-- Yulvianus Harjono dan Wisnu Aji Dewabrata
SEPANJANG perjalanan, kapal yang kami tumpangi ke Kepulauan Krakatau terus digoyang gelombang. Namun, dua setengah jam kemudian, memasuki wilayah Kepulauan Krakatau, suasana mendadak hening. Nyaris tidak ada ombak. Sunyi senyap.
Feri membawa wisatawan untuk menikmati panorama Gunung Anak Krakatau di perairan Selat Sunda, Lampung, Minggu (25/7). Gunung Anak Krakatau terbentuk pasca-letusan hebat Gunung Krakatau pada 27 Agustus 1883 dan kini menjadi andalan pariwisata di Lampung. (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)
Tidak tampak lagi kawanan burung camar sedang berebut ikan atau hinggap di styrofoam yang dihanyutkan ombak. Ikan terbang (Parexocoetus brachypterus) yang sebelumnya beberapa kali terlihat di permukaan laut tak muncul lagi.
Di hadapan kami, berjajar gugusan Kepulauan Krakatau yang terdiri dari Pulau Panjang, Pulau Sertung, Pulau Rakata, dan Pulau Gunung Anak Krakatau.
Dari kejauhan, asap kelabu terus mengepul dari puncak Gunung Anak Krakatau. Di sebelah tenggara, menjulang Pulau Rakata (815 meter) yang berbentuk kerucut terbelah. Dari puncak Pulau Rakata hingga ke dasar berupa tebing yang melengkung, menandakan separuh bagiannya musnah akibat letusan dahsyat.
Pulau Rakata dahulu merupakan bagian dari Gunung Krakatau. Namun, letusan dahsyat Gunung Krakatau pada 27 Agustus 1883 menghilangkan dua pertiga tubuh gunung berapi itu. Sebelum 1883, Gunung Krakatau terdiri dari tiga gunung, yaitu Rakata, Danan (450 meter), dan Perbuatan (120 meter).
Letusan Gunung Krakatau tahun 1883 melenyapkan Danan dan Perbuatan serta menghilangkan sebagian Pulau Rakata dan menyisakan kaldera berdiamater 7 kilometer.
Menurut catatan Simon Winchester, geolog dari Universitas Oxford, Inggris, letusan itu terdengar dari jarak 4.600 kilometer oleh seperdelapan penduduk bumi. Letusannya setara dengan 200 megaton bom TNT atau 13.000 kali lebih dahsyat daripada bom Hiroshima, Jepang.
Letusan Krakatau dalam waktu 48 jam menghasilkan tujuh tsunami, salah satunya setinggi 40 meter yang menyapu desa-desa di sepanjang Teluk Lampung dan pesisir Banten.
Tercatat 165 desa dan kota hancur, 36.417 warga tewas. Berminggu-minggu abu Krakatau menutupi atmosfer sehingga menghalangi sinar matahari dan menyebabkan perubahan iklim global.
”Krakatau sangat mengagumkan. Membuat saya, dan kita manusia, sangat kecil berada di hadapannya. Kita yang hidup sekarang sungguh beruntung, tidak mengalami bencana seperti yang ditimbulkannya (Krakatau) dahulu,” ujar Lizzie Pinard (27), turis asal Sheffield, Inggris, seusai berkunjung ke Kepulauan Krakatau.
Gugusan Pulau Sertung, Panjang, dan Rakata dahulu satu kesatuan membentuk Gunung Krakatau purba (proto-Krakatoa). Diameternya 11 kilometer dan tingginya 2.000 meter. Gunung Krakatau Purba meletus ribuan tahun silam. Sebagai perbandingan, Krakatau sebelum meletus tahun 1883 diameternya hanya 7 kilometer dan tingginya 815 meter.
Gunung Anak Krakatau yang berada tidak jauh dari Pulau Rakata adalah gunung berapi baru yang muncul tahun 1927.
Awalnya hanya sebuah gundukan yang menyembul di permukaan laut, tetapi tinggi gunung berapi itu kini 315 meter. Muntahan material dari dapur magma membuat gunung itu bertambah tinggi dengan laju rata-rata 4,5 sentimeter per tahun.
Festival Krakatau, yang pada tahun 2010 sudah diselenggarakan 20 kali, bertujuan memperingati letusan Gunung Krakatau tahun 1883. Festival yang berlangsung 24-25 Juli itu dilakukan juga untuk menjaring wisatawan datang ke Lampung.
Suksesi alam
Gunung Anak Krakatau menjadi laboratorium alam mengenai suksesi alam. Gunung Anak Krakatau, yang pada awal kemunculannya tidak dihuni makhluk hidup, kini menjadi habitat berbagai macam flora dan fauna.
Di sini dapat ditemukan tanaman serta organisme perintis. Salah satunya kangkung laut (Ipomoea pes-caprae), keben (Barringtonia sp), dan cemara (Casuarina sp).
”Suksesi alam di Pulau Krakatau menjadi model suksesi alam di hutan hujan tropis terbesar,” ujar Tukirin Partomihardjo, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Adapun fauna yang dapat ditemui di sini di antaranya tikus hutan, kalong, biawak, sanca, dan burung-burung, seperti kacer, merpati, anis, serta cucak hijau. Di Pulau Sertung mudah kita temui penyu sisik (Eretmochelys imbricata).
Penyelam bisa melihat dinding kaldera sedalam 70 meter yang ditumbuhi karang.
”Di dalam laut antara Rakata dan Gunung Anak Krakatau muncul gundukan pasir yang bergelembung. Sepertinya ini bakalan menjadi gunung anak Krakatau lainnya,” ujar Ebeng (26), pemandu penyelam.
Ancaman kerusakan
Karena letaknya di tengah laut dan jauh dari keramaian, Kepulauan Krakatau tidak lepas dari ketamakan manusia.
Praktik penambangan ilegal batu apung dan pasir hitam merupakan ancaman yang nyata bagi Kepulauan Krakatau. Sebuah tongkang yang diduga mengangkut pasir hitam kami lihat akhir Juli lalu di dekat Pulau Panjang dengan muatan penuh pasir hitam. Penambangan pasir hitam di dasar laut dilakukan dengan dalih mitigasi bencana.
Padahal, menurut Ketua Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Lampung Supriyanto, aktivitas penambangan bisa memperburuk abrasi.
Saat ini abrasi parah terjadi di Pulau Panjang dan Pulau Sertung. Perlu upaya serius untuk menjaga kelestarian Kepulauan Krakatau supaya ia tetap ada sebagai legenda yang melintasi peradaban
Sumber: Kompas, Sabtu, 28 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment