Oleh Febrie Hastiyanto
MEMBACA artikel Revisiting Kelampungan yang ditulis Imelda (Lampost, [17-10]) tentu menggembirakan, tidak saja bagi penduduk bersuku bangsa Lampung, terutama bagi penduduk bersuku bangsa Jawa. Imelda berkali-kali menulis dalam artikelnya bahwa keberadaan penduduk bersuku bangsa Jawa merupakan realitas Lampung kekinian. Bahwa penduduk bersuku bangsa Jawa lebih banyak dari segi jumlah juga merupakan realitas, sebagaimana kata Imelda bahwa kondisi ini menyebabkan penduduk bersuku bangsa Lampung menjadi minoritas.
Mendiskusikan soal etnisitas hari ini, cenderung riskan dan perlu dilakukan secara hati-hati. Karena saya percaya Imelda mendudukkan diskursus ini dalam ranah intelektual, saya memberanikan diri menanggapi Imelda, setidaknya menurut sudut pandang "orang Jawa".
Mayoritas?
Ketika memilih idiom "minoritas", Imelda tampak tak hanya melihat realitas penduduk bersuku bangsa Lampung sedikit dalam jumlah, tetapi juga termasuk terbatasnya akses di bidang (terutama) politik dan pemerintahan. Enam periode berturut-turut, Lampung dipimpin gubernur yang berlatar belakang suku bangsa Jawa merupakan satu penanda bahwa penduduk bersuku bangsa Lampung menjadi minoritas di tanahnya. Pertanyaannya kemudian, benarkah penduduk bersuku bangsa Jawa "mayoritas" dan "mendominasi" di tanah Lampung?
Menurut statistik, memang tak kurang 61% penduduk Lampung bersuku bangsa Jawa, menyusul 11% bersuku bangsa Lampung, disusul etnis Sunda (termasuk Banten), Semendo, Palembang, Batak, Bugis, dan Minang (BPS, 2000).
Imigrasi penduduk Lampung bersuku bangsa Jawa secara masif setidaknya dimulai sejak program emigrasi (politik etis) dirintis pemerintah Hindia Belanda tahun 1905. Seperti halnya emigrasi ke Deli, di Sumatera Utara atau ke Suriname di Amerika Selatan, emigrasi penduduk dari Pulau Jawa ke Lampung ini banyak diikuti oleh mereka yang ingin mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Ada satu ungkapan Jawa soal ini, yakni perantau asal Jawa merantau ke daerah lain, termasuk Lampung, karena kurang dan atau wirang. Kurang dapat diartikan miskin, sedang wirang dapat diartikan malu atau telah berbuat aib. Sebagian besar perantau asal Jawa di Lampung dapat dikelompokkan sebagai orang yang kurang ini.
Tesis dominasi penduduk bersuku bangsa Jawa di Lampung perlu didiskusikan secara lebih cermat. Kalau tengaranya pada posisi-posisi politik dan pemerintahan pada masa lalu, jawabannya mungkin ya. Namun, saya kira jumlah penduduk bersuku bangsa Jawa yang menikmati kue politik dan pemerintahan ini hanya nol koma sekian persen dari total populasi. Itu bila kita mencermati kondisi existing penduduk bersuku bangsa Jawa hari ini yang tersebar di pelosok Lampung. Saat ini, lebih dari 20% penduduk Lampung miskin, tentu saja di dalamnya terdapat banyak penduduk bersuku bangsa Jawa.
Saya mencoba mencari-cari data jumlah penduduk miskin menurut suku bangsa di internet, tetapi tak ada, sehingga tesis saya pun memang hanya common sense.
Kelampungan dan Kejawaan
Mencermati artikel Imelda, visi kelampungan yang hendak ditawarkan, termasuk yang telah dirintis sejumlah intelektual Lampung, mengesankan sebagai antitesis dari visi identitas etnis lain yang telah ada. Atau kalau boleh saya sederhanakan sebagai visi kejawaan. Saya sepakat bila identitas etnis perlu dikembangkan, dimaknai-ulang, dan dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Namun, visi identitas etnis ini hendaknya tidak dibangun dengan mengandaikannya sebagai proteksi dari visi identitas etnis lain.
Penduduk bersuku bangsa Jawa di Lampung hari ini adalah penduduk keturunan ketiga, keempat, kelima, bahkan keenam di Lampung. Bila gelombang imigrasi ini dirujuk dari program transmigrasi, mereka yang berangkat pada kontingen pertama, tahun 1905--1920-an kini telah berkembang hingga keturunan kelima atau keenam. Bila mereka menjadi transmigran setelah zaman Republik antara tahun 1950--1960an, jumlah ini yang paling banyak. Mereka telah memiliki tiga hingga empat generasi. Periode terakhir tahun 1970-an, berkembang hingga keturunan kedua atau ketiga.
Kebanyakan imigran asal Jawa masih memegang teguh adat dan tradisi yang dibawa dari Jawa, di samping berbaur dengan budaya dan penduduk lokal. Selametan, nyadran, ngelmu petungan, tata krama, prosesi pernikahan hingga bahasa ibu masih digunakan oleh imigran. Generasi pertama imigran masih mengikuti adat istiadat ini seperti aslinya yang dilakukan leluhurnya di Jawa. Namun, bagi generasi kedua dan ketiga tradisi ini mulai diikuti secara moderat.
Maksudnya, tata cara dilaksanakan, tapi tidak lengkap atau dimodifikasi menjadi lebih sederhana. Meski demikian, warna njawani-nya masih terasa. Namun, tidak sedikit pula generasi kedua, ketiga, maupun keempat dan kelima yang lebih memilih menggunakan tata cara nasional sama sekali. Tata cara nasional ini dapat disebut sebagai tata cara yang sudah diakui menasional dan banyak dilakukan oleh banyak penduduk Indonesia lain, meski banyak yang diserap dari kebudayaan Jawa, tradisi imigran asal Jawa yang dipegang teguh di tanah perantauan semakin berkurang jumlahnya dan semakin sederhana bentuknya.
Hal ini terjadi karena generasi pertama imigran sudah banyak yang wafat. Generasi selanjutnya semakin melonggarkan tradisi yang ada karena di samping referensi "yang asli" sudah wafat maupun otoritas kebudayaan semisal kraton seperti halnya di Jawa tidak ada, generasi imigran ini banyak bersinggungan dengan kebudayaan lokal maupun kebudayaan pendatang lain hingga kebudayaan nasional. Akulturasi ini melahirkan kebudayaan yang khas di daerah-daerah imigran.
Sehingga, penduduk bersuku bangsa Jawa saat ini pun perlu memaknai ulang visi identitas etnisnya. Pemaknaan ini paralel dengan perdebatan naturalisasi etnis China di Indonesia pada dekade 1950--1960an. Apakah menjadi WNI dan membaur sama sekali dengan penduduk lokal, atau menjadi WNI dengan mengembangkan budaya etnisitas dalam konteks lokal, atau menjadi WN China, yang meskipun di tanah rantau pun tetap berusaha menghidupi negerinya di seberang. Sehingga, ketika Imelda mengakui kondisi exsisting penduduk bersuku bangsa Jawa di Lampung, semangat memaknai ulang visi identitas bahwa hendaknya tak hanya terbatas pada idiom kelampungan, tetapi juga kejawaan. Tabik.
* Febrie Hastiyanto, Putra Way Kanan, menulis naskah 'Jejak Peradaban Bumi Ramik Ragom: Studi Etnografi Kebuayan Way Kanan, Lampung'.
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 7 November 2009
No comments:
Post a Comment