LUPAKAN saja budaya kelampungan, kejawaan, atau keindonesiaan. Kalau memang ia ada, budaya tersebut hanya akan menjadi beban buat sejarah. Sebab, sebuah gagasan dan pemikiran tak bisa hanya dibatasi oleh sebuah bahasa, sebuah geografi, sebuah daerah, dan sebuah kawasan. Kalau hal itu pun memang ada, ia tidak akan sepenuhnya diketahui dan dipahami. Lebih baik kita berstrategi kebudayaan dengan memupuk benih-benih kebudayaan kebhinekaan yang hampir mati, yaitu kebudayaan kebhinekaan yang tidak jadi sandera sejarah.
DISKUSI BUDAYA LAMPUNG. Sastrawan Lampung Asarpin (tengah) mengemukakan pandangannya dalam Diskusi Bilik Jumpa Sastra (Bijusa) yang bertema Problematika Kebudayaan Lampung Masa Kini di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unila, Jumat (14-10). Diskusi yang diselenggarakan Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKM BS) Unila ini juga menghadirkan Tadjjudin Nur dari Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) dengan moderator Didi Arsandi. (LAMPUNG POST/IKHSAN DWI NUR SATRIO)
Sastrawan Lampung Asarpin mengemukan hal itu dalam diskusi Bilik Jumpa Sastra dan Budaya (Bijusa) yang diadakan Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKM BS) Unila di Gedung PKM lantai I Unila, Jumat (14-10). Selain Asarpin, tampil juga Tadjjudin Nur dari Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) dalam rangkaian diskusi Meninjau Kembali Arah Kebudayaan Lampung dengan subtema Problematika Kebudayaan Lampung Masa Kini.
Menurut Asarpin, mempertahankan kebudayaan yang ada di Lampung tidak mudah. "Apalagi mempertahankan dan memperkenalkan bahasa Lampung. Selain itu, kebudayaan Lampung sekarang ini dijadikan proyek atau kontraktor budaya. Karena hal ini lebih mementingkan orang-orang tertentu. Selain itu, dampak dari proyek budaya ini juga kurang mengena dalam mempertahankan maupun mengenalkan budaya Lampung.
Sebagai sebuah provinsi, menurut Asarpin, Lampung memiliki kekayaan budaya yang bersumber dari multikulturalitas masyarakatnya. Kebudayaan sebagai inti keberagaman, karena kebudayaan pada dasarnya senantiasa memancarkan keindahan dari perbedaan, bukan dari keseragaman.
Lampung (dalam arti dan makna etnis atau bukan) sudah tentu terkait dengan persoalan kebhinekaan. Karena itu, berbicara soal problematika kebudayaan Lampung masa kini amat indah jika semangat kebhinekaan kita pancarkan kembali. Apalagi kini memang sulit melepaskan Lampung sebagai gerbang dari lalu lintas sebuah pulau yang besar, yang menyumbang begitu beragam bagi tegaknya sistem kebangsaan dan kenegaraan, dari kebhinekaan yang akhir-akhir ini juga kembali hangat jadi perbincangan kaum elite.
Ada desakan untuk mempersempit kebudayaan hanya dalam arti bahasa, bahasa etnis, dan ada desakan untuk meng-goal-kan peraturan daerah soal ini. Ada tanda-tanda untuk menutup diri dengan model provinsialisme yang picik, ada ajakan untuk mengampanyekan kembali penggunaan bahasa daerah di lingkungan pemerintah daerah (pemda). Ada seruan yang malu-malu dan sedikit agak garang tentang menghidupkan kebudayaan Lampung, ada imbauan dari pemda lewat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan perguruan tinggi agar menggalakkan kebudayaan daerah, ada semacam seminar dan publikasi untuk melestarikan kebudayaan Lampung. Serta ada beberapa tulisan di media massa yang membanggakan orang Lampung atau sengaja menghibur masyarakat Lampung bahwa sebetulnya Lampung itu kaya raya dengan kebudayaan.
