BANDAR LAMPUNG--Hari beranjak siang saat teras berubin marmer merah tua yang mengelilingi Museum Lampung mulai dipenuhi anak-anak berseragam sekolah duduk bersimpuh. Sebelah tangan mereka memegang benda bulat berwarna cokelat, tangan satunya memegang kuas.
"Bu, gajah ini bagusnya warna apa, ya?" kata seorang anak kepada ibu di sebelahnya yang berpakaian seragam PNS.
Dengan serius sang anak menyapu bidang demi bidang kosong pada benda bulat itu dengan berbagai cat warna. Sedikit demi sedikit, sebuah motif khas Lampung--tapis dan gajah, menghiasi benda bulat warna cokelat yang ternyata buah berenuk (crescentia cujete).
Demikian susana lomba lukis 1001 Buah Berenuk yang digelar Museum Lampung pada launching Tahun Kunjung Museum 2010, Senin (22-3). Ribuan siswa SD, SMP, dan SMA yang menjadi peserta memadati kompleks museum dengan aktivitas serupa, melukis buah berenuk. Untuk acara lomba lukis tersebut, panitia menyiapkan lebih dari 1100 buah berenuk.
Buah berenuk secara historis akrab dengan masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu. Tak terkecuali Lampung, buah berenuk itu dikenal dengan nama yabaw kayau.
Namun, ternyata melukis dengan media buah berenuk tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan. Hal itu diakui sejumlah peserta, misalnya Mayang, yang duduk di kelas V SD 1 Pringsewu. Dia mengikuti lomba bersama empat orang teman satu sekolahnya. "Susah gambarnya. Bulet, sih. Saya biasa melukis di kertas," kata Mayang sambil terus melukis buah berenuk dengan serius.
Sisna, pelukis asal Pringsewu, menjadi pembimbing Mayang dan teman-temannya, mengatakan buah berenuk memiliki karakter khas untuk menjadi media lukisan. Disebabkan bulat dan tidak rata, anak-anak agak kesulitan melukisnya.
Bahkan untuk latihan, Mayang dan teman-temannya yang mengikuti lomba sudah menghabiskan sekitar lima puluh berenuk. "Satu hari sepuluh buah. Anak-anak latihan selama lima hari. Kami nyari di kuburan, karena tidak ada yang jual," kata Sisna.
Hal serupa juga dikatakan oleh Sasya, murid kelas XI SMA 1 Bandar Lampung. Sasya bersama delapan orang teman satu sekolah mengikuti lomba tersebut. Untuk mengikuti lomba itu, Sasya tidak berlatih pada buah berenuk dahulu. "Susah nyari buahnya. Mau nyari di kuburan ngeri," ujar Sasya sambil tertawa kecil.
Buah yang tidak lazim dimakan itu, kata Kepala Museum Lampung Pulung Swandaru, jika diolah baik bisa menjadi barang bernilai seni tinggi, seperti topeng, hiasan dinding, atau alat musik. "Dengan lomba lukisan buah berenuk ini, kami coba membuat buah berenuk menjadi salah satu kerajinan khas Lampung. Karena pohon buah berenuk banyak ditemui di Lampung ini," kata Pulung.
Sebenarnya, kata Pulung, lomba lukis 1001 Buah Berenuk hendak dimasukkan dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). Karena jumlahnya yang terlalu sedikit untuk masuk catatan rekor--minimal 15 ribu peserta, maka Pulung lebih berharap kepada keunikannya.
Buah berenuk yang juga kerap dianggap buah maja, jika dilihat secara antropologis sangat berkaitan dengan sistem kepercayaan nenek moyang dahulu. Sedangkan dari segi filosofis, buah berenuk, kata Pulung, sangat kental dengan sikap-sikap adilihung yang dijunjung oleh bangsa Indonesia. Tergambar dari sumpah Mahapatih Majapahit Gadjah Mada denagn Sumpah Palapa yang diucapkan terkait dengan buah itu. (TRI PURNA JAYA/U-3)
Sumber: Lampung Post, Selasa, 23 Maret 2010
No comments:
Post a Comment