PERNAH membayangkan sebuah kawasan tanpa hutan? Cobalah naik pesawat udara di kawasan jazirah Arab lalu layangkan pandangan mata ke bawah. Sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah hamparan warna cokelat. Perpaduan hamparan pasir dan batuan semata itu tampak begitu gersang, kering, sunyi serta seakan merepresentasikan sebuah derita mahadahsyat.
Maka, berbahagialah Indonesia, khususnya Lampung, yang dianguerahi Tuhan alam penuh hutan ini. Hijau, segar, dan penuh kehidupan. Ya...sebagian besar wilayah Lampung memang terdiri atas hutan. Apa pun bisa hidup di sini. Tapi, lihatlah lebih jeli ke dalam. Berjalanlah menyusuri banyak kawasan Lampung, bahkan bila perlu dari udara.
Maka, kita akan menemukan pemandangan memilukan. Kerusakan hutan yang menyebar hampir di seluruh wilayah Lampung. "Kondisi hutan di Provinsi Lampung pada saat ini memang sungguh memprihatinkan," kata Kadis Kehutanan Lampung Hanan Razak didampingi Kabag Perencanaan Wahyudi, di Bandar Lampung, Selasa (10-8).
Tidak main-main, tingkat kerusakannya sangat mencengangkan: sekitar 65,47 persen dari luas total hutan 1.004.735 ha! Data tersebut berdasarkan pada kondisi penutupan kawasan hutan Provinsi Lampung hasil analisis citra landsat TM7 tahun 2005 rekalkulasi tahun 2008 (Kementerian Kehutanan).
Kerusakan tersebut menyebar di tiga hutan berdasarkan fungsinya masing-masing hutan lindung (317.615 ha), hutan produksi (225.090), dan hutan konservasi (462.030 ha).
Sementara itu, berdasarkan data rekalkulasi penutupan lahan Kementerian Kehutanan tahun 2008 dan Dinas Kehutanan Lampung tahun 2009, kerusakan kawasan hutan di antaranya hutan lindung 260.100 ha (81,89%), hutan produksi 189.300 ha (84,10%), dan hutan konservasi 208.400 (45,11%).
Hutan rusak ini, kata Hanan, berdasarkan tingkat penutupan lahan dengan kriteria: semak/belukar, belukar rawa, savana, pertanian lahan kering, sawah, tambak, tanah terbuka, pertambangan, dan permukiman.
Kerusakan kawasan hutan terjadi pada semua jenis fungsi kawasan hutan di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Lampung. Penyebabnya, sebagian besar disebabkan aktivitas manusia antara lain (penebangan liar) pada masa lalu, perambahan, budi daya tanaman semusim tanpa memperhatikan aspek konservasi, serta kebakaran hutan dan lahan (khususnya pada musim kemarau).
Di Lampung, penyebab utamanya antara lain penjarahan dan perambahan kawasan hutan oleh oknum masyarakat sekitar atau luar wilayah sebagai akibat tingginya pertumbuhan penduduk, penyebarannya tidak merata dan keterbatasan lapangan kerja.
"Hutan menjadi sasaran mata pencarian, di mana perambahan dan okupasi (penguasaan) atas kawasan hutan bertujuan untuk budi daya tanaman tahunan dan tanaman semusim, dan bahkan lebih jauh lagi mereka membuat pemukiman permanen," kata Hanan.
Penyebab lainnya adalah adanya penelantaran kawasan hutan oleh pihak ketiga yang diserahi kewenangan untuk pengusahaan hutan serta kebakaran hutan dan lahan.
Cukup kompleks memang. Lantas apa saja tindakan Dishut dan pihak terkait dalam menyelamatkan hutan Lampung? Menurut Hanan, pihaknya mengambil beberapa kebijakan antara lain pemantapan status kawasan hutan Lampung dan kelembagaan pengelola kawasan hutan berupa kesatuan pengelolaan hutan (KPH) baik di tingkat provinsi maupun kabupaten yang didukung dengan sumber daya manusia yang profesional.
Hal ini sebagai salah satu langkah percepatan reformasi birokrasi bidang kehutanan dalam aspek kelembagaan, di mana ke depan diharapkan tersedia sistem birokrasi pelayanan publik kehutanan di lapangan untuk mendorong pengelolaan hutan lestari.
"Kedua, peningkatan upaya perlindungan hutan dan hasil hutan serta konservasi keanekaragaman hayati," kata dia. Selain itu, percepatan rehabilitasi hutan dan lahan yang bekerja sama dengan instansi kehutanan di kabupaten/kota dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan, dengan sumber dana dari pusat dan daerah.
Pihaknya juga melakukan pemberdayaan masyarakat sekitar/dalam kawasan hutan melalui program berbasis masyarakat, seperti HKm (hutan kemasyarakatan), PHBM (pengelolaan hutan bersama masyarakat), social forestry, dan lain-lain.
"Melalui kebijakan ini diharapkan terwujud peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dengan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan serta hutan dapat semakin baik sesuai dengan fungsinya," kata Wahyudi.
Upaya lain, peningkatan pendampingan oleh penyuluh Kehutanan, LSM, dan perguruan tinggi, serta mendorong peran perusahaan (swasta) dalam percepatan rehabilitasi hutan dan lahan, terutama untuk lahan-lahan masyarakat yang tidak produktif guna ditanami jenis-jenis tanaman kehutanan yang bernilai ekonomis yang dikemas dalam Gerakan Lampung Menghijau (Gelam). IYAR JARKASIH/HESMA ERYANI
Sumber: Lampung Post, Senin, 16 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment