-- Hardi Hamzah*
MERCY ce livre (terima kasih pada buku), good book is the great friend (buku yang baik adalah kawan setia). Dua istilah Prancis dan Inggris ini tidak dikenal dalam buku Jujur Saya Tidak Jujur karya Sudarmono yang diterbitkan Lampung Post, April lalu.
Tidak dikenal, bukan karena kita tidak pernah berterima kasih pada buku atau melihat buku sebagai barang biasa, tetapi yang terasa memang Sudarmmono dalam bukunya ini, jauh dari barat, jauh dari westernisasi. Bahkan ia mengoyak dan menekuk Barat sebagai suatu kendara gagah-gagahan yang sengaja atau tidak terlewat begitu saja. Sebab itu, saya bingung ketika harus membandingkan buku ini dengan beberapa buku asing, atau setidaknya mendekatkannya dengan Barat sebagai filosofi.
Anehnya, setelah membaca buku ini, saya kehilangan jati diri, puas menghirup napas Barat di bidang ilmu sosial, budaya, dan politik, membuat diri saya kerdil setelah membaca buku ini. Begini to kenyataannya di seputar ranjang kehidupan kita. Bukan mal, mobil baru, berlagak, dan bangga dengan istilah asing. Tidak, tidak itu yang ditawarkan dalam buku ini. Penulis buku ini lebih menawarkan pilar kemanusiaan, relegiusitas, dan ke-Indonesiaan yang hakiki.
Jujur, Saya Tidak Jujur telah meletakkan pilar kesadaran bagi kita, bahwa di sana, di rumah tangga, di keseharian kita, sesungguhnya komunitas yang ada di sekitar kita adalah manusia Indonesia yang berstandar pada kesederhanaan hidup, kejujuran menatap hidup, dan tidak enggan untuk muhasabah (introspeksi), bahkan kerap kita dituntut iling lan waspodo (ingat dan waspada) terhadap apa yang sedang dan akan kita hadapi.
Kesederhanaan penyampaian, dus mengembangkan dan membangun esensi tersendiri dalam buku ini, bahwa sebagai orang Indonesia, kita punya kosa kata nurani dalam hidup ini. Berumah tangga, bergaul, beragama, dan menjalankan apa yang kita hadapi secara serius, setidaknya itu pula yang merangsang kita untuk membaca buku ini. Terkadang kita dipaksa nyengir kuda, sebagaimana yang acap disunggingkan oleh seorang Sudarmono. Tak ada bahasa yang pas yang harus ditransformasikan yang berbahasa pujian atas nama kesederhanaan dan penghargaan terhadap hakikat hidup ke-Indonesiaan. Sentuhan yang berselimut pada nilai humanis, semangat untuk menghantarkan pembacanya pada Sudarmonoisme, (maksudnya, kebiasaan yang tidak selalu menyelimuti hidup dalam kepalsuan), adalah mencari jawab dan menjadi persoalaan tersendiri mengapa kita yang sedang asyik mansuk dengan dunia cybernetik yg centang peranang, seyogianya membaca buku ini.
Terminologi dan gramatikal dalam metoda linguistik yang sangat bebas, mengarahkan kita untuk terus bersandar pada pilar yang ditegakkan oleh Sudarmono dalam Jujur Saya Tidak Jujur. Misalnya istilah ngengkol untuk stater, dan bebrapa pemahaman idiom-idion yang terkadang dikotomis, tapi tetap berpacu pada ke-Indonesiaan, membuat pembaca tergiring untuk tidak menyetop diri begitu saja untuk tidak terus membacanya. Kendati buku ini hanyalah kumpulan Nuansa.
Oleh sebab itu, terpelantinglah, bahkan terpelesetlah kita yang senang dengan epistimologi sains sosial Barat, aufklarung, human material, liberalisme, dan neokapitalisme. Buku ini mereduksi semua pikiran itu, dan merampok nurani kita untuk ngeh, bahwa kalau kita belum bisa buat sekrup ya enggak usah icak icak ngomong tentang mekanik. Ya, Jujur Saya Tidak Jujur, memberi orientasi dan pemahaman, kehidupan ini mbok dilakoni saja enggak usah neko-neko, karena kita baru sebatas sekrup.
Jujur, yang menarik pula dalam buku ini, lamat-lamat, ada kesusasteraan eksistensialisme tanpa sadar, yakni detailnya ungkapan dan istilah, detailnya penggarapan rotasi yang hampir lurus dan cair tidak memaksa. Tampaknya, penulisnya ingin menghamparkan diskursus baru, bahwa semua yang sulit bisa dimudahkan, walau ada pula beberapa tulisan yang realita gagasannya tersendat.
Terlalu banyak kalau saya harus mengulas satu per satu kumpulan tulisan dalam buku ini, tapi dengan segala kekuatan, dan kelemahannya yang mungkin.
Buku setebal 338 halaman, tidak terlalu berkelebihan, bila selama ini disorientasi bergaya hidup, disorientasi dalam keseharian, dan berbagai penyimpangan hidup yang telah kita lakukan, akan dengan sendirinya tereduksi bahkan sirna atau setidaknya menyadarkan kita, bahwa apa-apa yang kita lakukan selama ini "tidak dalam koridor kemanusiaan" dan tidak seperti orang Indonesia.
Jujur yang ada pada kita selama ini, ternyata hanyalah hipokrisi yang dibangun oleh bawah sadar nurani kita yang tercabik, di mana pada gilirannya harus kita lemparkan ke dalam baskom kebenaran. Karena kenyataannya duduk di atas dingklik, makan mantang, naik sepeda motor butut, dan berbahasa apa adanya lebih baik ketimbang terus tidur di ranjang kapitalisme. Inilah kesadaran paling serius yang digugah dalam buku kumpulan Nuansa, sebuah kolom yang hadir setiap hari minus Minggu di bawah Tajuk harian Lampung Post ini.
Konkretnya, saya menarik enam benang hijau setelah membaca buku ini. Pertama, sebagai manusia kita harus seperti manusia dan memanusiakan orang. Kedua, sebagai insan bermoral, beragama, beretika, dan beberapa turunannya yang membungkus kebudayaan Indonesia, jalankan apa adanya. Ketiga, kait mengait kita dengan keruwetan hidup, adalah keseharian dan kenikmatan, yang jalan keluarnya pasti ada.
Keempat, ternyata selama ini ruang ketidakjujuran telah menebalkan iman kita dan tidak menyesatkan kita ke jalan yang lurus untuk tidak menjadi diri kita sendiri. Kelima, kebodohan, keluguan, lugas, dan menjadi manusia tidak mudah. Dan, yang keenam, buku ini benar-benar memukul, menghardik, menyentak-nyentak, mengejek dan membongkar kepalsuan-kepalsuan kita selama ini. Ya, itu tadi, kita seperti orang lain, katakanlah kita seperti "orang asing" di negeri kita sendiri. Dan mengapa kita menjadi "orang asing", karena kita tidak jujur dalam semua aspek kehidupan. Maka, bila kita tidak ingin menjadi orang asing alias kita ingin menjadi orang Indonesia seutuhnya, makruh rasanya kalau kita tidak membaca buku sederhana yang spektakuler ini. Nah,..?
* Hardi Hamzah, Ketua Kelompok 11 dan Staf Ahli Mahar Foundation
Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 Mei 2010
No comments:
Post a Comment