Keputusan
HADIAH SASTERA “RANCAGÉ” 2010
Alhamdulillah pada tahun ini untuk ke-22 kalinya Hadiah Sastera “Rancagé” diberikan untuk sastera bahasa Sunda, yang ke-17 kalinya untuk sastera bahasa Jawa, untuk yang ke-14 kalinya untuk sastera bahasa Bali dan untuk kedua kalinya untuk sastera bahasa Lampung. Untuk sastera bahasa Sunda dan bahasa Bali diberikan setiap tahun tanpa putus. Untuk sastera Jawa pernah hadiah untuk karya tidak diberikan pada tahun 1995 karena tidak ada buku sastera yang terbit tahun 1994. Dan untuk bahasa Lampung setelah diberikan sekali (2008), tahun berikutnya tidak diberikan karena tak ada karya sastera yang terbit dalam bahasa tersebut tahun 2008. Seperti diketahui hadiah untuk karya diberikan kepada sasterawan yang menerbitkan buku yang terbit tahun sebelumnya.
Dalam tahun 2010, Hadiah Sastera “Rancagé insya Allah akan diberikan kepada para sasterawan yang menulis dalam bahasa Sunda, Jawa, Bali dan Lampung. Meskipun masih merupakan kegiatan rumahan, belum menjadi industri yang sesungguhnya, penerbitan buku bahasa Sunda, Jawa dan Bali secara tetap setiap tahun masih berjalan, selalu ada buku karya sastera baik baru maupun cétak ulang yang terbit. Adanya cétak ulang merupakan pertanda bahwa masarakat menyerap buku tersebut. Sayang dalam kasus bahasa Sunda, buku cetak ulang terutama merupakan buku-buku lama terbitan sebelum perang. Hal itu menunjukkan bahwa pembaca buku bahasa Sunda terutama masih orang-orang lama yang ingin membaca lagi buku yang pernah dibacanya sekian waktu yang lampau. Tapi dengan begitu maka buku-buku lama juga dibaca oléh anak-anak muda untuk pertama kali. Dengan demikian mereka mendapat kesempatan untuk mengenal buku-buku yang terbit sebelum meréka lahir sehingga meréka dapat mengikuti perkembangan sastera bahasa ibunya.
Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 untuk sastera Sunda
Dalam tahun 2009, buku bahasa Sunda yang terbit, baik asli maupun terjemahan, baik baru maupun cétak ulang, semuanya ada 30 judul, termasuk 4 judul buku bacaan anak-anak. Namun buku baru hanya 13 judul dan yang bukan terjemahan atau kumpulan karya bersama hanya 4 judul. Di samping itu ada 4 judul buku baru bacaan anak-anak. Cétak ulang ada yang asli (Pangéran Kornél karya R. Méméd Sastrahadiprawira, Perang Bubat, Pamanah Rasa, Putri Subanglarang, dan Prabu Anom Jayadéwata karya Yoséph Iskandar, Ménak Baheula karya Caraka, Kalepatan Putra Dosana Ibu-rama karangan Joehana, Wawacan Panji Wulung karya Moh. Musa, Rasiah Geulang Rantay karya Nanie Sudarma, Onom jeung Rawa Lakbok karya R.A. Danadibrata dan Ngalanglang Kasusastran Sunda karya Ajip Rosidi) dan ada juga yang terjemahan (Pependeman Nabi Sulaéman karya Moh. Ambri). Begitu juga buku baru, ada yang asli (Néléngnéngkung karya Wahyu Wibisana, Di Nagri Katumbiri karya Dédy Windyagiri, Salawé Sesebitan Hariring karya Apung S.W., Sanggeus Umur Tunggang Gunung karya H. Usép Romli H.M., Sastra Sunda Pinilih kumpulan karya pemenang Hadiah Sastera LBSS 2006-2008, Sajak Sunda suntingan Aan Merdéka Permana karya 10 orang penyair, Carita Kriminal dan Carita Mistéri karya Aan Permana Merdéka, Dangdanggula Sirna Rasa, Kinanti Kulu-kulu, Sinom Barangtaning Rasa, Sinom Wawarian dan Asmarandana nu Kami, kelimanya guguritan karya Haji Hasan Mustapa yang diusahakan oléh Ajip Rosidi) dan ada juga terjemahan (Al Hikmah terjemahan Qur’an basa Sunda oléh H. Maryati Sastrawijaya).
