Oleh Arman A.Z.
APA yang saya apungkan dalam esai Cek Kosong Kesenian di Lampung (Lampost, [3-1]) sebenarnya bukan ihwal baru. Sayang, esai yang dimuat tak utuh itu (mungkin karena kepanjangan), direspons beberapa pihak bahwa fokusnya hanya anggaran. Mungkin karena istilah "cek kosong" yang saya pakai. Padahal, titik tekan yang kuarah adalah regulasi atau kebijakan terhadap seni budaya di Lampung. Mungkin sejalan dengan apa yang disampaikan Iswadi Pratama tentang strategi kebudayaan di Lampung tahun 2010. Ihwal anggaran dan lain-lain adalah dampak susulan, turunan, atau akibat dari regulasi itu.
Kalaupun tetap menafsirkan sebagai anggaran, saya bukanlah yang pertama. Seniman (bukan cuma sastrawan) daerah lain sudah lebih dulu membahasnya. Telusurilah arsip sejumlah media massa daerah (Serambi Indonesia [30-11-2008], Surya [4-2-2007], atau Lampost [27-10-2008], dll). Atau yang kebetulan berdekatan (Pikiran Rakyat, [24-1]). Kalau dibilang ganjil jika seniman "merengekkan" anggaran; 2-9-2009 sejumlah seniman dan budayawan dari berbagai kalangan menemui Hidayat Nur Wahid di ruang rapat MPR. Selain membeberkan berbagai problem seni budaya di Indonesia, dalam pertemuan itu Radhar juga menyatakan bahwa seni budaya perlu dibiayai karena memang ada alokasi anggaran untuk itu (CSR perusahaan milik pemerintah dan swasta). Yang dituntut Radhar dkk. adalah regulasi yang jelas terhadap penyaluran anggaran pengembangan kebudayaan, bagaimana kesenian harus dibiayai, bagaimana dibuat regulasinya, dibuat infrastruktur industri kreatif yang kooperatif (okezone.com, detiknews.com). Tengok juga apa yang "dijanjikan" Menbudpar (indonesia.go.id, [26-10-2009]).
Memang, tugas dan kewajiban seniman adalah berkarya. Tapi, seniman juga punya hak untuk mengkritisi. Setahu saya, anggaran kebudayaan itu bukan milik negara, melainkan milik rakyat yang dititipkan di kantong pemerintah. Sebagai abdi rakyat, pemerintah wajib mendistribusikannya dengan adil dan merata kepada pelaku-pelaku kesenian. Mau atau tidak menggunakan hak dan miliknya, itu soal pilihan. Selama ini parpol juga dapat anggaran, tapi apa hasilnya buat rakyat? Bandingkan lagi dengan anggaran pilkada/pilpres itu, apa hasilnya buat rakyat? Begitulah tanggapan saya mengenai anggaran, yang merupakan dampak dari regulasi atau sistem.
Jika meragukan niat yang tak tulus dan apa yang sudah dilakukan seniman Lampung, ah, nanti dibilang air laut asin sendiri. Lebih baik tanyalah pada para seniman, berapa mereka mesti bayar sewa gedung kesenian yang berada bawah naungan instansi pemerintah. Bayangkan, seniman yang hendak berkesenian (latihan, pentas, launching, pameran) masih harus bayar sewa gedung yang peruntukan dan fungsinya memang untuk kesenian.
Buat saya, ini miris. Hendak mendedikasikan diri buat kesenian pun mereka harus bayar di "rumahnya" sendiri. Mungkin itu pula yang membuat mereka mencari alternatif tempat lain untuk berkesenian. Silakan saja gedung itu disewakan/cari profit/PAD untuk keperluan nonkesenian, tapi jangan perlakukan hal serupa terhadap aktivitas kesenian kebudayaan.
Contoh lain, ketika Kober hendak pentas teater di Medan dalam rangka pertunjukan keliling 3 kota November lalu. Acara yang sudah dijadwal jauh hari tiba-tiba dibatalkan panitia setempat. Dalihnya, pada tanggal bersamaan gedung mau dipakai untuk acara instansi pemerintah. Dalam waktu mepet, Kober mesti cari alternatif tempat lain. Ini fakta kuatnya (atau buruknya?) kendali pemerintah--bukan cuma Lampung--terhadap program-program kesenian. Masih banyak contoh-contoh lain.
Apakah dua contoh itu berkaitan dengan anggaran? Rasanya tidak. Ini dampak dari regulasi, sistem, dan cara pandang terhadap kesenian. Ini ihwal seniman sebagai pihak yang dikalahkan birokrasi. Ini contoh simpel paradigma seni budaya di Indonesia lewat kacamata pemerintah. Janganlah mempersulit seniman, yang katanya melarat itu. Duh, tak usah jadi seniman pun, di negeri ini jauh lebih banyak yang melarat, yang jadi korban atau objek; mereka mengkritisi dalam berbagai bentuk, atau memilih apatis, acuh, dan pasrah.
Mengenai penghargaan, saya (mungkin juga teman-teman lain) tak tertarik acara puja-puji itu, sebagaimana saya tak pernah sekalipun tertarik memubazirkan hak suaraku untuk nyoblos dalam pilkada/pilpres. Banyak seniman di Lampung yang lebih layak dapat penghargaan, semisal Ibu Masnuna yang sampai tua mendedikasikan dirinya untuk sastra lisan. Saya lebih suka menyempatkan diri menonton pertunjukan seni, menyimak diskusi para seniman, mendengar agenda dan harapan mereka terhadap kesenian; sambil ngopi lampung dan terus menyantuni negara ini lewat pajak di setiap batang rokok yang kuisap.
Saya kutip kembali poin penting dalam tulisan saya yang luput dimuat Lampost beberapa waktu lalu. Pertama, harus ada regulasi alternatif dan implementasi konkret terhadap nasib seni budaya di Lampung yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Jadi, sekali lagi, bukan cuma soal anggaran karena itu hanya salah satu dampak. Regulasi itu harus menyentuh prinsip-prinsip keadilan hingga tak muncul nuansa diskriminasi di kalangan pelaku seni di Lampung. Ini kalau dikaitkan dengan perda-perda. Sempatkan duduk bersama, rumuskan kembali relasi dan strategi kemitraan antara pemerintah, seniman, kelompok menengah. Kalau dibilang klise, apa sudah pernah atau kapan terakhir dilakukan? Kalau dibilang mustahil, apa yang tak mungkin di dunia ini?
Kedua, evaluasi, kritisi, bila perlu hentikan event seni budaya yang sifatnya seremonial, berorientasi menyelesaikan proyek, lalu data statistik penuh rekor itu lapuk dalam laci arsip, tapi tak berdampak jangka panjang terhadap kesinambungan seni budaya di Lampung.
Begitulah tanggapan singkat saya. Semoga tak ditafsirkan lain lagi. Membaca satu per satu berita di media massa daerah itu sebelum menulis esai awal Januari itu, saya teringat cerpen Ulat dalam Sepatu karya Gus tf Sakai yang dibuat menjelang reformasi 1998. Saya mesti meluangkan waktu untuk membacanya lagi. Mungkin pembaca yang budiman juga. Seizin penulisnya pula kupinjam judul cerpennya untuk jadi judul tulisan ini.
Akhirnya, saya percaya seniman di tiap daerah, termasuk Lampung, akan tetap setia berkarya. Merekalah yang akan merawat dan meruwat kesenian dengan caranya sendiri. n
* Arman A.Z., Sastrawan
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 13 Februari 2010
No comments:
Post a Comment