Oleh Didik Kusno Aji
LAMPUNG sebagai provinsi di Sumatera yang paling berdekatan dengan Ibu Kota Jakarta memiliki peran strategis dalam berbagai hal. Dari segi geografis, letak provinsi ini jelas sangat diuntungkan karena Lampung menjadi pintu gerbang Pulau Sumatera. Secara ekonomi tentu memiliki nilai lebih dibanding dengan daerah lain di Sumatera.
Melihat peluang tersebut, dibutuhkan sistem dan manejemen yang bagus dari pemerintah. Selain bidang ekonomi dengan letak geografis, yang tak kalah pentingnya juga budaya. Berdirinya Menara Siger di Bakauheni, Lampung Selatan, telah membawa dampak positif di berbagai bidang sebagai salah satu tanda telah masuk Provinsi Lampung.
Model-model seperti itu sebenarnya sudah ada semenjak zaman kerajaan, yang sering dikenal dengan sebutan prasasti. Peran prasasti ini tak jauh bedanya dengan Menara Siger sekarang. Ini sekaligus sebagai tolok ukur akan eksistensi sebuah budaya.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai kebudayaan. Nilai- nilai budaya itulah yang dijunjung sebagai aset bangsa. Keberagaman budaya nasional pun muncul karena adanya budaya daerah.
Membaca berita Dosen seni AS menerbitkan buku tapis (Lampung Post, 11 Juni 2009) telah menggelisahkan saya. Yang saya sayangkan, mengapa justru bukan orang Indonesia atau orang Lampung sendiri yang menyusun buku itu. Begitu juga berita Bahasa Lampung Menggelisahkan (Lampung Post, 16 Juni 2009) lalu. Saya semakin terusik dengan hal itu.
Mengapa? Saya pikir sudah saatnya kita tidak hanya berpikir hanya dalam kancah wacana, tetapi harus ada tindakan konkret yang dilakukan untuk menyelamatkan aset budaya Lampung.
Melihat perkembangan kebudayaan Lampung saat ini, saya cukup prihatin dengan eksistensinya. Kebudayaan Lampung semakin hari semakin terbenam jauh. Saat sejumlah pemerintah daerah berlomba-lomba berusaha menghidupkan kembali dan menggali budaya daerah masing-masing, kebudayaan Lampung malah seperti tak tersentuh. Sebut saja, misalnya, seperti Pemerintah Kota Cirebon yang mengesahkan bahasa daerah Cirebon sebagai bahasa daerah.
Semua elemen mesti turut bergerak, bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja. Sebab, seberapa besar pun dana yang dikeluarkan pemerintah untuk menghidupkan dan melestarikan kebudayaan daerah, tanpa diiringin dengan tindakan preventif oleh masyarakat dan semua masyarakat Lampung, maka akan sangat kecil kemungkinaan indikator yang diharapkan akan berhasil.
Padahal menenggok sejarah, potensi, dan warisan budaya, Lampung memiliki semua kriteria yang diharapkan. Dari faktor sejarah, Lampung tak kalah dengan daerah lain di Indonesia. Bahkan, Lampung bisa dibilang lebih unggul. Lampung memiliki bahasa daerah, tulisan daerah, yang tidak semua provinsi di Indonesia memilikinya. Padahal, bahasa Lampung dan aksara Lampung menjadi salah satu warisan budaya internasional yang perlu dikembangkan dan terus dijaga kelestariannya.
Di kancah nasional sendiri, Lampung dikenal sebagai negeri para penyair. Jika kita lihat penyair-penyair Lampung sudah banyak yang berkiprah di kancah ini. Yang cukup menggembirakan, penyair Lampung Udo Z. Karzi tahun lalu bahkan mendapatkan hadiah Sastra Rancage 2008 untuk karya berbahasa Lampung.
Potensi-potensi seperti ini tentu membawa angin segar akan potensi budaya yang harus diberi porsi tersendiri dalam ranah budaya daerah yang perlu dan terus dijaga kelestariannya.
Sekadar membandingkan dengan Yogyakarta, di sana budaya daerah sangat diperhatikan, baik oleh pemerintah, masyarakat maupun akademisi. Mereka saling membangun untuk terus melestarikan kebudayaan yang ada. Hal tersebut cukup terlihat seperti banyaknya sanggar-sanggar budaya baik tari, teater, dan berbagai sanggar budaya lain. Bahkan, masyarakat di Yogyakarta pun tak malu-malu ketika berbincang-bincang menggunakan bahasa daerah, baik di lingkungan kampus, lingkungan umum maupun di berbagai tempat.
Bandingkan dengan di Lampung. Warga Lampung asli sendiri seolah malu menggunakan aksen-aksen bahasa daerahnya sendiri, apalagi dengan para pendatang yang memang belum bisa betul dengan bahasa itu. Di sekolah-sekolah pun, tak banyak guru bahasa Lampung dan guru kesenian yang bisa betul dan memahami bahasa dan kebudayaan Lampung.
Ini bukanlah hal yang aneh. Sebab, di Unila sendiri, sebagai satu universitas negeri tinggi satu-satunya di Lampung yang menyediakan program studi bahasa Lampung, belum bisa banyak berkiprah. Bayangkan dengan kebutuhan guru bahasa daerah dan jumlah mahasiswa yang mengambil program studi tersebut. Padahal, yang mengambil program studi tersebut pun bisa dikatakan belum berhasil secara maksimal.
Saya pikir, perguruan tinggi sekelas Unila dirasa perlu dinantikan kiprahnya sebagai motor penggerak akan eksistensi budaya dan bahasa daerah Lampung. Program studi bahasa derah Lampung yang ada saat ini belumlah cukup meng-cover mengenai budaya Lampung yang begitu besar. Bisa saja Unila membuka fakultas baru seperti Fakultas Ilmu Budaya (FIB) untuk mengembangkan kembali potensi budaya Lampung yang belum tergali.
Dengan adanya FIB, seseorang yang ingin mempelajari dan memperdalam budaya daerah Lampung bisa belajar di sini. Termasuk mahasiswa asing. Bukan hanya program studi pendidikan bahasa daerah Lampung saja, yang memang dipersiapkan sebagai guru bahasa daerah. Bisa juga pemerintah bisa saja membuka kampus baru yang khusus di bidang seni dan kebudayaan daerah, terutama daerah Lampung. Misalnya, Institut Seni Indonesia (ISI) yang sudah ada di beberapa daerah di Indonesia.
Ini tentu akan sangat membantu eksistensi dan keberlangsungan kebudayaan Lampung. Dengan adanya institusi-institusi seperti ini, minimal akan banyak berbagai penelitian dalam rangkaian pengembangan dan mempertahankan budaya daerah. Tentunya semua itu harus didukung oleh pemerintah dan masyarakat.
Jika potensi-potensi yang ada di Lampung tidak segera diaktualisasikan secara konkret, tidak mustahil budaya dan bahasa Lampung hanya menyisakan nama di kemudian hari. Saat ini saja, potensi matinya budaya dan bahasa Lampung semakin terlihat jelas. Jika pemerintah dan semua elemen masyarakat tidak segera mengambil tindakan solutif, gambaran kepunahan sudah tergambar dari saat ini. Wallahualam.
* Didik Kusno Aji, Penggiat di FLP Metro, Mahasiswa Pascasarjana (S-2) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 4 Juli 2009
No comments:
Post a Comment