Dalam Néléngnéngkung, Wahyu Wibisana mencoba menghidupkan kembali kenang-kenangannya semasa kecil. Judulnya adalah lagu yang sering dinyanyikan para ibu ketika menimang anaknya yang masih bayi. Karena dia dilahirkan dan menjadi besar di kampung, maka yang dikisahkannya adalah kehidupan kampung Sunda di kaki gunung Galunggung, Tasikmalaya. Akhirnya dia meninggalkan kampungnya itu karena bekerja sebagai guru di berbagai tempat dan akhirnya menetap di Bandung, kota yang disebut dalam nyanyian “Néléngnéngkung”. Meski ia mencoba bercerita sebagai anak kecil yang dikisahkannya, namun dalam berbagai hal dia lebih menampilkan imajinasinya setelah menjadi tua (pada waktu menulisnya) misalnya ketika menceritakan bulan puasa.
Di Nagri Katumbiri merupakan kumpulan sajak dan guguritan (puisi tradisi yang bentuknya terikat sebagai pengaruh dari macapat Jawa). Sebelumnya Dédy menerbitkan kumpulan guguritan yang pertama dalam bahasa Sunda) berjudul Jamparing Hariring (1991) dan kumpulan sajak Di Lembur Bulan Dikubur (1992). Dalam sajak-sajaknya apalagi dalam guguritannya, Dédy senang sekali bermain-main dengan bunyi kata-kata yang merupakan purwakanti. Mungkin karena itu para juru tembang Cianjuran memuji guguritan Dédy sebab bagus kalau dinyanyikan. Tetapi purwakanti itu sayang sekali hanya indah bunyinya saja, tidak mengandung bobot isi yang bernas, karena hanya seputar hubungan perasaan lelaki terhadap perempuan. Juga sajak-sajak dan guguritan yang dimuat dalam Di Nagri Katumbiri terasa mengambang dalam permainan kata.
Apung menulis semacam mémoar yang bertalian dengan dunia Tembang Sunda. Dia mémang dikenal sebagai juru tembang Cianjuran terkemuka dan sering menulis pandangan-pandangannya – di samping menulis guguritan untuk tembang. Guguritan yang dia tulis diterbitkan dalam Lagu Liwung Urang Bandung (2006). Dalam Salawé Sesebitan Hariring (Duapuluh lima carik Senandung) dimuat 25 buah karangan berupa pandangan dan pengalamannya selama aktif dalam dunia Tembang Sunda. Caranya menulis menarik dan lancar, isinya pun banyak memberikan informasi baru dan menimbulkan bahan pikiran bagi meréka yang berminat terhadap Tembang Sunda – yang sering tidak terpikir oléh orang lain.
Sanggeus Umur Tunggang Gunung (Setelah Usia Lanjut) adalah kumpulan cerita péndék H. Usép Romli. Sebelumnya Usép menerbitkan Ceurik Santri (1985), Jiad Ajengan (1993), dan Paguneman jeung Fir’aon (2006), ketiganya kumpulan cerita péndék. Tapi ia juga menulis sajak, antaranya terbit dalam dua kumpulan Sabelas Taun (1979) dan Nu Lunta Jauh (1992). Roman pun dia tulis, yaitu Nganteurkeun (1986) dan Béntang Pasantrén. Dia pun banyak menulis cerita bacaan anak-anak. Selain dalam bahasa Sunda Usép banyak menerbitkan buku dalam bahasa Indonésia.
Ada sembilan cerita péndék yang dimuat dalam Sanggeus Umur Tunggang Gunung, melukiskan berbagai masalah yang dihadapi oléh orang Sunda di perkampungan yang dilanda oléh “pembangunan” sehingga oléh tokoh-tokohnya yang sudah “tunggang gunung” (menjelang usia senja) dibandingkan dengan keadaan masa kecil meréka ketika perkampungan masih “utuh”. Bukan hanya alam dan lingkungan saja yang berubah tapi alam pikiran dan kehidupan pun sudah berbéda. Téma yang digarap dalam kumpulan ini sebenarnya tak banyak berbéda dengan yang sudah ditulis Usép dalam karya-karyanya yang lebih dahulu, tetapi lebih matang dan dengan cara yang lebih inovatif. Misalnya yang berjudul “Néangan Pajaratan” (Mencari Makam) adalah kisah yang disampaikan oléh orang pertama. Tetapi sejak awal sampai akhir tidak ada satu kata “kuring” atau pun padanannya tertulis di dalamnya. Usép memanfaatkan secara maksimal sifat bahasa Sunda yang dapat membentuk kalimat tanpa subyék. Hal yang pernah dilakukan oléh Moh. Ambri dalam Numbuk di Sué (1932)
Nada dasar Islam yang menjadi téma umum karya-karya Usép, dalam beberapa cerita dalam Sanggeus Umur Tunggang Gunung dikemukakan secara tidak langsung. Dalam “Lauk Cimanuk” dengan mempertentangkan orang yang berhasil memancing ikan besar dari Cimanuk tapi terpaksa meninggalkan salat sehari suntuk. Dalam “Tawuran” digambarkan kiai dan ustad yang hendak merundingkan jalan pemecahan mengatasi tawuran antar kampung, malah lupa daratan menghadapi hidangan makanan énak. Dalam “Tower” dengan melukiskan keiklasan orang yang memberikan uang simpanan untuk menunaikan ibadah haji kepada tetangga yang lebih memerlukannya. Dalam “Ahli Waris” turunan dukun termashur meninggalkan “pekerjaan warisan” nénékmoyangnya karena melihat perubahan zaman yang tidak cocok lagi dengan perdukunan yang mengandalkan asap kemenyan. Sebaliknya seorang kemenakannya berhasil menjalankan tugas melayani keinginan orang yang datang meminta tolong dengan aktif dalam dunia periklanan. Dan dalam “Kasaktén Abah Suma”, Usép seakan memberikan konfirmasi terhadap ma’unah yang diberikan Tuhan kepada orang tertentu yang benar-benar iklas dan benar-benar merasa sama sekali tak berdaya kecuali atas izin Tuhan.
