannya. Namun, kalau hendak membahas suku, bahasa, dan budaya Lampung, maka sungguh sulit. Buku Adat Istiadat Lampung yang disusun Prof Hilman Hadikusuma dkk (1983), akan terasa sangat minim untuk memahami Lampung secara kultural.
Sampai saat ini, relatif belum ada yang berhasil memberikan gambaran yang menyeluruh, sistematis, dan meyakinkan tentang kebudayaan Lampung. Kebudayaan Lampung miskin telaah, riset, dan studi. Yang paling banyak lebih berupa klaim atau sebaliknya, malah upaya untuk meniadakan atau setidaknya mengerdilkan kebudayaan Lampung.
Bahasa-budaya Lampung sesungguhnya tidak sama dan sebangun dengan Provinsi Lampung. Secara geografis, yang disebutkan sebagai wilayah penutur bahasa Lampung dan pendukung kebudayaan Lampung itu ada di empat provinsi, yaitu Lampung sendiri, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Banten.
Ini bisa dilihat dari beberapa pendapat yang membuat kategorisasi masyarakat adat Lampung. Kategorisasi atau pembagian sebenarnya penting untuk studi (ilmiah) dan bukannya malah membuat orang Lampung terpecah-pecah.
Secara garis besar masyarakat adat Lampung terbagi dua, yaitu masyarakat adat Lampung Pepadun dan masyarakat adat Lampung Sebatin.
Masyarakat beradat Pepadun terdiri dari: Pertama, Abung Siwo Mego (Unyai, Unyi, Subing, Uban, Anak Tuha, Kunang, Beliyuk, Selagai, Nyerupa). Masyarakat Abung mendiami tujuh wilayah adat: Kotabumi, Seputih Timur, Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Gunung Sugih, dan Terbanggi.
Kedua, Mego Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji, Puyang Tegamoan). Masyarakat Tulangbawang mendiami empat wilayah adat: Menggala, Mesuji, Panaragan, dan Wiralaga.
Ketiga, Pubian Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku Manyarakat, Minak Demang Lanca atau Suku Tambapupus, Minak Handak Hulu atau Suku Bukujadi). Masyarakat Pubian mendiami delapan wilayah adat: Tanjungkarang, Balau, Bukujadi, Tegineneng, Seputih Barat, Padang Ratu, Gedungtataan, dan Pugung.
Keempat, Sungkay-Way Kanan Buay Lima (Pemuka, Bahuga, Semenguk, Baradatu, Barasakti, yaitu lima keturunan Raja Tijang Jungur). Masyarakat Sungkay-WayKanan mendiami sembilan wilayah adat: Negeri Besar, Ketapang, Pakuan Ratu, Sungkay, Bunga Mayang, Belambangan Umpu, Baradatu, Bahuga, dan Kasui.
Sedangkan masyarakat beradat Sebatin terdiri dari: Pertama, Peminggir Paksi Pak (Ratu Tundunan, Ratu Belunguh, Ratu Nyerupa, Ratu Bejalan di Way). Kedua, Komering-Kayuagung, yang sekarang termasuk Propinsi Sumatera Selatan. Masyarakat Peminggir mendiami sebelas wilayah adat: Kalianda, Teluk Betung, Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semangka, Belalau, Liwa, dan Ranau. Lampung Sebatin juga dinamai Peminggir karena mereka berada di pinggir pantai barat dan selatan.
Peta Bahasa-Budaya
Dari kategorisasi itu, terlihat ada Ranau, Komering, dan Kayu Agung di wilayah Provinsi Sumatera Selatan yang sejatinya orang Lampung (beretnis Lampung). Di Provinsi Banten ada wilayah Cikoneng yang beretnis Lampung dan bertutur dengan bahasa Lampung. Satu lagi, yang agaknya perlu penelitian, di Bengkulu ada wilayah yang bertutur dengan bahasa Lampung. Mereka menyebut diri Lampung Bengkulu.
Dengan demikian, peta Provinsi Lampung tidak akan memadai untuk membicarakan, termasuk memberdayakan dan mengembangkan, bahasa-budaya Lampung. Untuk bisa melihat Lampung secara utuh dalam pengertian suku, bahasa, dan budaya yang dibutuhkan adalah peta bahasa-budaya Lampung. Sebenarnya, tidak perlu membuat yang baru karena sebenarnya peta dimaksud sudah ada.
Kebudayaan Lampung itu riil, misalnya mewujud dalam tubuh suku Lampung, sistem kebahasaan, keberaksaraan, adat-istiadat, kebiasaan, dan sebagainya. Jadi, tidak perlu merasa rendah diri mengatakan tidak ada kebudayaan Lampung atau kebudayaan Lampung itu terlalu banyak dipengaruhi oleh kebudayaan lain, sehingga tidak tampak lagi kebudayaan Lampung itu yang mana.
Yang terjadi adalah selalu ada tendensi untuk meniadakan atau setidaknya membonsai bahasa-budaya Lampung. Kalaulah bahasa-budaya Lampung itu relatif tidak dikenal dan sering luput dari perbincangan di tingkat nasional; katakanlah di banding dengan budaya Jawa, Sunda, Minang, Batak, Bugis, Bali, Dayak, dan lain-lain -- tidak lain tidak bukan karena relatif belum ada kajian dan ilmuwan yang mampu membedah kebudayaan Lampung secara lebih komprehensif, sistematis, dan tentu saja ilmiah.
Pertanyaannya, siapakah yang akan menjalankan peran ini jika Unila saja menghapus Program Studi Bahasa dan Sastra Lampung?
* Udo Z. Karzi, menulis buku puisi Lampung: Mak Dawah Mak Dibingi (2007)
Dimuat dalam dua bagian di Lampung Post, Minggu, 16 & 23 Maret 2008
No comments:
Post a Comment