Oleh Asarpin
SAYA tak begitu memahami istilah kebudayaan yang dimaksud dan yang dimulai oleh panitia penyelenggara acara ini. Biasanya, penyelenggara sebuah seminar berusaha mengajukan dasar pemikiran atau TOR yang diharapkannya akan merupakan semacam daerah gagasan yang dimiliki bersama oleh para peserta seminar, yaitu yang akan dipersetujui serta dapat dimanfaatkan sebagai titik tolak pembahasan makalah masing-masing. Dalam kasus seminar Bijusa ini, rasanya terlihat kecenderungan makalah masing-masing. Dalam kasus seminar Bijusa ini, rasanya terlihat kecenderungan lain. Menurut saya, dasar pemikiran, disebut latar belakang, yang diajukan untuk seminar ini kepada saya," Problematika Kebudayaan Lampung Masa kini" betul-betul sulit saya pahami dan tak dapat saya jelaskan dengan baik maknanya. Apakah kata kebudayaan lampung disitu mengacu kepada kebudayaan dalam arti etnis atau dalam arti luas, atau apakah yang lampung dari kebudayaan lampung itu, atau seperti apa kebudayaan Lampung masa kini, masa lalu dan masa depan, atau problematika apa yang terjadi pada kebudayaan Lampung, atau apa itu kebudayaan dan kelampungan, atau apakah keduanya sebuah identitas yang ada kaitannya dengan penggunaan bahasa, lalu bahasa apa: Lampungkah? Indonesiakah? Jawakah? Dan sebagainya.
Saya betul-betul dilantang untuk menafsirkan sendiri. Karena itu apa yang tertulis di sini jadinya bukan tafsir kebudayaan (seperti judul salah satu buku Cliffordz Geertz yang telah diterjemahkan ke Indonesia? tapi menafsirkan kebudayaan yang kita tahu lebih dari 180 definisi, kata mendiang Koentjaraningrat.
Karena saya kesulitan memaknai tema dan arah diskusi yang dimau panitia malam ini, maka makalah ini sengaja saya simpangkan ke arah pembicaraan kebudayaan dan kebhinekaan yang ruwet, karena menurut saya, apa pun yang kita maui dan kita maksudkan dengan kebudayaan masa kini, dalam arti etnis atau bukan, dalam arti hanya bahasa atau termasuk "bangun pagi, mengenakan kain batik atau kebaya, mengantri karcis di stasiun kereta api, gotong royong menyemai benih padi disawah.."Mau tak mau akan terkait dengan persoalan kebhinekaan yang hemat saya akhir-akhir ini kembali laris dijual di pasar gagasan. Dengan kata lain, bicara soal kebudayaan masa kini, kita akan dihadapkan pada persoalan kebhinekaan, apa pun makna yang kita sematkan dari kata kebhinekaan itu sekarang ini.
Saya teringat seorang bekas di UKMBS ini, yang sekarang jadi seniman yang hemat saya betul-betul seniman, beberapa tahun lalu pernah menganjurkan untuk berstrategi kebudayaan lagi. Sasaran tembaknya adalah pemerintah provinsi, tetapi saya rasa juga kita semua di sini. Ajakan itu mengingatkan saya pada seorang ahli antropologi simbolik yang amat terkenal Clifford Geertz, yang dulu, di tahun 1990-an, pernah kembali menganjurkan apa yang dulunya dianjurkan van Veursen itu, yaitu saatnya untuk berstrategi kebudayaan lagi setelah sekian tahun--mungkin setelah Polemik Kebudayaan tahun 1930-an atau mungkin setelah Pidato Kebudayaan Nirwan Dewanto yang heboh awal 1990-an dirasa mulai mandek.
Tiga tahun lalu, kebetulan saya sedang jalan-jalan ke Taman Ismail Marzuki (TIM) dan menyempatkan diri nonton acara Pidato Kebudayaan yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dengan tema "Kita, Sejarah, Kebhinekaan" (yang pidato kalau tidak salah pada waktu itu adalah I Gusti Agung Ayu Ratih). Saya ingat saya merasa betul-betul terpukau oleh isi pidato kebudayaan itu. Oleh krena itu "makalah" ini akan bertolak dari sebagian dari apa yang dipidatokan Ayu Ratih tersebut berdasarkan ingatan, dengan sedikit mempersempit daerah gagasan.
Dalam teks pidato kebudayaan itu, Ayu menyinggung panjang lebar problematika kebudayaan kita saat ini dalam hubungannya dengan dasar bernegara, yaitu bhineka tunggal ika. Kebhinekaan kita memang bukan sesuatu yang terberi, tapi dicari dengan keras dan berdarah-darah. Sudah semestinya jika para pemerhati budaya, mahasiswa, jurnalis, apalagi budayawan, untuk terus mengingatkan konsep kebhinekaan itu sebagai arena untuk bersrtategi kebudayaan.
Dalam beberapa tahun terakhir ini kita memang kerap menyaksikan beberapa rekan atau sekelompok orang sibuk membela dan merawat kebhinekaan kita. Tapi pada saat yang bersamaan kita juga melihat segolongan manusia Indonesia terus mengajak untuk memperjuangkan kemampuan masyarakat untuk mandiri, untuk sebanyak mungkin mengurus dirinya sendiri, mengurangi ketergantungan pada hierarki kekuasaan.
Di berbagai forum dan seminar, juga di media massa, kita mendengar bahwa bangunan bernama Republik Indonesia tercinta ini sedang guyah dan rasanya akan sangat bijak kalau kita ikut menyumbangkan pandangan, sehingga ia akan kukuh karena ditopang oleh semua keberagaman kita.
Apa Inti keberagaman kita saat ini?
Kebudayaan adalah Inti Keberagaman Kita
Karena itu, walau agak remang, saya setuju dengan dasar pikiran seminar ini, sebagaimana dalam surat yang saya terima, yaitu meneguhkan kembali pengetahuan, kepekaan dan konsensus tentang kebhinekaan kita karena Lampung sebagai sebuah provinsi memiliki kekayaan budaya yang bersumber dari multikulturalitas masyarakatnya. Moga-moga serangkaian seminar yang direncanakan, yang malam ini kita mulai, betul-betul dapat meneguhkan kembali kebudayaan sebagai inti keberagaman karena kebudayaan pada dasarnya senantiasa memancarkan keindahan dari perbedaan, bukan dari keseragaman.
Walau abstrak, kita semua di sini tentu ingin merenungi kebhinekaan pada tataran praktik-praktik kebudayaan kita, yang memang sudah "seharusnya menjadi sumber bagi kearifan dalam mengelola kehidupan bersama kita pada tataran lain, baik ekonomi maupun politik". Sebab sekarang ini, kebhinekaan kita sedang terancam oleh kerja reformasi yang tidak maksimal, oleh karena berdemokrasi yang basa-basi, oleh kerja bernegara yang melupakan hakekat bertetangga, oleh kerja-kerja yang dipaksakan kepada kita, bukan atas dasar kehendak bersama kita, tapi oleh kekuasaan yang korup.
Kita tahu, Lampung (dalam arti dan makna etnis atau bukan) sudah tentu terkait dengan persoalan kebhinekaan. Karena itu, bicara soal problematika kebudayaan Lampung masa kini akan amat indah jika semangat kebhinekaan kita pancarkan kembali. Apalagi kini memang sulit melepaskan Lampung sebagai sebuah gerbang dari lalu-lintas sebuah pulau yang besar, yang menyumbang begitu beragam bagi tegaknya sistem kebangsaan dan kenegaraan, dari persoalan kebhinekaan, yang hemat saya akhir-akhir ini juga kembali hangat jadi perbincangan kaum elit.
Kebetulan, walau sesekali, saya pernah mengintip isu ini dan saya coba turunkan ke dalam beberapa esai di harian yang ada di Lampung; ada sebagian kalangan yang menginginkan penyempitan isu kebudayaan yang hemat saya menciderai konsep dasar kebhinekaan kita yang sudah dengan susah payah dipertahankan. Ada desakan untuk mempersempit kebudayaan hanya dalam arti bahasa, bahasa etnis, ada desakan untuk meng-goal-kan peraturan daerah sosial ini, ada tanda-tanda untuk menutup diri dengan model provinsialisme yang picik, ada ajakan untuk mengampanyekan kembali penggunaan bahasa daerah di lingkungan Pemda, ada seruan yang malu-malu dan sedikit agak garang tentang menghidupkan Kebudayaan Lampung, ada imbauan dari pemerintah daerah lewat Dinas Pariwisata dan perguruan tinggi agar menggalakkan kebudayaan daerah, ada berbagai macam seminar dan publikasi untuk melestarikan "Kebudayan Lampung", ada beberapa tulisan di media massa media yang membanggakan "orang Lampung" atau sengaja menghibur "masyarakat Lampung" bahwa sebetulnya Lampung itu kaya-raya dengan kebudayaan hanya saja tak lagi dipahami apalagi jadi kerangka pijakan berbangsa dan bernegara. Dan jangan pula dilupakan, ada beberapa kelompok atau "komunitas" yang mulai doyan mempublikasikan tulisan berbahasa Lampung racukan. Bahkan, tentu sudah berapa buku berbahasa Lampung (termasuk saya ikut terpancing nulis pakai bahasa Lampung) yang terbit dan akan diterbitkan demi sebuah niat yang belum tentu mulia.
Semua itu hemat saya sudah mengarah pada upaya berstrategi kebudayaan tadi, namun kalau gambaran semacam itu memang benar-benar mengandung separuh saja kebenaran atas pengamatan yang saya lakukan di atas, sungguh ini menyedihkan.
Sebagai "jama Lapung", saya bukan bangga tapi malah sedih. Kalau pun saya pernah mempublikasikan buku cerita bahasa Lampung, bukan berarti saya bangga kalau banyak orang menulis memakai bahasa Lampung, bukan pula saya berselera rasa kalau kita semua di sini tiba-tiba bicara memakai bahasa Lampung. Saya setuju dengan "gurauan" yang serius dari seniman nyentrik Arswendo Amiloto beberapa tahun lalu: "Kalau memang sastra berbahasa Jawa itu harus mati, biar saja, toh kejawaan tetap melekat pada tulisan orang Jawa, bahasa apa pun yang ia pergunakan". Begitu juga pada sastra berbahasa Lampung, kalau isu murahan yang terlanjur menyebar selama ini bahwa bahasa Lampung akan punah karena melihat sedikitnya para penuturnya yang berada di kota selama ini, biar saja, tak perlu panik, terlampau reaksioner, atau kebakaran jenggot.
Kalau boleh menirukan ucapan seorang kritikus kebudayaan, yang entah mengapa saya tidak pe-de menyebut namanya di sini, lupakan saja kelampungan, kejawaan, atau keindonesiaan itu, kalau memang ia ada, karena ia hanya akan jadi beban-berat sejarah saja, sebab sebuah gagasan, sebuah pemikiran, tak bisa dibatasi oleh sebuah bahasa, sebuah geografi, sebuah daerah, sebuah kawasan. Kalau pun hal itu memang ada, ia tidak akan sepenuhnya bisa kita ketahui dan pahami. Lebih baik kita berstrategi kebudayaan dengan memupuk benih-benih kebudayaan kebhinekaan yang hampir mati tadi, yaitu kebudayaan kebhinekaan yang tidak jadi sandera sejarah kebersamaan kita.
Konkretnya seperti apa itu, mari kita diskusikan bersama.
* Makalah disajikan untuk Bilik Jumpa Sastra-Budaya (Bijusa) Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila dengan tema Meninjau Kembali Arah Kebudayaan Lampung: Problema Kebudayaan Lampung Masa Kini di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unila, Jumat, 14 Oktober 2011.
** Asarpin, penulis dan aktivis Ornop
No comments:
Post a Comment