Dan semuanya diceritakan Usép dengan lancar secara wajar sehingga terciptalah dunia imajinasi yang khas sebagai sastera. Dengan demikian buku sastera Sunda yang terpilih untuk mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 buat karya adalah
Sanggeus Umur Tunggang Gunung
Karya H. Usép Romli H.M.
Terbitan Kiblat Buku Utama, Bandung
Maka kepada H. Usép Romli H.M., akan disampaikan Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
Sedangkan yang terpilih untuk mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 buat jasa karena besar jasanya dalam memperkaya bahasa Sunda dengan tulisan-tulisan yang bersifat sosial-politik adalah
Karno Kartadibrata
(lahir di Garut 10 Fébruari, 1945)
Sebagai redaktur (kemudian Wakil Pemimpin Redaksi) mingguan bahasa Sunda Manglé setiap pekan Karno menuliskan pandangannya tentang situasi masarakat, terutama masarakat Sunda, sejak tahun 1977. Dia mencoba mengajak pembaca untuk melihat situasi kelilingnya dengan kritis serta menghubungkannya dengan masa yang lampau atau dengan apa yang terjadi di luar masarakat Sunda. Dengan tulisan-tulisannya itu Karno memperkaya bahasa Sunda dengan tulisan-tulisan yang bersifat sosial-politik, sehingga dapat menjadi bukti bahwa bahasa Sunda tidak hanya dapat digunakan untuk menulis sajak dan cerita péndék saja. Meskipun kadang-kadang terjadi pengulangan atau seperti yang kehilangan arah, namun menulis secara tetap dari pekan ke pekan selama puluhan tahun merupakan préstasi tersendiri.
Sebelum bekerja di majalah Manglé, Karno aktif dalam pérs bahasa Indonésia. Dia pernah bekerja a.l. sebagai wartawan sk. Harapan Rakyat, lalu pindah ke mingguan Mimbar Démokrasi, koréspondén Harian Kami, redaktur Prima. Dia juga menulis sajak dalam bahasa Indonésia dan terbit dengan judul Lipstick (1981) dan Parfum ( (1997). Pernah menjadi Sékertaris PP-SS (1979) dan ketua bidang pendidikan LBSS (1994—1998). Menjadi pemrakarsa Pésta Sastera Sunda yang sempat berlangsung tiga tahun.
Kepada Karno Kartadibrata akan disampaikan Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 buat jasa berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 buat sastera Jawa
Dalam tahun 2009, buku bahasa Jawa yang terbit ada 12 judul, terdiri dari kumpulan guritan yaitu sajak (Gurit Panuwuning Urip karya David Hariyono, Gurit Abang Branang karya Rachmat Djoko Pradopo, Layang Panantang karya Sumono Sandy Asmoro dan Wong Agung: Gurit Punjul Rong Puluh karya Budi Palopo); sebuah kumpulan cerita péndék (Tembangé Wong Kangen karya Sumono Sandy Asmoro) dan sejumlah roman (Trétes Tintrim, Kunarpa Tan Bisa Kandha, Garuda Putih, Ser! Randha Cocak karya Suparto Brata; Mis, Koncoku Sinarawedi karya Rahmat Ali dan Carang-carang Garing karya Tiwiek SA).
Penerbitan kedua belas buku itu mengisaratkan beberapa fénoména penting: (1) ternyata yang menulis dalam bahasa Jawa tidak hanya meréka yang tinggal di Jawa Tengah dan Timur saja, melainkan juga di Jakarta yaitu Rahmat Ali yang mengawani Dyah Hadaning yang tinggal di Dépok. (2) Kebanyakan buku ternyata terbit di Yogyakarta, walaupun ada yang terbit di berbagai kota lain (Semarang, Surabaya, Malang). (3) Buku yang terbit ternyata kebanyakan karya pengarang Jawa Timur: Suparto Brata (Surabaya, 4 judul), David Hariyanto (Malang, 1 judul), Sumono Sandy Asmoro (Ponorogo, 2 judul). (4) Muncul karya dua orang pengarang yang telah dikenal menulis dalam bahasa Indonésia, yaitu Rachmat Djoko Pradopo dan Rahmat Ali dalam bahasa Jawa untuk pertama kali.
Hal itu membuktikan bahwa sastera Jawa tak perlu ditakutkan punah karena pendukungnya berada di berbagai daérah dan berbagai kalangan. Pengarang seperti Suparto Brata sangat produktif, setiap tahun niscaya ada bukunya yang terbit dan tidak hanya satu judul dan buku-buku itu yang berupa cerita detéktif digemari pembaca. Roman Rahmat Ali Mis, Kancaku Sinarawedi mempertentangkan watak kawannya yang ketika kecil bandel, licik tapi segar dan ceria penuh keakraban dengan keadaannya ketika kelihatan sangat tua, sakit, miskin dan rapuh. Penggunaan dialék Jawa Timuran dalam keutuhan cerita terasa mengganggu pemahaman pembaca.
Dalam romannya Carang-carang Garing, Tiwiek SA mengisahkan pengayuh bécak yang membunuh kemenakannya sendiri agar hidup anaknya dalam keluarga adik iparnya tidak terganggu. Sayang ceritanya tidak fokus karena munculnya alur tentang anaknya yang lari dari rumah. Ada kesan ditulis dengan tergesa-gesa.
Cerita-cerita péndék dalam Tembangé Wong Kangen karya Sumono Sandy Asmoro ditulis ketika penulisnya masih muda, bersuasana romantis dan melukiskan dunia kaum muda yang terbatas problim dan kedalaman pemikirannya.
Membaca keempat kumpulan guritan yang terbit tahun 2009, timbul keasyikan yang bervariasi. Dalam Gurit Panuwuning Urip, penyairnya mencari bentuk éksprési untuk setiap gagasan. Misalnya “Aku Iki” adalah pencarian jati diri pemuda yang sedang mencari idéntitas. Dalam pemilihan imaji penyair perlu mempertimbangkan dengan bening. Bentuk éksprésinya yang panjang-panjang sering mubadzir karena mengaburkan ésénsi. Meskipun demikian ada beberapa guritan yang bagus seperti “Gurit Panuwuning Urip”, “Hanaa Sira”, “Isih kaya Biyén, Jiwamu” dan “Wisa”.
Geguritan Abang Branang adalah karya penyair bahasa Indonésia yang menjadi gurubesar sastera di UGM. Guritan yang dimuat dalam kumpulan itu, ditulis sejak 1960-an sampai 2008. Dengan gaya yang ringan, dia mengemukakan kesan dan kritik terhadap kehidupan yang kompléks. Secara keseluruhan guritan dalam kumpulan ini énak dibaca, terutama yang péndék-péndék seperti “Nyekar”, “Yén Srangéngé Ngangkat Segara” dan “Ibu Kondur”. Tetapi kadang-kadang muncul juga kata-kata bahasa Indonésia bahkan Inggris.
Dalam Layang Panantang, penyairnya menunjukkan keberanian memilih dan merambah pengalaman berbagai jiwa dengan téknik éksprési yang tepat, sering dalam bentuk épigram (“Épigram Kacu Wungu”, “Épigram Jingga”, Épigram Ésuk”) atau dengan latar yang sangat Jawa (“Sokalima 2006”, “Pupuh Pamitan”, “Kembar Mayang”, “Pupuh Palaran”). Semuanya dengan kasadaran bahwa keindahan harus selaras dengan bobot pikirannya. Sejumlah guritan menggunakan tipografi, tata ruang, tata larik yang sengaja dibuat simétris untuk mengajak pembaca “masuk” ke ruang pikiran penggurit dan memberinya makna sendiri.
Secara keseluruhan Wong Agung: Gurit Punjul Rong Puluh digarap dengan dasar oralitas perpuisian Jawa yang kuat sehingga sebagian besar indah dibaca dan beréfék mantera. Namun banyak kata yang digunakan amat individual sehingga menimbulkan “kegelapan” dalam penafsiran. Misalnya guritan “Suluk Pagunungan”, “Sastera Géndra” dan beberapa lagi. Namun ada guritan yang sangat menarik, misalnya “Kembang Geni”, “Trumpah Lars”, “Srengéngé”, “Sun Tulup Biruné Langit”, dan “Wiji Thukul”.
Setelah dipertimbangkan dengan saksama, maka Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 sastera Jawa untuk karya, diberikan kepada
Layang Panantang
Karya Sumono Sandi Asmoro
(Terbitan Balai Bahasa Surabaya)
Sedangkan Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 sastera Jawa untuk jasa diberikan kepada
Bonari Nabobenar
(lahir di Trenggalék, 1 Januari 1964)
Bonari sejak duduk di bangku sekolah punya perhatian besar terhadap sastra. Dia lulusan IKIP Surabaya (sekarang Universitas Negeri Surabaya) jurusan Bahasa dan Sastera Indonésia. Dia aktif dalam diskusi-diskusi baik tentang sastera Jawa maupun sastera Indonésia, di kampus maupun di luarnya. Dia aktif dalam Sanggar Triwida. Setelah lulus dia mengembangkan sastra Jawa di daérah kelahirannya, Trenggalék, Jawa Timur. Dalam tahun 1993—1994 bersama beberapa orang kawannya dia melakukan gerakan kesasteraan dengan bendéra “Révitalisasi Sastera Pedalaman”.
Sebagai lulusan IKIP, dia pernah menjadi guru SLTP swasta, tapi minatnya lebih condong ke dunia sastera dan jurnalistik, antaranya menjadi redaktur Jawa Anyar (Solo). Sekarang dia menjadi redaktur X-file.
Mula-mula dia menulis sajak (guritan), cerita péndék maupun ésai yang dimuat dalam berbagai média bahasa Jawa seperti Jaya Baya, Panjebar Semangat., Mekar Sari dan Jaka Lodang. Sementara itu karya-karyanya yang berbahasa Indonésia dimuat dalam Surabaya Post, Suara Indonésia, Jawa Pos, Wawasan, Horison, dll.
Sekarang Bonari menjadi Ketua PPJPS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya) dan dalam beberapa tahun terakhir menjadi fasilisator penulisan kréatif tenaga kerja wanita Indonésia di Hongkong. Hasilnya telah terbit beberapa karya fiksi pengarang wanita muda dari komunitas TKI di Hongkong. Bonari juga menjadi penggerak penyelenggaraan Kongrés Sastra Jawa I (2001) di Solo dan Kongrés Sastra Jawa II (2006) di Semarang, menjadi penyelenggara Féstival Sastra Jawa dan désa (2009), dll.
Maka kepada Bonari Nabobenar akan disampaikan Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 sastera Jawa untuk jasa, berupa piagam dan uang (Rp,. 5 juta).
Hadiah sastera “Rancagé” 2010 untuk sastera Bali
Pada tahun 2009, dalam bahasa Bali terbit sembilan buku karya sastera, yaitu sebuah kumpulan puisi (Gerip Maurip Ngridip Mekedip) karya I Nyoman Manda, sebuah roman saduran (Cokorda Darma karya I Gusti Putu Antara), tujuh kumpulan cerita péndék (Cor karya I Wayan Paing, Da Nakonang Adan Tiange karya Agung Wiyat S. Ardhi, Jangkrik Maenci karya I Gusti Putu Bawa Samar Gantang, Bli Kadek karya Putu Nopi Suardani, Dasa Tali Dogén karya I Gdé Darma, Léak Pemoroan karya I Wayan Sandha dan Warisan Jagal karya IBW Keniten).
Kumpulan puisi I Nyoman Mandra sangat istiméwa, terdiri dari 4 jilid, jilid I-III tebalnya masing-masing lebih dari 1000 (seribu) halaman, sedang jilid IV kurang dari 10 halaman. Keseluruhannya lebih dari 3.500 halaman. Baik dalam bahasa Bali modéren maupun dalam bahasa Indonésia tidak pernah ada kumpulan sajak seorang penyair yang setebal itu. I Nyoman Manda mémang pengarang yang sangat produktif dalam bahasa Bali. Dia menulis sajak, roman, drama dan cerita péndék, pernah mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” tiga kali, satu untuk jasa (1998) dan dua untuk karya (2003 dan 2008). Dia juga menjadi redaktur dua majalah dalam bahasa Bali yaitu Canangsari dan Satua yang belakangan menjadi dwibahasa (dengan bahasa Indonésia).
