SELAMA ini perambah liar dan penebangan liar dituding sebagai biang keladi kerusakan hutan. Padahal sesungguhnya kerusakan itu bukan dari mereka saja. Penambangan di kawasan hutan, bendungan yang rusak, juga perusahaan-perusahaan besar yang berbisnis air ditengarai memicu kerusakan hutan dan kualitas air.
Menurut Hanan, penggunaan kawasan hutan hanya boleh dilakukan pada kawasan hutan produksi (KHP) dan kawasan hutan lindung (KHL) tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu serta kelestarian lingkungan.
Itu pun untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis, yang salah satunya pertambangan di dalam kawasan hutan dengan ketentuan khusus. Untuk dalam KHP, syaratnya penambangan dengan pola pertambangan terbuka dan pola pertambangan bawah tanah. Sementara itu, dalam KHL, hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah dengan ketentuan dilarang mengakibatkan turunnya permukaan tanah, berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen, serta terjadinya kerusakan akuiver air tanah.
"Pertambangan di dalam kawasan hutan harus mendapat izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan," kata Hanan. Perizinan tersebut berguna sebagai sarana monitoring dan evaluasi penggunaan kawasan hutan.
Khusus Lampung, kata dia, semua pertambangan dalam kawasan hutan telah memperoleh izin pinjam pakai dari Menhut dan telah mememenuhi seluruh persyaratan dan ketentuan yang berlaku dan selalu dilakukan monitoring dan evaluasi secara rutin untuk menghindari potensi kerusakan hutan.
Dengan adanya izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan telah menambah luas hutan pada areal kompensasi. Selanjutnya, kepada perusahaan yang memperoleh izin pertambangan telah ada kewajiban untuk mereklamasi areal eks pertambangan. Hngga saat ini dirasakan tidak ada dampak negatif dari adanya pertambangan di dalam kawasan hutan di Provinsi Lampung karena masih dalam batas-batas sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Bendungan
Beberapa bendungan di Lampung merupakan sumber irigasi, khususnya Batu Tegi dan Way Besay. Namun, faktanya fungsi ini makin kritis lantaran, salah satunya, disebabkan stok air yang makin kritis akibat kawasan penyimpanan air (hutan) di daerah ini kian gundul.
Benarkah? Sebagian besar catchment area bangunan vital di Provinsi Lampung terletak di dalam kawasan hutan, seperti Dam Batutegi, Dam Way Besai, Dam Way Rarem. "Kondisi catchment area tentunya akan sangat menentukan ketersediaan air bagi bendungan, dan pada akhirnya akan memengaruhi fungsi dari bangunan-bangunan tersebut," kata Hanan.
Hal ini pernah dibuktikan pada saat rencana peresmian Dam Batutegi yang diundur karena kondisi muka air bendungan tidak memenuhi muka air normal. Salah satu penyebabnya adalah kerusakan pada wilayah catchment area sehingga kestabilan suplai air terganggu dan menjadi tidak normal. Demikian halnya dengan bendungan-bendungan lainnya, kerusakan pada wilayah catchment area telah mengakibatkan sedimentasi (pendangkalan) yang melebihi ambang batas normal. Hal ini akan mengakibatkan makin pendeknya umur pakai dari bendunga-bendungan tersebut.
Dam Batutegi dan Dam Way Besai merupakan bendungan yang memasok air irigasi untuk beberapa kabupaten, sehingga kelanjutan pasokan air sangat menentukan keberlangsungan usaha pertanian di kabupaten tersebut. Dengan demikian keberadaan kedua bendungan itu bersifat lintas kabupaten/kota.
Namun, kata Hanan, hingga kini belum ada mekanisme yang mengatur tentang sharing pembiayaan antarkabupaten dalam rangka merehabilitasi dan mengamankan kawasan hutan yang menjadi catchment area di wilayah hulunya.
"Diperlukan suatu kebijakan yang mengatur mekanisme insentif-disinsentif antara wilayah hulu-tengah-hilir dalam menjaga merehabilitasi dan memanfaatkan sumber air yang melalui kedua bendungan dimaksud," kata dia.
Kondisi Bendungan Batutegi dan catchment area sekitarnya
Hanan mengingatkan peran hutan sangat besar dalam mendukung ketersediaan air untuk Dam Batutegi dan Dam Way Besai. Berdasarkan penelitian, setiap hektare kawasan hutan dalam kondisi baik dapat menyimpan setidak-tidaknya 900 meter kubik air per tahun dan dapat mentransfer sekurang-kurangnya 400 meter kubik air setiap tahunnya.
Bila dikalkulasikan dengan luasan catchment area bagi kedua bendungan tersebut akan sangat besar peran hutan dalam menjaga kesinambungan dan kestabilan pasokan air untuk wilayah tengah dan hilir kedua bendungan tersebut.
Beberapa kabupaten yang dilintasi irigasi Batu Tegi dan Way Besai seharusnya turut bertanggung jawab dalam menunjang hidupnya hutan-hutan yang memasok air untuk kedua bendungan itu? Mungkin dalam bentuk memelihara hutannya, melakukan reboisasi, membina para perambah hutan, dan sebagainya? Kebijakan apa yang mereka lakukan untuk mendukung beroperasinya bendungan yang melintasi daerah mereka? Kiat tunggu saja. HESMA ERYANI
Sumber: Lampung Post, Senin, 16 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment