SEBANYAK 28 pemain teater berdesak-desakan di atas sebuah panggung. Tidak lazimnya panggung, itu terbuat dari ponton. Apalagi, melayang di atas danau yang dalamnya puluhan meter.
Pentas sendratari yang diangkat dari cerita rakyat bertajuk ”Kelekup Gangsa” di atas panggung dadakan terapung itu merupakan pemuncak dari perhelatan Festival Lombok (baca Lumbok) yang diadakan di Danau Ranau, Lampung Barat, 9-10 Oktober lalu.
”Doakan sukses ya, semoga pentasnya lancar dan tidak terjadi apa-apa. Soalnya tidak pakai pengaman nih,” teriak seorang penari kepada seorang rekan di seberangnya sebelum pertunjukan. Meskipun jaraknya hanya 7 meter, suaranya itu terdengar sayup-sayup akibat terbawa angin cukup kencang.
Penonton dipaksa menghela napas ketika peristiwa cukup menegangkan terjadi, saat sebuah papan backstage dadakan terbang tertiup angin. Saat itu, cuaca memang tak terlalu mendukung, banyak angin kencang, terutama di tengah danau. Dapat dibayangkan tingginya risiko para pemain. Apalagi, tidak satu pun dari mereka dilengkapi pelampung.
Namun, bukan suatu kebetulan jika pertunjukan yang berisiko tinggi ini akhirnya bisa berjalan aman. Beberapa hari sebelumnya, warga setempat melakukan tirakatan atau melepas sesajen ke tengah danau. Akarnya adalah legenda dan mistis yang dibawakan dalam sendratari itu.
”Kelekup Gangsa” bercerita tentang kentungan sakti milik warga adat Lampung Way Mengaku yang dipercaya memiliki kekuatan magis. Kentungan ini lalu dicuri prajurit-prajurit Kerajaan Sriwijaya. Namun, di tangan prajurit Sriwijaya, kentungan ini justru menjadi malapetaka. Mereka yang tak berhak membawa kentungan itu justru tewas. Kentungan ini kemudian jatuh ke danau dan berubah menjadi naga emas.
Naga emas ini dipercaya warga asli sekitar maupun para pendatang masih ”hidup” sebagai ”penunggu” danau. ”Kadang muncul dalam mimpi orang- orang tua,” cerita Ahmadi (56), warga Dusun Sukabangun, Kecamatan Lombok Seminung, Lampung Barat.
Naga emas ini menjadi pelindung warga yang memiliki perilaku dan itikad baik, antara lain menjaga keasrian danau. Sebaliknya menjadi pemicu azab bagi mereka yang tamak, angkuh, atau tidak berperilaku baik.
Menurut Arifulloh (55), warga Pekon Pagaralam, pernah ditemukan korban tewas tenggelam yang diketahui orang yang tidak berbuat senonoh atau sengaja menantang ingin ”berenang” menaklukkan danau.
Menjaga etika
Mereka percaya, alam bukan sesuatu untuk ditaklukkan. Sebaliknya, manusia harus rendah hati, hidup berdampingan selaras dengan alam dan lingkungannya. ”Dongeng ini menjaga etika dan perilaku masyarakat setempat terhadap danau ini,” ujar Nyoman Mulyawan, koreografer sendratari ”Kelekup Gangsa”.
Kepercayaan tersebut yang mengawal keasrian danau terbesar kedua di Sumatera itu hingga kini. Berbeda dengan danau ataupun waduk di daerah lainnya, danau yang airnya bersumber dari 50 sumber mata air itu masih jernih. Danau ini bahkan nyaris tidak pernah surut, malah bertambah ketinggiannya sekitar 1 meter, akhir-akhir ini.
Wilayah hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang berada di dekat mereka tidak diusik. Beberapa titik hutan penyangga yang berada di punggung danau tidak juga mereka sentuh karena dianggap larangan, sebagai tempat kuburan legenda Si Pahit Lidah. Warga takut dikutuk apabila melanggar.
Padahal, mayoritas dari mereka umumnya adalah petani kopi yang identik dengan ”label” kegiatan merambah hutan. ”Saya berani jamin, mereka ini tidak merambah hutan TNBBS meskipun katanya ada 22.000 penjarah di sana. Di sini ada aturan adat yang membuat warga takut,” ujar Rusman Effendi (39), warga Pekon Lombok yang juga anggota DPRD Lambar.
Kesederhanaan dan kerendahan hati pula yang membuat warga di sekitar Danau Ranau tidak ”teriak” meskipun daerah mereka belum teraliri listrik PLN hingga kini. Sebagian besar tetap teguh mempertahankan adat istiadat, serta membangun rumah-rumah panggung meskipun telah memasuki abad modern.
Gempa
Rumah-rumah dari kayu itu pun mayoritas masih berdiri kokoh meskipun sempat beberapa kali digoyang gempa dahsyat, termasuk Gempa Liwa 1994.
Berkat keteguhan itu, Pekon Lombok kini dijadikan salah satu percontohan desa wisata berbasiskan ekowisata di Lampung Barat. Setiap tahun pula, selama empat tahun terakhir, desa ini menjadi pusat perhelatan Festival Danau Ranau di Lampung Barat.
Perubahan pun pelan-pelan mulai terasa. Jalan menuju ke desa mereka semakin mulus, menara-menara antena telepon seluler pun mulai bermunculan seiring bermunculannya hotel- hotel baru. Bahkan, PLN pun mulai memasang jaringan kabel listrik ke tempat ini.
Ke depan, keteguhan itu akan mendapat cobaan besar seiring pesatnya perkembangan pariwisata dan pembangunan di sana. Namun, sepanjang legenda kolosal itu masih menjadi ingatan kolektif warga setempat, naga emas akan senantiasa menjaga keteguhan hati mereka.
(Yulvianus Harjono)
Sumber: Kompas, Sabtu, 23 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment