Oleh Helena F Nababan
”KALAU telur penyu terus diambili dan penyu terus ditangkapi, apa yang akan dilihat oleh anak cucu kita? Melestarikan penyu sama saja dengan menjaga harkat dan martabat kita.” Demikian pergulatan mengenai pelestarian penyu yang terus memenuhi benak Achyar (60), pensiunan guru SD di Ngambur, Lampung Barat. Saat ia masih mengajar di SD negeri di Ngambur tahun 1993 hingga 2003, ia terus menyaksikan masyarakat mengambili telur penyu dan menangkapi penyu di pantai di desanya.
Achyar (KOMPAS/HELENA F NABABAN)
Desa Muara Tembulih di Kecamatan Ngambur, Kabupaten Lampung Barat, dengan pantai berpasir putih bersih dan pesisir yang rimbun sepanjang 3,5 kilometer merupakan pantai pendaratan yang diminati empat jenis penyu yang dilindungi. Dalam setahun terjadi dua kali musim pendaratan penyu, antara Februari-April dan Mei-Juli.
Keempat jenis penyu yang biasa mendarat adalah penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Erethmochelys imbricata), penyu belimbing (Dermochelys coreacea), dan penyu lekang (Lepidochelys olivacea). Penyu lekang dan sisik relatif mudah ditemui pada musim pendaratan, sedangkan penyu hijau dan belimbing agak susah. Pendaratan terakhir penyu hijau dan belimbing diketahui terjadi pada tahun 2007.
Achyar yang prihatin terus berupaya memberitahu masyarakat mengenai dampak pengambilan telur dan penangkapan penyu. Tetapi, pendapatan masyarakat dari kebun dan sawah yang tidak mencukupi terus mendorong pengambilan telur penyu dan penangkapan penyu.
Apalagi telur penyu disebut-sebut mampu menambah vitalitas. Di pasaran, telur penyu laku dijual dengan harga Rp 5.000 per butir. Bandingkan dengan harga jual telur ayam kampung yang hanya Rp 1.500-Rp 2.000. Penyu biasanya dijual kepada pedagang di luar Lampung untuk bahan sup.
Pada 2003, saat ia pensiun, Achyar mendapat kesempatan belajar cara-cara penyelamatan penyu dari Kelompok Kira Lestari dari Desa Sumberagung, Kecamatan Ngambur, Lampung Barat. Dia belajar cara menyelamatkan telur penyu mulai dari cara mengambil telur penyu dari sarang, menetaskan, membesarkan tukik, hingga melepaskan tukik ke laut.
Achyar kemudian berinisiatif mendirikan Kelompok Pelestari Penyu Sukamaju pada 15 Mei 2006. Kelompok pelestari penyu Desa Muara Tembulih itu terdiri atas sembilan warga desa tersebut.
Tidak mudah
Awalnya bukan pekerjaan mudah bagi kelompok yang baru berdiri tersebut. Sosialisasi supaya warga tidak mengambil telur penyu dan menangkap penyu sering diabaikan. Tak jarang penolakan demi penolakan warga mereka terima.
Kelompok yang belum berpengalaman melestarikan dan menyelamatkan penyu juga menjadi masalah. Saat terbentuk pertama kali, kelompok Sukamaju berhasil menyelamatkan 93 butir telur penyu dari sarang. Namun yang berhasil menetas 78 ekor.
”Setelah kami pelajari, ternyata menetaskan telur penyu itu gampang-gampang susah,” ujar Achyar.
Mengambil telur dari sarang tempat induk bertelur harus hati-hati, tidak boleh bergoyang. Faktor lain yang tidak boleh dilupakan adalah kedalaman lubang penetasan. Masing-masing jenis telur penyu membutuhkan kedalaman lubang tertentu dengan suhu panas sesuai agar bisa menetas. Faktor elang ataupun semut merah pemakan telur juga menjadi hambatan tersendiri.
Dalam perjalanannya melestarikan penyu, Achyar semakin dikuatkan dengan sikap tegas Pemkab Lampung Barat, yaitu dengan dipilihnya Desa Muara Tembulih sebagai kawasan konservasi penyu Lampung Barat melalui penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) pada 2006.