Semua itu sudah mengarah pada upaya berstrategi kebudayaan, tetapi kalau gambaran semacam itu memang benar-benar mengandung separuh saja, kebenaran atas pengamatan ini sungguh menyedihkan. "Sebagai orang Lampung, saya merasa sedih apabila kebenaran tersebut benar-benar nyata," katanya.
Dengan kata lain, ujar Asarpin, bicara soal kebudayaan masa kini, kita akan dihadapkan pada persoalan kebhinekaan, apa pun makna yang kita sematkan dari kata kebhinekaan itu sekarang ini.
Asarpin setuju dengan gurauan yang serius dari seniman Arswendo Amiloto beberapa tahun lalu yang mengatakan, "Kalau memang sastra berbahasa Jawa itu harus mati, biar saja, toh kejawaaan tetap melekat pada tulisan orang Jawa, bahasa apa pun yang ia gunakan." Begitu juga pada sastra berbahasa Lampung akan punah karena melihat sedikitnya penutur yang berada di kota selama ini. "Biar saja, tak perlu panik, terlampau reaksioner, atau kebakaran jenggot," ujar penulis kumpulan cerpen berbahasa Lampung Cerita-Cerita jak Bandar Negeri Semuong (2010) ini.
Tidak Mudah
Di sisi lain, Tadjjudin Nur mengatakan budaya Lampung merupakan sosiokultural masyarakat, baik masyarakat Lampung Saibatin maupun Pepadun. Kedua jenis ini harus dipertahankan, jangan ada keributan dalam menyelenggarakan upacara adatnya, karena ada beberapa perbedaan. Selain itu, hal ini juga sebagai upaya kita dalam menjaga kebudayaan Lampung, terutama memperkenalkan kepada warga yang bukan masyarakat Lampung asli," ujar Tadjjudin.
Memperkenalkan kebudayaan Lampung itu tidak mudah. Seperti memperkenalkan bahasa Lampung. Hal ini pun sangat sulit karena penduduk yang ada di Lampung tidak 100% penduduk asli Lampung, bahkan setengah dari jumlah penduduknya adalah orang dari suku luar Lampung. Kemudian memperkenalkan tabik pun (pengucapan yang dilakukan oleh masyarakat Lampung dalam berpidato setelah mengucap salam) tidak mudah. Namun, hal ini sudah dikembangkan di beberapa kabupaten yang ada di Provinsi Lampung.
Untuk saat ini, kebijakan Wali Kota Bandar Lampung Herman H.N. memberikan simbol siger di setiap toko atau instansi pemerintah cukup bagus. Karena hal ini akan mengenalkan salah satu kebudayaan yang ada di Lampung. "Tapi mengajaknya pun susah," ujar Tajjdudin yang sehari-hari bekerja sebagai kabid Kesbang di Badan Kesbangpol Provinsi Lampung ini.
Didi Arsandi, ketua Pelaksana Bijusa, mengatakan sudah sepatutnya orang-orang yang tinggal di Lampung, baik ia pribumi maupun pendatang, mengetahui dan memperkenalkan budaya Lampung, terutama bahasanya. Hal ini menandakan ada identitas atau karakter khas tersendiri bagi warga Lampung. "Hal ini harus dilakukan sebagai orang Lampung," ujar Didi yang juga sebagai moderator dari acara Bijusa ini.
Dia menambahkan biasanya dalam Bijusa sebelumnya membedah buku-buku baru atau lama yang berjenis sastra atau mendiskusikan tema-tema sastra Lampung lainnya. Namun, untuk tahun ini, Bijusa lebih fokus dalam mendiskusikan tema-tema yang bersifat kebudayaan. Selain itu, dalam Bijusa tahun ini akan lebih banyak mengundang kawan-kawan dari mahasiswa. Karena biasanya yang hadir di Bijusa dari kalangan seniman atau budayawan yang sudah berumur 30 tahunan ke atas. "Diharapkan ada partisipasi dari mahasiswa untuk Bijusa kali ini," kata mahasiswa Fakultas MIPA Biologi Unila ini. (RICKY P. MARLY/U-2)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 Oktober 2011
No comments:
Post a Comment