Oleh Dinda Lina
JURANG kesenjangan sosial antara kaum kaya dan mereka yang terjerat kemiskinan memang tidak terlepas dari sistem ekonomi kapitalistik. Sementara itu, dengan melambungnya kenaikan harga pangan dan lonjakan inflasi, penduduk miskin di Indonesia kini diperkirakan melonjak di atas 15%.
Mereka yang selama ini masuk kelompok hampir miskin, yakni sedikit di atas garis kemiskinan, langsung turun hidup di bawah garis kemiskinan dan semakin menderita. Agar kesenjangan sosial akibat gejolak harga pangan tak melebar, inflasi harus diperangi secara total. Jika tidak, target penduduk miskin 8% pada 2014 tidak akan tercapai.
Namun, sindrom awal tahun baru masih memicu keinginan kaum the haves untuk merayakannya dengan penghamburan uang. Hal ini juga berpotensi sebagai ajang dan momen bagi kaum the haves untuk unjuk kemampuan dan kekayaan mereka. Dampak psiko-sosialnya, beban hidup kaum miskin yang kian terasa berat di tengah kesenjangan ekonomi yang sangat tajam menciptakan frustrasi sosial.
Ekses dari gaya hidup konsumtif memicu keserakahan yang mudah menjerumuskan aparatur negara pada tindak pidana korupsi. Maka pola hidup sederhana untuk setiap pejabat dirumuskan pemerintah c.q. Men-PAN No.357/M.PAN/13/2001. Disebutkan, pola hidup sederhana merupakan sikap, tingkah laku, dan perbuatan aparatur negara, baik dalam kedinasan maupun pergaulan hidup masyarakat, wajar, tidak mewah, dan sesuai dengan kondisi lingkungan masyarakat setempat.
Budaya Konsumtif
Dalam Consumer Culture and Postmodernism, Theory, Culture and Society (1991), Mike Featherstone memberikan tiga pendekatan utama dalam menganalisis budaya konsumtif dan fenomena konsumtifisme: (1) Budaya konsumtif sebagai luapan hasrat terpendam dari warga masyarakat yang kelebihan uang dan waktu; (2) Budaya konsumtif adalah anak kandung dari perluasan produksi komoditas kapitalis dalam bentuk barang-barang konsumsi. Situs-situs pembayaran dan konsumsi, mal, supermarket, serta pasar modern merupakan contoh yang nyata; dan (3) Budaya konsumtif merupakan sebuah gejala sosiologis, di mana kegiatan konsumtif merupakan akibat dari ekspresi unjuk status sosial dalam masyarakat.
Dalam sistem ekonomi kapitalistik, yang terjadi adalah perubahan titik berat relasi karena menitikberatkan relasi dengan benda, bukan pada interelasi sesama manusia. Gencarnya promosi/iklan telah direkayasa agar para konsumen masuk dalam perangkap instrumen kapitalisme yang memanipulasi ideologi dan kesadaran manusia.
Dalam kondisi masyarakat semacam itu, kebebasan individual diartikan sebagai logika kebebasan untuk memilih produk-produk industri yang glamour, namun hampa dari nilai-nilai ajaran agama. Celakanya, gaya hidup hedonis yang memanjakan kesenangan pribadi ini tidak peduli akan norma-norma dan relasi sosial dengan warga masyarakat, terutama terhadap keluarga miskin yang berada di sekelilingnya.
Sinergi Sosial
Menurut informasi Migrant Care, sampai Rabu (12-1), sudah genap tiga bulan sekitar 200 buruh migran Indonesia telantar di kolong jembatan di Arab Saudi dalam kondisi yang memprihatinkan. Dengan segala keterbatasannya, terutama kaum perempuan, sejak lama bertahan hidup di sana selagi pemerintah belum melakukan tindakan konkret terhadap nasib buruh migran Indonesia itu. Mereka tidur di trotoar kolong jembatan hanya beralaskan tikar sambil menanti uluran tangan untuk sekadar makan.
Tentunya patut disambut baik usaha Migrant Care bersama koalisi masyarakat sipil lainnya yang telah mengajak masyarakat Indonesia bergabung dalam "Rp1.000 untuk pemulangan TKI". Estimasinya, biaya pemulangan 200 TKI itu sekitar Rp1,7 miliar.
Seperti diketahui, setiap tahun tenaga kerja Indonesia (TKI) memberikan pemasukan penghasilan negara bukan pajak (PNBP) sekitar Rp600 miliar dari biaya perlindungan 15 dolar AS per orang yang dibayarkan setiap akan berangkat. Selain itu, tahun 2010, TKI juga menyumbangkan devisa dari keringat mereka sebesar 7,1 miliar dolar.
Prinsip keadilan dalam gagasan Rawls menyebutkan ketimpangan sosial dan ekonomi juga perlu diatasi melalui sinergi sosial untuk memberikan keuntungan terbesar bagi kelompok miskin yang terpuruk dalam kesenjangan sosial. Implementasi dari prinsip keadilan ini akan mudah dilakukan jika ada peluang, peran dan campur tangan pemerintah dalam mengatur aktivitas ekonomi sehingga memberikan keuntungan bagi kelompok masyarakat marginal, terutama untuk warga negara yang didera kemiskinan.
Di satu sisi, pemerintah berpotensi untuk mengambil langkah-langkah signifikan yang konkret guna mencegah timbulnya akumulasi kekayaan pribadi yang berlebihan dengan menerapkan pajak kekayaan dan penghasilan. Di sisi lain, pemerintah harus menjamin realisasi bagi sistem jaminan sosial untuk keluarga miskin atau kurang/tidak mampu.
Dalam buku Poverty and Deviance in Early Modern Europe, Robert Jüte mengungkapkan hasil risetnya tentang keberhasilan sinergi sosial untuk membantu kaum miskin yang pernah menjadi persoalan serius pada sejumlah negara di Eropa meskipun sistem ekonominya kapitalistik. Kemiskinan dinilai sebagai masalah sosial yang juga menuntut kepedulian dari warga masyarakat sesuai dengan kemampuannya.
Sinergi sosial ternyata memberikan peluang besar bagi setiap warga untuk mengubah nasibnya. Kasus 200 buruh migran Indonesia di kolong jembatan Arab Saudi itu harus dijadikan momentum untuk memacu perbaikan nasib kaum miskin di negeri kita.
Hal ini bisa dilakukan melalui sedekah, zakat, dan penggalangan dana sosial yang diorganisasi secara profesional. Dalam upaya pengentasan kemiskinan tentunya dengan analogi “lebih baik memberikan kail ketimbang ikan.” Terutama kedermawanan dari kaum the haves sangat dinantikan. Kerja sama sosial yang solid juga merupakan sikap yang elegan untuk ikut berpartisipasi dalam mengikis kemiskinan.
Dinda Lina, Ketua Jaringan Perempuan Pekerja Domestik (JPPD) Jakarta, alumnus UGM
Sumber: Lampung Post, Senin, 24 Januari 2011
No comments:
Post a Comment