Berbagai papan petunjuk yang berisi larangan perburuan telur penyu dan penangkapan induk penyu dipasang di sudut-sudut desa.
”Kami merasa didukung oleh Pemkab Lampung Barat sehingga kami tidak goyah dan tidak bosan terus-menerus mengingatkan masyarakat,” ujar Achyar.
Sesuai misi kelompok, Achyar tidak bosan-bosannya menjadwalkan dan melakukan patroli malam saat musim pendaratan penyu. Langkah itu bisa menekan angka pengambilan telur dan penangkapan induk penyu.
Upaya itu dilakukan untuk menekan makin cepatnya proses kepunahan penyu. Berdasarkan pengalamannya, seekor penyu betina baru akan bertelur pada usia delapan tahun. Penyu juga akan selalu mendatangi tempat yang sama untuk mendarat dan bertelur. Artinya, 370 ekor tukik yang sudah dia lepas sejak 2006 hingga 2009, baru akan kembali ke Muara Tembulih pada 2014 atau 2017.
”Itu juga kalau sempat besar, kalau tidak?” ujar Achyar.
Itu sebabnya, kelompok Sukamaju yang juga didukung perangkat camat dan lurah setempat berkeinginan menyelamatkan ekosistem pesisir Desa Muara Tembulih. Desa Muara Tembulih yang dilintasi jalan lintas barat saat ini mulai ramai dilalui berbagai jenis kendaraan.
Sorot lampu kendaraan yang terlalu tajam sudah mulai menembus pesisir Muara Tembulih. Itu menyebabkan penyu enggan mendarat dan bertelur.
Kelompok Sukamaju mencatat, pada dua musim pendaratan penyu tahun 2006, sebanyak 40 ekor penyu mendarat di pantai Muara Tembulih. Jumlah itu terus menurun. Pada dua musim pendaratan 2007 hingga 2009, hanya sekitar 20 induk saja yang mendarat.
Untuk itu, penyelamatan ekosistem dengan menanami kembali pesisir sepanjang 3,5 kilometer untuk membuat kawasan pesisir tersebut kembali rimbun sangat mendesak.
Selain itu, kelompok juga tengah mengharapkan agar Pemkab Lampung Barat bersedia menyediakan anggaran untuk pembelian telur penyu. Untuk menekan perdagangan telur penyu, saat ini kelompok sudah mengimbau para nelayan atau warga yang menemukan telur penyu agar menjualnya kepada kelompok pelestari. Tetapi, kemampuan kelompok membayar sangat kecil sehingga telur-telur yang diserahkan juga jauh dari harapan.
Kelompok pelestari berharap, Pemkab Lampung Barat mau membantu menyediakan anggaran pembelian telur dengan harga yang menarik, misalnya Rp 2.500 dan bukannya Rp 1.000 per butir seperti sekarang ini. ”Hal itu penting karena kawasan Muara Tembulih yang saat ini sudah ditetapkan sebagai KKLD juga harus memulai upaya penyelamatan dari telur,” ujar Achyar.
Kerja keras dan semangat Achyar pun tidak sia-sia. Gubernur Lampung Sjachroedin ZP menganugerahinya Kalpataru kategori penyelamat lingkungan pada 5 Juni 2007 saat peringatan Hari Lingkungan Hidup.
Achyar yang tetap bersemangat meski umur semakin sepuh berharap penghargaan itu bukan hanya sekadar penghargaan. Namun, sebaiknya bisa menjadi pemicu bagi setiap warga dan jajaran Pemkab Lampung Barat untuk melestarikan penyu.
ACHYAR
• Lahir: Krui, 7 Oktober 1947
• Istri: Roihana (53)
• Anak: - Nurseha (45) - Darmawan (40) - Ridwan (35)
• Pendidikan: Sekolah Pendidikan Guru Krui 1992-1993
Sumber: Kompas, Rabu, 2 Desember 2009
No comments:
Post a Comment