TEATER Satu terus meneguhkan posisinya sebagai kelompok seni peran nasional. Mementaskan monolog berjudul Wanci karya Imas Sobariah di Teater Utan Kayu, Jakarta, penampilan Ruth Marini (Uthe) mendapat apresiasi baik para penikmat teater.
Di sebuah areal prostitusi kumuh yang terletak di pinggir rel kereta api, di sela-sela gerbong-gerbong tua, tampak seorang perempuan setengah baya mengenakan pakaian compang-camping serta kacamata gelap. Di bibirnya mengepul asap rokok yang diisapnya dalam-dalam. Sesekali di bibirnya keluar sapaan genit yang tidak lama kemudian berubah menjadi sumpah serapah yang keji.
Itulah penampilan Ruth Marini atau yang biasa disapa Uthe dari Teater Satu Lampung yang berhasil membius penonton yang menyaksikan pertujukan monolog Wanci karya Imas Sobariah di Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta, selama dua hari berturut-turut, 28--29 Maret lalu. Bahkan, pada pertunjukan tersebut, jumlah pengunjung membeludak hingga banyak yang tidak dapat masuk menyaksikan pertujukan.
Dan ini tentu saja satu prestasi tersendiri yang bisa diraih grup teater asal Lampung. Karena selain tetap bisa eksis dengan selalu menunjukkan karya terbaru serta prestasinya di tingkat lokal, mereka juga sudah mampu "berbicara" hingga ranah nasional dan internasional.
Bahkan, menurut Imas Sobariah dari Teater Satu, pihaknya sangat tidak menyangka dengan animo yang begitu besar yang ditunjukkan masyarakat Ibu Kota. "Kami sangat surprise sekali ketika pada hari pertama pertunjukan saja, jumlah penonton yang menyaksikan sangat membeludak. Bahkan di hari kedua pertunjukan, banyak mereka yang tidak bisa masuk karena tempat sudah penuh."
Malahan, menurut dia, banyak penonton yang mengharapkan pementasan kali ini digelar selama tiga hari. "Tapi kami tidak mewujudkan permintaan tersebut karena meneken kontrak dengan TUK untuk dua hari pertunjukan," kata Imas.
Dan lagi yang menyaksikan pertunjukan kami tidak hanya seniman dan masyarakat Indonesia, tapi ada warga negara China yang sangat antusias menyaksikan pertunjukan kami dengan datang pada dua hari pertunjukan. "Mereka datang dua hari berturut-turut. Pada hari keduanya, mereka mengajak keluarganya."
Menjadi sangat spesial, kata Imas, apresiasi tersebut ternyata tidak hanya ditunjukkan masyarakat awam. Para selebriti, seperti Ria dari grup vokal Warna juga ternyata sangat mengapresiasi pertunjukan ini. "Dia menyatakan sangat tertarik dengan dialog-dialog yang ada pada naskah karena begitu riil. Makanya dia langsung mengolekasi naskah skenario yang dibuat Teater Satu yang memang kami jual kepada khalayak," ujarnya.
Namun, apa yang diraih ini bukanlah datang dengan tiba-tiba ataupun instan. Karena proses latihan dan pengembangan naskah yang dilakukan terus-menerus oleh Teater Satu. Meskipun Uthe pada ajang Parade Monolog Dewan Kesenian Lampung (DKL) yang digelar di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung, November 2007, berhasil menjadi Aktris Terbaik dengan membawa naskah yang sama, perbaikan terus saja dilakukan.
Imas mengemukakan pada pertunjukan kali ini, ada beberapa adegan dan dialog yang dibuat berbeda dari pertunjukan Wanci beberapa waktu lalu. "Ya, kesemuanya dilakukan demi perbaikan lakon dan naskah yang dibawakan. Dan alhamdulillah, ternyata mendapatkan apresiasi yang baik."
Hal yang sama juga dikemukakan Direktur Artistik Teater Satu Iswadi Pratama yang mengatakan apa yang disuguhkan Uthe pada pertunjukan Parade Monolog DKL 2007 itu baru 50 persennya dari yang ditampilkan di TUK. "Sehingga memang banyak sekali perbaikan yang dilakukan Teater Satu. Misalnya pada perubahan dialog dan adegan yang dibuat menjadi sangat realis."
Selain itu, kemampuan Uthe sebagai seorang aktris yang sangat baik dan prima. Ritme penampilan sangat dijaga sehingga penonton terbawa atas kisah Icih, tokoh dalam naskah, yang sangat memilukan dan miris. Pun dengan mimik, gesture, hingga dialog-dialog yang sarat sindiran dan kritik sosial yang mampu dibawakan dengan baiknya.
Hebatnya lagi, di sini, Uthe tidak hanya tampil sempurna sebagai Icih, tapi juga seluruh peran yang ada dalam naskah. Meksipun itu menjadi seorang laki-laki dengan berbagai profesi dan karakter. Semuanya mampu disuguhkan dengan akting yang tetap terjaga.
Selain juga kemampuan Uthe dalam memanfaatkan setiap ruang yang ada dan mampu dimanfaatkan dan digunakan dengan maksimal. Makanya penonton yang hadir selama dua hari tampak terperangkap pada kisah Icih yang memilukan sekaligus satir.
Teater Satu Tapak 'Go' Nasional
Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syaiful Irba Tanpaka mengatakan Teater Satu terutama dengan tokohnya, Iswadi Pratama, diibaratkannya sebagai sebuah pohon tersendiri yang memiliki batang dan akar yang dalam dan kuat. "Iswadi memiliki murid yang terus memberikan pengajaran di sekolah-sekolah. Sehingga dunia teater terus bergeliat dengan aktivitas para penggiat Teater Satu ini."
Teater Satu sudah berkiprah selama 12 tahun. Teater Satu berdiri pada 18 Oktober 1996. "Awalnya keterlibatan Teater Satu dalam merekrut para pelajar untuk menggeluti dunia teater berawal dari Forum Teater Halaman yang ketika itu berdiri usai kegiatan Liga Teater Pelajar pertama tahun 2000," kata Imas.
Lalu para pelajar dikumpulkan menjadi Teater Rindang Pohon yang digelar di Teater Terbuka Taman Budaya Lampung hingga arisan teater. Di arisan ini, para pelajar mulai diajarkan berbagai hal dalam dunia pertunjukan. Tidak hanya seni peran, tapi juga manajemen pertunjukan pementasan, yakni dari persiapan panggung, kostum, ruangan, hingga penjualan tiket.
Hingga kini, keterlibatan Teater Satu dalam mengenalkan dunia teater kepada para pelajar juga diberikan lewat penempatan para personel Teater Satu yang notabene adalah mahasiswa untuk mulai mengajar teater di sekolah-sekolah.
Sementara itu, berbicara mengenai kerja sama dengan berbagai lembaga lokal, nasional, maupun dunia internasional, Teater Satu bisa dikatakan sudah banyak melakoninya. Sebut saja pada 1999--2000 dengan USAID, The Ford Foundation, Teater Utan Kayu (TUK), Masyarakat Uni Eropa, Yayasan Kantata Bangsa, AJI, Yayasan Kelola, Taman Budaya Lampung, dan Desentralization Spot and Facilities, World Bank, and British Council.
Sedangkan berkaitan dengan pementasan yang telah digelar, sudah lebih puluhan pementasan telah dijalaninya. Di antaranya pementasan Nostalgia Sebuah Kota atawa Kenangan tentang Tanjung Karang yang dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta, TUK, Bandung, dan Makasar serta Solo. Baru-baru ini melakonkan Nyai Ontosoroh yang juga dipentaskan di 10 kota lain.
Untuk prestasi, sudah begitu banyak yang bisa diraih Teater Satu. Di antaranya adalah Artis Terbaik dalam Parade Monolog Nasional, Perempuan Pilihan. Bahkan, dalam Parade Monolog DKL 2007, dua aktris dan aktor Teater Satu Lampung, yakni Ruth Marini dan Sugianto (Giant) berhasil meraih juara I dan II di ajang tersebut.
Bahkan, hingga kini Teater Satu sedang mengupayakan pementasan teater di Malaysia. Begitu juga dengan pementasan di Festival Berlin, yang gagal karena bertabrakan dengan penyelenggaraan Piala Dunia, akhirnya penyelenggaraannya ditunda. Lalu rencana pementasan di Jepang yang sempat tertunda. Namun, Teater Satu juga pernah mendapatkan kesempatan menimba ilmu ke Australia yang diwakili sang sutradara Iswadi Pratama serta Hamidah.
Selain itu, Imas juga mengemukakan pada Juli 2008 akan menggelar Teater Satu Expo yang akan digelar di Jakarta selama satu pekan. "Jadi kami akan melakukan tujuh pementasan monolog selama sepekan di TUK serta pementasan teater di Gothe Institute."
Semoga saja, jalan yang telah dirintis Teater Satu dalam mengangkat nama teater di Lampung ke ranah nasional bahkan internasional bisa diikuti grup-grup teater lain yang ada sehingga Lampung tidak hanya subur dengan penyair, tapi juga aktor, aktris, sutradara, serta grup teater yang mumpuni. n TEGUH PRASETYO/S-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 April 2008
No comments:
Post a Comment