Gerip Maurip Ngridip Mekedip jilid III khusus memuat terjemahan Manda dari para penyair Indonésia mulai dari Sanusi Pané dan Amir Hamzah, sampai Afrisal Malna dan Oka Rukmini dan penyair dari berbagai negara melalui terjemahan bahasa Indonésia al. dari Jerman, Australia, Afrika Selatan, dan Malaysia. Tapi jilid I dan II hanya memuat karya Manda sendiri. Artinya lebih dari 2.000 sajak. Témanya sangat beragam terutama berdasarkan kenyataan sehari-hari, mulai dari komérsialisasi budaya akibat industri pariwisata, korupsi, kampanye pemilu, démo anarkis, narkoba, sinétron, banjir, kenaikan harga BBM, illegal loging, kasus Prita Mulyasari, Tukul Arwana, dll. Juga topik hangat dunia menjadi sajak di tangan Nyoman Manda seperti perang jalur Gaza, kekerasan Tienamen Béijing, insidén George Bush dilémpari sepatu, Obama menghadapi krisis dunia, dll. Manda banyak mengambil inspirasi dari berita hangat dalam média massa. Kualitasnya sebagai puisi tidak merata Ada yang kuat penuh renungan dan sinisme yang tajam, tapi banyak yang mirip catatan pojok koran.
Roman Cokorda Darna adalah saduran dari Don Quixote karya Cervantes yang sudah menjadi klasik dunia. Jarang ada roman saduran dari bahasa asing ke dalam bahasa Bali, maka roman ini merupakan pembuka jalan. Sayang alur ceritanya rumit dan penuh lubang, sehingga sulit diikuti.
Tidak pernah ada pembuktian tentang adanya léak, tetapi orang Bali pada umumnya percaya bahwa mémang ada manusia sakti yang bisa menjelma menjadi léak (berbentuk bola api, monyét, babi, anjing, rangda, barong dan apa saja) dan suka menyakiti orang lain. Para pengarang Bali seakan meneguhkan kepercayaan itu léwat karya-karyanya yang bercerita tentang léak, tetapi menegaskan bahwa léak sebagai lambang ilmu hitam yang jahat itu pasti bisa dikalahkan oléh kebaikan. Dalam tujuh kumpulan cerita-péndék terbitan 2009 itu, banyak cérita tentang léak. Isi Jangkrik Maenci karya I Gusti Putu Samar Gantang, sebagian besar cerita léak. Demikian juga Léak Pemoronan karya I Wayan Sandha dan Da Nakonang Adan Tiange karya Agung Wiyat memuat cerita panjang tentang léak.
Kelemahan umum ketujuh buku itu ialah karena kualitas setiap céritanya tidak merata. Dalam Dasa Tali Dogén karya I Gdé Darma misalnya yang memuat 15 buah cerita, hanya ada dua buah cerita yang bagus dan kuat, sedang sisanya tanpa konflik dan tidak utuh sebagai cerita. Banyak yang seperti ésai atau artikel. Yang istiméwa penerbitan buku ini disertai dengan CD yang berisi rekaman pembacaan cerita-cerita itu oléh pengarangnya sendiri.
Begitu juga cerita-cerita yang dimuat dalam Cor, Bli Kadek dan Warisan Jagal tidak ada yang menawarkan kedalaman, meski kisahnya menarik tetapi selesai sebelum berakhir. Mungkin karena ditulis tergesa-gesa untuk surat kabar.
Yang menonjol adalah Léak Pemoroan (Sétan Pemoroan) karya I Wayan Sandha yang memuat 41 cerita yang ditulis sebagai skétsa kehidupan tetapi unsur naratif dan konfliknya terjaga kuat. Témanya beragam. Ada kisah léak, ada kehidupan pelacur, korban pasca-pariwisata massa, tentang kepercayaan yang berlebihan terhadap dukun, penipuan sampai fénoména multilevel marketing (MLM). “Léak Pemoroan” menuturkan ketabahan penyuluh (pencari belut dengan obor malam hari) menghadapi gangguan sétan. Dia tidak takut menghadapi manusia jadi-jadian dan menyerangnya sampai mati. Lukisan suasana malam dan perang melawan sétan ditulis dengan déskripsi yang kuat. Bahasa yang digunakan nylenéh namun mampu menggali masalah dan menggambarkan watak tokoh cerita. Kritik pedas pun dilontarkan dengan bahasa yang jernih. Dalam “Wisian Bank Dunia” dikritiknya MLM sambil menyentil “Ah, gara-gara Bank Dunia iraga nepukin soroh jelema dot sugih kuala tusing bani ngetélang peluh.” (Ah, gara-gara Bank Dunia aku menemukan kelompok manusia yang ingin kaya tetapi tidak berani menétéskan peluh). Pemakaian perumpamaan atau kiasan juga tepat sehingga membuat skétsa kehidupan ini memiliki aroma sastera yang kental.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 sastera Bali untuk karya diberikan kepada
Léak Pemoroan
Karya I Wayan Sadha
(terbitan Balai Bahasa Dénpasar)
Sedangkan yang terpilih untuk mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 sastera Bali untuk jasa, ialah
Agung Wiyat S. Ardhi
(lahir di Gianjar, 3 Fébruari, 1946)
Kegiatan Agung Wiyat meliputi dua bidang, yaitu pertama sebagai penulis kréatif yang mencipta karya sastera baik bahasa Bali tradisional maupun bahasa Bali modéren. Kedua, aktif dalam pembinaan bahasa, aksara dan sastera Bali. Dia mulai menulis dalam bahasa Bali modéren tahun 1976 dan terus aktif sampai sekarang. Sejak tahun 1991 karyanya sering menjadi juara lomba penulisan puisi atau cerita péndék di Bali. Tahun 1997 kumpulan ceritanya Bogolan menjadi juara pertama. Tahun 2001 kumpulan cerita péndéknya Gending Girang Sisi Pekerisan mendapat Hadiah Sastera “Rancagé”. Karyanya yang lain adalah kumpulan naskah drama Bogolan termasuk Mandor Bawah (2002), Bukit Buung Bukit Mentik (2004) dan Da Nakonang Adan Tiange (2009).
Di bidang sastera Bali tradisional, Agung Wiyat banyak menyalin dan menguraikan arti bagian-bagian épos Mahabharata dan Ramayana serta cerita-cerita Tantri. Yang sudah dia salin adalah Prastanika Parwa (2004), Swarga Rohana Parwa (2004), Wirata Parwa (2006) dan Uttara Kanda (2008). Semuanya diterbitkan sebagai buku dengan aksara Bali, sehingga menjadi sarana bagi para peminat untuk menikmati karya sastera dalam aksara Bali atau mempelajarinya.
Sejak 2000 Agung Wiyat aktif dalam berbagai tim pembina bahasa, sastera dan aksara Bali yang memberikan penyuluhan kepada kelompok para guru, pelajar, dan ibu-ibu PKK. Agung Wiyat juga aktif dalam pembinaan kelompok mabebasan atau pesantian (menyanyikan dan menguraikan arti puisi tradisional termasuk gaguritan, kidung, dan kakawin). Di samping itu ia juga duduk dalam tim yang menyeléksi dan menyiapkan tim mabebasan kabupatén (Gianyar) untuk perlombaan tingkat provinsi yang diselenggarakan dalam Pésta Kesenian Bali yang berlangsung setiap tahun.
Dengan demikian maka Hadiah Sastera “Rancagé’ 2010 sastera Bali untuk jasa diberikan kepada Agung Wiyat S. Ardhi berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 untuk sastera Lampung
Hadiah sastera “Rancagé” untuk karya pernah diberikan untuk sastera Lampung pada tahun 2008 karena ada buku karya sastera dalam bahasa Lampung terbit pada tahun 2007. Tapi pada tahun 2008 tak ada yang terbit, sehingga tahun yl. tak ada Hadiah “Rancagé” untuk sastera Lampung. Tahun 2009 terbit dua buku dalam bahasa Lampung, sehingga akan diberikan Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 untuk karya dalam bahasa Lampung.
Kedua buku itu satu berupa kumpulan sajak (Di Lawok Nyak Nélépon Pelabuhan karya Oky Sanjaya), yang satu lagi kumpulan cerita péndék (Cerita-cerita Jak Bandar Negeri Semuong karya Asarpin Aslami).
Di Lawok Nyak Nélépon Pelabuhan (Di Laut Aku Menélépon Pelabuhan) memuat 57 buah sajak yang ditulis oléh mahasiswa Universitas Lampung jurusan Fisika ini berupaya membangun imajinasi tentang hal-hal yang bersahaja: lantai, asap, sarung, lesung, dll. Hal-hal sepélé itu diolahnya menjadi métafora yang menarik. Peristiwa sehari-hari diréfléksikan Oky dengan kata-kata sederhana, tapi mampu merangsang pembaca untuk merasakan hal yang sebenarnya, misalnya sajak “Hinjang Bak” (Sarung Ayah). Akan tetapi secara keseluruhan sajak-sajak Oky masih mentah, jauh daripada sajak-sajak Udo Z. Karzi peraih Hadiah Sastera “Rancagé” 2008.
Cerita-cerita jak Bandar Negeri Semuong (Cerita-cerita dari Bandar Negeri Semuong) memuat 17 cerita péndék yang melukiskan berbagai kebiasaan, tatacara, adat-istiadat, perilaku dan polah masyarakat di Bandar Negeri Semuong, sebuah kecamatan di Kabupatén Tanggamus, Lampung. Asarpin yang lulusan IAIN Radén Intan ini mampu mendéskripsikan budaya tradisional dalam cerita péndék yang ditulisnya seperti kebiasaan kajaruwan (mengumpulkan kayu bakar) yang dilakukan ibu-ibu di kampung, atau kebiasaan siahan (berbisik di balik dinding rumah yang dilakukan para pemuda kepada gadis pujaannya). Ada pula yang mengolah warahan (salah satu bentuk sastera lisan) ke dalam cerita péndék modéren. Meskipun kisah yang diceritakannya berbéda-béda tetapi ada tempat yang menjadi bingkai yang menghubungkan cerita-cerita itu satu sama lain. Sayang ada beberapa uraian yang terasa bukan cerita péndék, seperti “Badok” (Bergelar) yang hanya menguraikan tentang upacara pemberian gelar adat ketika orang menikah.
Tak dapat disangkal bahwa buku Asarpin ini merupakan kumpulan cerita péndék modéren pertama dalam bahasa Lampung yang banyak mengandung nilai-nilai tradisional dan modéren. Dengan pertimbangan itu, maka Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 sastera Lampung untuk karya diberikan kepada
Cerita-cerita Jak Bandar Negeri Semuong
Karya Asarpin Aslami
(terbitan B.E. Press, Bandar Lampung)
Hadiah “Samsudi” 2010 untuk bacaan anak-anak dalam bahasa Sunda
Dalam tahun 2009, terbit 4 judul buku bacaan anak-anak dalam bahasa Sunda yang semuanya merupakan dongéng sasakala, yaitu Sasakala Cadas Pangéran, Sasakala Candi Cangkuang, Sasakala Karajaan Arcamaik dan Sasakala Pajajaran. Semuanya ditulis oléh Aan Merdéka Permana. Sasakala adalah semacam legénda yang bertalian dengan asal-usul nama tempat, gunung, telaga, sungai atau makhluk dan lain sebagainya. Dalam masyarakat Sunda misalnya ada dongéng sasakala Sang Kuriang bertalian dengan terjadinya Danau Bandung dan gunung Tangkuban Perahu, dongéng sasakala tentang terjadinya gunung Tampomas di Sumedang, atau tentang sebabnya gagak berbulu hitam padahal asalnya putih. Namanya dongéng, tak dapat dianggap sejarah karena hanya berdasarkan imajinasi dan fantasi manusia saja. Tetapi dalam sasakala yang ditulis oléh Aan Merdéka Permana itu sering disebut dengan pasti titimangsa berupa tahun yang tidak jelas sumbernya seakan-akan kejadian yang diceritakannya itu kebenaran sejarah sehingga dapat menimbulkan salah persépsi anak-anak yang membacanya. Padahal apa yang ditulis oléh Aan itu tidak selalu sejalan dengan kenyataan sejarah. Misalnya pemberian gelar “kolonél” oléh Gubernur Jendéral Baron van (der) Capéllen diceritakan dalam Sasakala Cadas Pangéran berdasarkan jasa-jasanya mengamankan Sumedang yang konon tidak aman karena banyak gangguan orang jahat. Padahal menurut sejarah pangkat “kolonél” itu diberikan kepada Pangéran Kusumahdinata karena beliau diangkat menjadi komandan pasukan berbagai kabupatén Tatar Sunda untuk menghadapi pemberontakan Pangéran Diponegoro. Karena mendapat pangkat “kolonél” itulah maka Pangéran Kusumahdinata disebut rakyat sebagai “Pangéran Kornél”.
Memasukkan unsur sejarah ketika menulis cerita yang disebutnya sasakala pada satu pihak seakan hendak mengesankan bahwa ceritanya itu benar-benar sesuai dengan sejarah, tapi pada pihak lain kalau ada yang mempertanyakan data-data sejarah yang digunakannya, dia akan mengélak karena yang ditulisnya adalah sasakala.
Dengan demikian untuk tahun 2010 ini Hadiah “Samsudi” tidak diberikan.
*
Upacara penyerahan Hadiah Sastera “Rancagé” 2010, insya Allah akan dilaksanakan atas kerjasama dengan Universitas Negeri Yogyakarta bertempat di Kampus UNY Yogyakarta pada bulan Méi 2010.
Pabélan, 31 Januari, 2010.
Yayasan Kebudayaan “Rancagé”
Ajip Rosidi
Ketua Déwan Pembina
No comments:
Post a Comment