-- Muhammad Sukirlan*
TANGGAL 10 sampai 12 Maret 2003 badan dunia UNESCO (United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization) mengadakan pertemuan internasional yang membahas tentang program penyelamatan bahasa-bahasa yang terancam kepunahannya. Topik pertemuan tersebut mengerucut pada pembahasan yang terkait dengan vitalitas dan ancaman bahasa yang ada di dunia.
Pertemuan tersebut menjadi bukti bahwa persoalan bahasa daerah sudah menjadi isu internasional. Masyarakat internasional menyadari bahwa keragaman bahasa merupakan warisan budaya leluhur yang sangat berharga sehingga upaya untuk melestarikan bahasa daerah harus ditangani secara serius. Mereka juga menyadari bahwa hilangnya suatu bahasa pada hakikatnya merupakan hilangnya warisan nilai-nilai budaya suatu kelompok masyarakat.
Bahasa yang digunakan oleh seseorang merupakan cerminan jati diri penuturya. Oleh sebab itu Bahasa Lampung (BL) bisa juga disebut sebagai cerminan nilai-nilai budaya daerah yang sedari dulu sudah berlaku di daerah Lampung. Johnson (2002) mengatakan I speak my favorite language because that's who I am (Saya menggunakan bahasa kesukaan saya karena itulah jati diri saya) dan We teach our children our favorite language because we want them to know who they are (Kita mengajarkan bahasa kesukaan kita karena kita ingin mereka mengetahui jati dirinya).
Pernyataan tersebut setidaknya mengandung dua pesan. Pertama, bahasa yang digunakan oleh seseorang menunjukkan latar belakang sosial budaya dan tata nilai penuturnya. Kedua, mengajarkan BL kepada generasi muda merupakan salah satu bentuk usaha melestarikan nilai-nilai luhur budaya daerah sehingga generasi sekarang dan yang akan datang mampu mengenali jati dirinya.
Hal ini penting karena dengan mengenali jati dirinya secara utuh, suatu generasi akan mampu menentukan arah pembangunan yang sesuai dengan karakteristik sosial budaya dan modal dasar yang dimilikinya. Dan, inilah yang sejatinya merupakan salah satu wujud dari pembangunan daerah yang manusiawi, suatu pembangunan yang mampu menyentuh segala kebutuhan sosial budaya masyarakat setempat
Vitalitas BL
Suatu bahasa dikatakan terancam vitalitasnya apabila bahasa itu cenderung atau sedang menuju ke arah kepunahan. Tanda-tanda kepunahan suatu bahasa bisa dilihat dari beberapa gejala antara lain (1) masyarakat penuturnya berhenti menggunakan bahasa tersebut, (2) bahasa itu digunakan hanya dalam domain komunikasi tertentu yang sangat terbatas, dan (3) bahasa itu berhenti diwariskan (diajarkan) dari satu generasi ke generasi selanjutnya sehingga tidak ada lagi penutur baru bahasa itu baik di tingkat orang dewasa maupun anak-anak.
Berpijak pada ketiga tanda kepunahan bahasa tersebut di atas maka BL tampaknya belum menunjukkan adanya tanda-tanda kepunahan setidaknya karena tiga alasan. Pertama, usaha pewarisan BL semakin gencar dilakukan melalui pendidikan, baik formal maupun informal dan masyarakat penuturnya masih relatif banyak tersebar di berbagai kabupaten dan kota di Provinsi Lampung. Kedua, menurut hasil survei Litbang Media Group (Media Indonesia, 23 Februari 2008) ditemukan ada 32 bahasa daerah yang tersebar di Kalimantan, Maluku, Papua dan Sumatra yang dalam katagori mendekati kepunahan, dan BL tidak termasuk di dalamnya. Ketiga, menurut Muadz (1998) bahasa dikategorikan terancam punah apabila jumlah penuturnya di bawah 100 ribu orang. Walaupun belum ada angka statistik yang pasti, penutur BDL sudah pasti melebihi dari angka kritis tersebut.
Vitalitas bahasa merujuk pada kemampuan suatu bahasa menampung dan melakukan berbagai fungsi dan tujuan komunikasi. Bahasa tertentu memiliki vitalitas tinggi, sedang atau rendah. Umumnya bahasa daerah memiliki vitalitas yang rendah karena ketidakmampuannya dalam memasuki berbagai ranah pengetahuan.
Vitalitas suatu bahasa terlihat dari keunggulan eksternal (jumlah penutur bahasa) dan internalnya (jumlah word entry yang dimilikinya). Sebagai contoh, tahun 1983 bahasa Inggris diperkirakan memiliki 450 ribu kata, bahasa Perancis 150 ribu kata dan bahasa Rusia 130 ribu kata. Menjadi sebuah tantangan besar bagi BL untuk menuju ke arah vitalitas tersebut.
Pemberdayaan Bahasa Daerah
Pemberdayaan bahasa daerah seharusnya juga menjadi bagian dari strategi pembangunan budaya untuk menciptakan keunggulan daerah dalam bidang seni dan budaya. Langkah ini tidak perlu dikhawatirkan akan menimbulkan isu fanatisme daerah atau separatisme karena sejarah menunjukkan bahwa keinginan suatu daerah untuk memisahkan diri lebih disebabkan oleh faktor ekonomi misalnya distribusi kue pembangunan yang tidak merata, pembangunan yang terkonsentrasi hanya pada satu atau beberapa daerah tertentu saja sehingga menimbulkan ketidakpuasan kolektif.
Mengapa harus bahasa daerah? Bahasa daerah sering juga disebut sebagai bahasa ibu (mother tongue). Sebagai gambaran mungkin bahwa tanpa kehadiran seorang perempuan yang kita sebut "ibu", keberadaan kita di muka bumi ini sangat musykil terjadi. Dengan bahasa ibulah pertama kali kita diperkenalkan dengan kesantunan dalam mengungkapkan suatu pendapat dalam kultur terdekat kita. Bahasa ibulah yang pertama kali membentuk konsep kita berpikir dan memahami tentang dunia. Manusia terlahir di dalam lingkungan kulturalnya, dan bahasa ibulah yang menjadi perantara kita mengenali lingkungan tersebut.
Menurut Alwasilah (2000) setidaknya ada tiga keistimewaan bahasa ibu dibandingkan dengan bahasa kedua atau bahasa asing. Pertama, secara psikologis bahasa ibu telah terbatinkan (internalized) dalam pikiran sebagai simbol-simbol yang bergerak secara otomatis untuk berekspresi dan memahami alam sekitar. Kedua, perasaan personal yang mendalam seringkali hanya dapat diucapkan dalam bahasa ibu. Ketiga, secara sosiologis bahasa ibu juga menjadi simbol identitas habitatnya, atau jati diri kelompoknya.
Keunggulan lainnya yaitu, bahasa ibu diperoleh dalam lingkungan primer sedangkan bahasa kedua atau asing diperoleh dalam lingkungan sekunder yang biasanya hanya digunakan untuk komunikasi yang bukan personal sifatnya. Dalam banyak hal, akumulasi dorongan personal dari seseorang atau kelompok bisa menjadi pemicu hebat untuk mewujudkan sebuah impian antara lain yaitu memiliki bahasa Lampung yang mempunyai vitalitas tinggi. Semoga!
* Muhammad Sukirlan, Dosen Pendididkan Bahasa Inggris, FKIP Universitas Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 April 2008
No comments:
Post a Comment