Oleh Sihar Ramses Simatupang
Jakarta - Sejalan dengan Maria Vargas Llosa, penulis kelahiran Peru yang menggondol Hadiah Nobel Sastra 2010, bagaimanapun, sastrawan membutuhkan kiat khusus untuk karyanya di tengah arus global.
Eksplorasi mulai dari tema adat istiadat, fenomena “keluarga” hingga teknik bercerita yang unik, sangat dibutuhkan. Selain itu, kendati sudah merancang teknik canggih, dari berbahasa, struktur hingga alur sekali pun, karya sastra tetap membutuhkan energi sosio-politik lokal.
Hal itu dinyatakan seorang peserta dalam seminar bertajuk “Lokal Global dalam Sastra Indonesia” di Taman Budaya Lampung, Sabtu (2/10) yang diamini salah satu pembicara, Triyanto Triwikromo yang juga dikenal sebagai editor sastra sebuah harian umum di Kota Semarang.
Dia melontarkan bahwa pembicaraan soal lokalitas dan globalitas karya sastra yang tak pelak menyinggung juga persoalan batas kebudayaan. Bila dulu, papar Triyanto, kita memahami kelokalitasan dan keglobalitasan adalah entitas yang beku, tak bergerak, statis maka kini identitas tak pernah mandek.
Triyanto kemudian mengatakan bahwa tak ada ruang, sekali pun dengan gagah disebut lokal yang steril dari pengaruh ruang-ruang lain. Ruang lain, menyusup sedemikian deras ke dalam kelokalan sebuah teks sastra, misalnya karena pengaruh globalisme, tumbuh seperti sebuah virus yang tak terbendung.
Triyanto mencontohkan dialektika lokal-global pada sebuah karya sastra terbaru, yang dicontohkannya ada pada karya Arundhati Roy “The God of Small Things”. Arundhati, ujar Triyanto, mampu menyiasati berkah sekaligus ancaman globalitas. Jhumpa Lahiri menurut Triyanto hidup di dua dunia namun tak serta-merta larut di jantung sastra global, malah memunculkan kisah imigran, menggarap dunia batas lokal dan global, lalu berhasil.
Jose Ortega, disitir oleh Anton Kurnia dan Triyanto, pernah mengatakan sastra Amerika Latin adalah respons imajinatif terhadap segala pandangan dunia, aturan norma dan tata sosial yang datang dari barat.
Hal yang sama, ketika di antara para novelis Amerika Latin, sebut saja penulis Chili Luis Sepulveda yang mengungkapkan “The Old Man Who Read Love Stories” dalam novel yang tipis, realis dan terang-benderang, Gabriel Garcia Marquez penulis asal Kolombia malah mengungkapkan dengan bahasa yang puitik dan berpanjang-panjang. Namun, di tengah orang-orang di Kota Mokondo yang mau menukarkan hasil kekayaan alamnya dengan kaca pembesar para Gipsi Marquez sesungguhnya tak hanya membawa metafora bahasa saja. Energi Marquez adalah energi kolektif dari sejarah sosial-politik bangsa-bangsa Amerika Latin.
Energi Sosial
Pertanyaannya, bagaimanakah perkembangan sastra Indonesia selepas zaman dan masa Amir Hamzah, Marah Rusli, lalu pencarian modernitas Sutan Takdir Alisjahbana hingga Idrus dan Chairil Anwar, memasuki masa global, di mana penulis sastra Indonesia tak mungkin lagi berada dalam kondisi membebaskan begitu saja karyanya ke arah global karena perkembangan ke globalan justru akan kembali mempertanyakan identitas lokalitas. Tak bisa dipungkiri, risiko globalitas akan mengarah pada bahaya lain, keseragaman dan totalitarian.
Bagaimanapun, keunikan karya Pramoedya Ananta Toer yang tak lekang di sejarah, kendati diklaim mengusung paham terbaru dari realisme sosial ataupun humanisme, misalnya, telah ikut membawa kisah lokal di Arok-Dedes, juga kosmologi wong ngetan Jawa Timur di Perburuan, kendati diungkapkan dalam bahasa Indonesia sekali pun.
Pramoedya dan Marquez, melalui cara berbahasa yang berbeda telah menangkap persoalan lokal, namun mampu menarik perhatian para penikmat sastra global. Sebuah strategi kalau tak disebut sebagai visi-misi atau pandangan dunia dari si penulis yang membawakan teks sesuai perkembangan zamannya. Tentu dengan berbagai risiko, seperti Marquez, seyakin apakah penulis ini bahwa caranya berbahasa dapat ditangkap dan dimengerti oleh sebagian besar rakyat Amerika Latin. Sebuah karya, bukan teks eksklusif, seperti seorang yang berteriak dari menara gading, di tengah padang pasir yang sunyi.
Secara umum, seminar di tengah acara Temu Sastra Nusantara Mitra Praja Utama (MPU) di Lampung, yang pada seminar sesi pertama menghadirkan pembicara selain Triyanto yaitu tokoh pers dan penyair Djadjat Sudradjat dan sastrawan Lampung Asarpin lalu pada seminar sesi kedua menghadirkan pembicara antara lain sastrawan Yanusa Nugroho, Jamal D Rahman, dan sastrawan Lampung Iswadi Pratama itu menarik perhatian untuk disimak.
Masing-masing pembicara secara umum juga mengungkapkan tegangan lokal dan global dari latar belakang masing-masing. Sebuah tema seminar yang sejak dulu terasa klise, tapi sesungguhnya sulit dan berat untuk dipraktikkan dalam sebuah teks, terutama bagi penulis Indonesia di masa sekarang yang merasa berada di antara gaya khas sastrawan besar di masa silam
Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 9 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment