Judul : Selamatkan Pasar Tradisional
Penulis : Herman Malano
Penyusun : Fadilasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : I, Mei 2011
Tebal : 305 hlm
SEKITAR dua dekade terakhir, jumlah supermarket atau hypermarket maupun minimarket di Indonesia masih sangat sedikit. Namun, bandingkan sekarang. Sangat mudah bagi kita menemukan ketiganya. Bahkan, minimarket sudah merambah hingga ke desa-desa. Begitu banyak alasan orang lebih memilih belanja di sana. Selain nyaman, jenis barang yang beragam, hingga harga yang relatif lebih murah.
Lalu, pertanyaannya kemudian adalah, apakah kehadiran pasar-pasar modern yang menggurita itu akan menggilas keberadaan pasar tradisional? Apakah akan banyak pedagang pasar tradisional yang tersingkir? Bagaimana mencari jalan keluar atas kondisi ini? Pertanyaan-pertanyaan itulah mungkin yang coba direfleksikan Herman Malano dalam bukunya ini. Dalam buku ini, secara spesifik Herman memang menyebut para pelaku pasar tradional tersebut sebagai pedagang kecil dan mikro, atau yang biasa kita kenal sebagai pedagang kaki lima (PKL).
Buku ini sangat detail membicarakan tentang kisah-kisah para PKL yang selalu dianggap sebagai penyebab kumuh dan semrawutnya kota. Para pelaku pasar tradisonal tersebut bahkan tak jarang disalahkan jika sebuah kota tak mendapat penghargaan Adipura, sebuah penghargaan untuk kota yang rapi dan bersih. Namun, bagaimanapun juga pasar tradisional adalah penggambaran realitas denyut nadi perekonomian rakyat kebanyakan. Di sana, masih banyak orang yang menggantungkan hidupnya, dari mulai para pedagang kecil, kuli panggul, pedagang asongan, hingga tukang becak.
Herman sangat mungkin paham sekali segala permasalahan yang dialami para PKL tersebut. Wajar saja, sejak dari usia tiga bulan, dalam usia yang masih bayi tersebut, ia sudah dibawa ibunya berdagang sebagai PKL di tanah kelahirannya di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Inilah salah satu buku yang begitu lengkap memaparkan karut-marutnya permasalahan PKL. Dibantu Fadilasari, seorang jurnalis kritis, bahasa buku ini menjadi ringan, disertai data-data yang akurat, hingga kisah-kisah yang menyentuh.
Di Indonesia ada lebih kurang 13.450 pasar tradisional. Jumlah itu mampu menampung sekitar 13 juta pedagang kios dan lebih dari sembilan juta pedagang yang berstatus PKL. Meskipun demikian, kini hampir 90% pasar tersebut tidak dikelola dengan baik. Bahkan, data dari Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Seluruh Indonesia (APPSI) pada 2005 seperti dikutip website Kementerian Koperasi dan UKM menyebutkan bahwa sekitar 400 toko di pasar tradisional harus tutup usaha setiap tahunnya.
Dalam buku ini banyak dijabarkan betapa PKL dengan pasar tradisionalnya menjadi sebuah permasalahan yang menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan. Mulai dari ekonomi, sosial, budaya, hingga politik. Pasar tradisional adalah tumpuan ekonomi jutaan pedagang menengah ke bawah serta tempat terbentuknya kontrak sosial budaya tegur sapa masyarakat yang lebih manusiawi. Di sana ada proses komunikasi, akad jual beli yang telah disepakati antara penjual dan pembeli, serta pelajaran berharga tentang cara bertahan hidup di dunia yang semakin kompetitif.
PKL juga nyatanya adalah bagian dari kehidupan politis. Dalam buku ini ditulis bagaimana para calon kepala daerah atau calon anggota legislatif rajin menyambangi PKL di pasar tradisional saat menjelang musim kampanye. Mereka rela berbaur dengan para pedagang itu, rela berbecek-becek, bahkan tak jarang menumpahkan air mata saat mendengar keluhan para pedagang.
Pada bab terakhir dijabarkan solusi untuk mengangkat harkat dan martabat PKL. Herman adalah orang pertama di Indonesia, bahkan diklaim di dunia yang mampu membuat pasar semimodern hasil swadaya para PKL dan tanpa bantuan dari pemerintah atau swasta. Hal ini dilakukannya setelah terpilih sebagai Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Lampung.
Proyek itu berwujud Bambu Kuning Square (BKS). Dana pembangunan BKS yang menghabiskan sekitar Rp28 miliar itu semuanya berasal dari sewa kios calon pedagang. Sewa kios pun bisa dicicil dengan uang muka 20%. Harga kios pun relatif murah. Hanya mulai dari Rp8 juta per meter persegi selama 20 tahun. Bandingkan dengan harga kios di daerah lain dengan ukuran yang sama harganya mulai dari Rp35 juta—Rp500 juta. n
Andry Kurniawan, mahasiswa Sosiologi FISIP Unila
Sumber: Lampung Post, Minggu, 3 Juli 2011
No comments:
Post a Comment