SEPENINGGAL Dewi Kadamasih dan Raden Fatah, tak banyak penduduk yang mengetahui jika di Surabayailir terdapat tempat bersejarah. Namun, Habib Sayid Ahmad bin Salim al-Muhdlor—ulama asal Wates, Sumbergempol, Tulungagung, Jawa Timur, yang senang mengembara—justru penasaran dan mencoba mencari kebenaran kabar itu.
Pada 1967, anak dari Habib Salim bin Ahmad Muhdlor, asal Hadralmaut, Yaman, itu nekat menerobos hutan hingga sampai di telaga angker, tempat Raden Fatah lahir. Dia semakin penasaran karena setiap orang yang menoleh telaga kepalanya tidak bisa ke posisi semula dan setiap penebang pohon akan mati seiring robohnya batang kayu.
Karena itu, dia berhalwat berhari-hari di atas sebatang pohon yang roboh dan menjorok ke telaga. Di atas kayu berdiameter sekitar dua meter itulah, Sang Waliyulllah tinggal; siang berpuasa dan malam bermunajat kepada Allah swt. Berdasarkan catatan Raden Patah Hasyim bin Ahmad, dia ingin mengetahui mengapa Tuhan menakdirkan tempat itu begitu mengerikan.
Hasilnya, dia mendapatkan jawaban bahwa keangkerannya adalah untuk melindungi Dewi Kadamasih dan bayi yang dikandungnya dari kejahatan, terutama kejaran bala tentara Girindawardhana.
Sayid Ahmad pun jadi ingin berlama-lama di lokasi itu. Apalagi, setelah mengetahui sekitar 200 meter ke Samudera Hindia, terdapat makam seorang waliyullah, nenek moyang dari Sunan Gunungjati Cirebon. Dia pun membuat tempat salat di sisi timur makam.
Bahkan, dia ingin penderitaan Dewi Kadamasih juga dirasakan istrinya. Ny. Mar'atus Shalihah dimintanya tinggal di sana tanpa bekal. Untuk berteduh, hanya dibuatkan tebing yang dilubangi sehingga mirip gua.
Beberapa tahun kemudian, sejumlah penduduk mulai mengetahui keberadaan ulama kelahiran 1912 ini. Mereka memberanikan diri mendekat bahkan membuatkan gubuk untuk tempat tinggal. Bahkan, mereka kemudian memberikan tanah seluas delapan kilometer persegi, yang di tengahnya terdapat telaga itu.
Setelah jumlah pengikutnya semakin banyak, Sayid Ahmad mengajak penduduk untuk merawat makam nenek moyang Sunan Gunungjati. Lalu, tempat salatnya di sisi timur makam dijadikan masjid. Dari situlah dia kemudian mensyiarkan dan mengajarkan Islam kepada penduduk.
Uniknya, Waliyullah ini punya kebiasaan membuat ribuan batu bata. Hasilnya, meskipun tidak memiliki kekayaan apa pun, tidak pernah dijual. Bahan bangunan itu diperuntukkan membangun apa saja guna kepentingan umum. Masjid, madrasah, dan jembatan di sekitarnya dibangun dengan hasil karyanya itu. (M. IKHWANUDDIN/R-2)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 28 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment