PADANG (Lampost): Empat perupa Lampung lolos dari kurasi dan berhasil memamerkan karya dalam Pameran Pra-Bienalle Se-Sumatera yang digelar dari 21 November—6 Desember 2011 di Gallery Taman Budaya Sumatera, Padang.
Keempat perupa tersebut yakni Ari Susiwa Manangisi, Bambang S.B.Y., Dana E. Rahmat, dan Sisna Ningsih.
Pameran yang diikuti para perupa dari Sumut, Sumbar, Jambi, Riau, Bengkulu, Lampung, dan Sumsel ini dibuka tokoh muda Minang yang juga kolektor dan pemerhati lukisan, Fadli Zon.
Pameran Pra-Bienalle Se-Sumatera ini dikurasi empat kurator asal Sumatera Barat, yaitu Syafwan Ahmad, Muharyadi, Yusrizal K.W., dan Hamzah.
Para perupa dari daerah lain yang berhasil lolos kurasi antara lain Herwandi (Bengkulu); Abdul Aziz, Edi Fahyuni, Suharno Manaf, Usa Khismada (Sumsel); Yahsermi Syahrul, A. Fauzi, Suwarno, Djafar Rasuh (Jambi); Budi Siagian, Handono Hadi, Rasinta Tarigan Farida Lisa, Yoes Afrizal, (Sumut).
Selain itu, Nazar Ismail, Herisman Tojes, Amrianis, Ardim, Zirwen Hazry, Yasrul Sami Batu Bara, dan Hendra Sardi (Sumbar). Dalam pameran ini juga diusung karya perupa senior Sumbar, Arby Samah, Amir Syarif, dan H.A.M.Y.D.T. Garang.
Di samping itu, digelar dialog bersama Kepala Galeri Nasional Tubagus Andre terkait dengan keberlanjutan Pra-Bienalle menjadi event Bienalle.
Mantan Kepala Taman Budaya Padang Asnan, dalam siaran pers yang diterima Lampung Post kemarin, mengatakan pameran dua tahunan ini sudah dirancang para kepala taman budaya se-Sumatera sejak tahun 1993.
Kegiatan ini, ujar Asnan, digagas untuk menjadi gelar karya unggulan para perupa se-Sumatera. "Ini juga akan menjadi tolok ukur perkembangan seni rupa Sumatera," ujarnya.
Namun, menurut Asnan, Pra-Bienalle kali ini ternyata masih jauh dari harapan. Padahal, awalnya digagas secara baik, karena akan melibatkan kurator dari Jakarta.
Bahkan, rencananya yang membuka pameran ialah kolektor terkemuka Indonesia Oei Hong Djin, tetapi semuanya berubah, bahkan panitia terkesan tidak siap mengusung event besar ini. (MG1/S-2)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 30 November 2011 05:45
November 30, 2011
November 29, 2011
Kayu Hara Khas Lampung Kini Langka
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pohon kayu hara atau yang sering disebut pohon madu adalah salah satu tumbuhan khas Lampung yang kini hampir punah.
Perbuatan warga yang tidak bertanggung jawab telah membuat spesies ini menjadi sangat sulit ditemui warga Lampung, bahkan banyak yang tidak mengenal pohon ini.
Ketua dan Pendiri Taman Kupu-Kupu Gita Persada Yayasan Sahabat Alam, Herawati Soekardi, menjelaskan pohon kayu hara ini adalah tumbuhan liar di hutan-hutan Lampung ini.
Kini jumlah pohon ini sangat terbatas karena selama ini masyarakat berpendapat bahwa tanaman ini tidak dapat dibudidayakan.
"Warga mengatakan tanaman ini hanya bisa tumbuh secara alami," kata Herawati saat ditemui Lampung Post pada pencanangan Program Wali Pohon Lampung di Taman Kupu-Kupu Bandar Lampung, Senin (28-11).
Warga yang memanfaatkan tanaman ini untuk mengambil kayu pohon, tanpa menanam kembali karena dianggap tidak dapat dibudidayakan. Namun, setelah mengadakan penelitian selama 10 tahun terhadap pohon madu ini, akhirnya dosen biologi pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unila ini berhasil membudidayakan tanaman khas Lampung tersebut.
Bersama suaminya, dia awalnya menggunakan media pasir untuk membudidayakan tanaman ini. Namun, sekarang dia merekomendasikan cara stek jika ingin memperbanyak pohon madu.
Herawati menjelaskan karakteristik pohon ini, yaitu berkulit kayu putih, dengan tinggi pohon bisa mencapai 50 meter. Diameter pohon bisa mencapai 1 meter, daun berukuran lebar dengan buah pohon yang kecil-kecil dan disukai monyet.
"Ada kalanya pohon ini meranggas dan saat pohon meranggas, lebah sangat menyukai keadaan itu," kata Herawati.
Meranggas adalah keadaan pohon yang menggugurkan daunnya sendiri. (MG4/K-2)
Sumber: Lampung Post, Selasa, 29 November 2011
Perbuatan warga yang tidak bertanggung jawab telah membuat spesies ini menjadi sangat sulit ditemui warga Lampung, bahkan banyak yang tidak mengenal pohon ini.
Ketua dan Pendiri Taman Kupu-Kupu Gita Persada Yayasan Sahabat Alam, Herawati Soekardi, menjelaskan pohon kayu hara ini adalah tumbuhan liar di hutan-hutan Lampung ini.
Kini jumlah pohon ini sangat terbatas karena selama ini masyarakat berpendapat bahwa tanaman ini tidak dapat dibudidayakan.
"Warga mengatakan tanaman ini hanya bisa tumbuh secara alami," kata Herawati saat ditemui Lampung Post pada pencanangan Program Wali Pohon Lampung di Taman Kupu-Kupu Bandar Lampung, Senin (28-11).
Warga yang memanfaatkan tanaman ini untuk mengambil kayu pohon, tanpa menanam kembali karena dianggap tidak dapat dibudidayakan. Namun, setelah mengadakan penelitian selama 10 tahun terhadap pohon madu ini, akhirnya dosen biologi pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unila ini berhasil membudidayakan tanaman khas Lampung tersebut.
Bersama suaminya, dia awalnya menggunakan media pasir untuk membudidayakan tanaman ini. Namun, sekarang dia merekomendasikan cara stek jika ingin memperbanyak pohon madu.
Herawati menjelaskan karakteristik pohon ini, yaitu berkulit kayu putih, dengan tinggi pohon bisa mencapai 50 meter. Diameter pohon bisa mencapai 1 meter, daun berukuran lebar dengan buah pohon yang kecil-kecil dan disukai monyet.
"Ada kalanya pohon ini meranggas dan saat pohon meranggas, lebah sangat menyukai keadaan itu," kata Herawati.
Meranggas adalah keadaan pohon yang menggugurkan daunnya sendiri. (MG4/K-2)
Sumber: Lampung Post, Selasa, 29 November 2011
November 28, 2011
DKL Mencari Strategi Asyik Berteater
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Komite Teater Dewan Kesenian Lampung (DKL) menyelenggarakan Temu Teater Lampung 2011 dengan tema Mencari strategi asyik berteater di Provinsi Lampung.
Kegiatan dilaksanakan Sabtu (26-11) di Kafe Pondok Kelapa, samping BNI 46 Unila. Kegiatan dilaksanakan mulai pukul 10.00, dengan pembicara Iswadi Pratama (Teater Satu) dan Ari Pahala Hutabarat (Komunitas Berkat Yakin Lampung).
Diskusi dan brainstorming pada pertemuan ini akan mengkaji permasalahan dan solusi berteater di Lampung (tentang minimnya pelatih, buruknya sisi manajerial, regenerasi, dan jaringan).
Kemudian mengungkap teater sebagai media pendidikan alternatif (konteks pemberdayaan diri/self empowering). Peranan media dalam mendukung perkembangan teater di Provinsi Lampung. Peserta kegiatan ini pelaku teater pelajar, mahasiswa, dan independen (umum).
Syafariah Widianti, biasa dipanggil Atu Ayi, ketua umum DKL, mengatakan Komite Teater DKL harus mampu menampung aspirasi pelaku teater di Lampung sehingga program-program komite teater DKL lebih tepat sasaran.
Lampung harus menjadi pusat perkembangan teater minimalnya di Sumatera. "Saya mendukung kegiatan ini, dengan harapan mampu mendorong pelaku teater di Lampung agar lebih semangat lagi dalam memproduksi pertunjukan-pertunjukan, yang semakin lama harus semakin berkualitas," kata dia.
Menurut Atu Ayi, hal ini bisa mengharumkan nama Lampung, baik di kancah provinsi, nasional maupun internasional.
Lebih lanjut Atu Ayi mengatakan dibandingkan provinsi lain di Sumatera, prestasi kelompok teater di Lampung sebetulnya sudah cukup lumayan dan cukup membanggakan.
Untuk konteks Sumatera, Lampung bisa dibilang paling mumpuni. Prestasi ini harus terus dipertahankan dan ditingkatkan ke level yang lebih tinggi. (RLS/K-2)
Sumber: Lampung Post, Senin, 28 November 2011
Kegiatan dilaksanakan Sabtu (26-11) di Kafe Pondok Kelapa, samping BNI 46 Unila. Kegiatan dilaksanakan mulai pukul 10.00, dengan pembicara Iswadi Pratama (Teater Satu) dan Ari Pahala Hutabarat (Komunitas Berkat Yakin Lampung).
Diskusi dan brainstorming pada pertemuan ini akan mengkaji permasalahan dan solusi berteater di Lampung (tentang minimnya pelatih, buruknya sisi manajerial, regenerasi, dan jaringan).
Kemudian mengungkap teater sebagai media pendidikan alternatif (konteks pemberdayaan diri/self empowering). Peranan media dalam mendukung perkembangan teater di Provinsi Lampung. Peserta kegiatan ini pelaku teater pelajar, mahasiswa, dan independen (umum).
Syafariah Widianti, biasa dipanggil Atu Ayi, ketua umum DKL, mengatakan Komite Teater DKL harus mampu menampung aspirasi pelaku teater di Lampung sehingga program-program komite teater DKL lebih tepat sasaran.
Lampung harus menjadi pusat perkembangan teater minimalnya di Sumatera. "Saya mendukung kegiatan ini, dengan harapan mampu mendorong pelaku teater di Lampung agar lebih semangat lagi dalam memproduksi pertunjukan-pertunjukan, yang semakin lama harus semakin berkualitas," kata dia.
Menurut Atu Ayi, hal ini bisa mengharumkan nama Lampung, baik di kancah provinsi, nasional maupun internasional.
Lebih lanjut Atu Ayi mengatakan dibandingkan provinsi lain di Sumatera, prestasi kelompok teater di Lampung sebetulnya sudah cukup lumayan dan cukup membanggakan.
Untuk konteks Sumatera, Lampung bisa dibilang paling mumpuni. Prestasi ini harus terus dipertahankan dan ditingkatkan ke level yang lebih tinggi. (RLS/K-2)
Sumber: Lampung Post, Senin, 28 November 2011
November 25, 2011
Bandara Seray Beroperasi Mulai 2012
LIWA -- Bandara Seray di Desa Seray, Kecamatan Pesisir Tengah, Lampung Barat, akan mulai dioperasikan awal 2012 setelah perusahaan penerbangan Susi Air menyatakan siap untuk terbang ke Seray.
"Perusahaan penerbagan Susi Air sudah menyatakan akan melakukan penerbangan dengan rute Jakarta-Krui dan Krui-Jakarta mulai 2012," kata Bupati Lampung Barat, Mukhlis Basri di Liwa, Jumat.
Dia menjelaskan, pemerintah daerah telah melakukan pembicaraan khusus dengan pihak perusahaan penerbangan terkait rencana pengoprasian Bandara Seray tersebut.
Bupati mengemukakan bahwa dengan berfungsinya bandara tersebut akan meningkatkan pembangunan ekonomi terutama di sektor perikanan dan pariwisata.
"Saya sangat optimistis bila bandara tersebut berfungsi, laju pertumbuhan ekonomi masyarakat akan naik, dan yang paling menonjol yakni sektor pariwisata di kawasan pesisir semakin terangkat, dan mampu mendatangkan wisatawan asing maupun domestik," kata dia lagi.
Menurut dia, melalui Bandara Seray, hasil bumi dan produk unggulan Lampung Barat akan bisa masuk pasar nasional maupun internasional.
Bupati mengakui, masih banyak kekurangan sarana dan fasilitas di bandara itu, namun pemerintah daerah terus melakukan pembenahan hingga bandara tersebut maksimal.
"Pemkab juga akan mengganggarkan dana subsidi biaya transpotasi agar tarif penerbangan dapat dijangkau oleh masyarakat," kata dia lagi.
Bupati optimistis, Bandara Seray dapat menjadi jembatan pembangunan bagi Lampung Barat untuk mengejar ketertinggalan.
"Saya berharap seluruh masyarakat mendukung rencana pemerintah daerah untuk mengaktifkan Bandara Seray untuk kesejahteraan bersama," ujarnya.
Dana pembangunan Bandara Seray bersumber dari APBD dan APBN yang dimulai pada 2004.
Luas lahan Bandara Seray mencapai 50 hektare, dan pengembangannya diawali dengan pembebasan lahan dilanjutkan dengan pembuatan studi kelayakan pada tahun 2004 dan 2005.
Pembangunan tersebut telah menghabiskan dana Rp150 miliar lebih.
Sumber: Antara, Jumat, 25 November 2011
"Perusahaan penerbagan Susi Air sudah menyatakan akan melakukan penerbangan dengan rute Jakarta-Krui dan Krui-Jakarta mulai 2012," kata Bupati Lampung Barat, Mukhlis Basri di Liwa, Jumat.
Dia menjelaskan, pemerintah daerah telah melakukan pembicaraan khusus dengan pihak perusahaan penerbangan terkait rencana pengoprasian Bandara Seray tersebut.
Bupati mengemukakan bahwa dengan berfungsinya bandara tersebut akan meningkatkan pembangunan ekonomi terutama di sektor perikanan dan pariwisata.
"Saya sangat optimistis bila bandara tersebut berfungsi, laju pertumbuhan ekonomi masyarakat akan naik, dan yang paling menonjol yakni sektor pariwisata di kawasan pesisir semakin terangkat, dan mampu mendatangkan wisatawan asing maupun domestik," kata dia lagi.
Menurut dia, melalui Bandara Seray, hasil bumi dan produk unggulan Lampung Barat akan bisa masuk pasar nasional maupun internasional.
Bupati mengakui, masih banyak kekurangan sarana dan fasilitas di bandara itu, namun pemerintah daerah terus melakukan pembenahan hingga bandara tersebut maksimal.
"Pemkab juga akan mengganggarkan dana subsidi biaya transpotasi agar tarif penerbangan dapat dijangkau oleh masyarakat," kata dia lagi.
Bupati optimistis, Bandara Seray dapat menjadi jembatan pembangunan bagi Lampung Barat untuk mengejar ketertinggalan.
"Saya berharap seluruh masyarakat mendukung rencana pemerintah daerah untuk mengaktifkan Bandara Seray untuk kesejahteraan bersama," ujarnya.
Dana pembangunan Bandara Seray bersumber dari APBD dan APBN yang dimulai pada 2004.
Luas lahan Bandara Seray mencapai 50 hektare, dan pengembangannya diawali dengan pembebasan lahan dilanjutkan dengan pembuatan studi kelayakan pada tahun 2004 dan 2005.
Pembangunan tersebut telah menghabiskan dana Rp150 miliar lebih.
Sumber: Antara, Jumat, 25 November 2011
November 24, 2011
Mahasiswa Asing Helat Pentas Seni
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Enam mahasiswa asing yang kuliah di Unila menggelar Pentas Seni Mahasiswa Asing Unila 2011 di pelataran belakang gedung Rektorat setempat, Rabu (23-11).
PENTAS SENI. Enam mahasiswa asing dari tiga negara, Jepang, Kamboja, dan Madagaskar, yang sedang menempuh pendidikan di Unila menggelar Pentas Seni Mahasiswa Asing Unila 2011 di pelataran pelataran belakang gedung rektorat, Rabu (23-11). Mereka menampilkan beberapa seni Lampung, salah satunya menyanyikan lagu Cangget Agung. (LAMPUNG POST/MG3)
Mereka adalah Yukari Sato, Mika Sato, Hiro Kawasaki, dan Asako Takauchi asal Jepang. Kemudian, Andre Aino Rakorofao asal Madagaskar dan Met Chandara asal Kamboja. Semuanya merupakan mahasiswa asing pada Jurusan Bahasa Indonesia dan Seni pada FKIP Unila.
Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan Unila Sunarto mengatakan program ini bertujuan mengukur kemampuan penguasaan bahasa Indonesia oleh mahasiswa asing tersebut. Juga memperkenalkan seni dan budaya Indonesia dan Lampung pada khususnya.
Perhelatan yang dimulai sejak pukul 09.00 itu berlangsung lebih dari dua jam dan disaksikan para dosen, karyawan, serta seratusan mahasiswa Unila. Kegiatan dibuka PR I Unila Hasriadi Mat Akin.
Keenam mahasiswa asing itu pun antusias melihat sambutan para penonton. "Belajar tari sembah itu susah-susah gampang. Tari sembah itu asyik dan menarik karena gerakan tari ini pelan-pelan dan terlihat anggun, kostumnya saya juga suka," ujar Mika Sato.
Menurut dia, persiapan untuk kegiatan ini sejak dua bulan yang lalu. "Para pengajarnya juga baik sehingga kami cepat belajar. Hanya saja masih sulit memahami arahannya karena menggunakan bahasa Indonesia yang masih asing di telinga kami," ujar Mika.
Ia juga mengaku sedikit gugup mengikuti kegiatan ini karena membawakan budaya negara lain. Akan tetapi, ia juga tenang karena banyak yang mendukung.
Pada pertunjukan ini beberapa mahasiswa asing yang sekarang tengah kuliah di Unila membawakan kesenian berbeda-beda. Mika bersama dengan Yukari Sato yang juga asal Jepang membawakan tari sembah.
Sedangkan Met Chandara membawakan tari bedana. Asako Takeuchi yang juga dari Jepang menyanyi lagu Lampung. Kemudian Hiroe Kawasaki asal Jepang dan Andre asal Madagaskar membaca puisi. "Kami sangat senang bisa berkesempatan belajar budaya Lampung dan sekaligus menampilkannya. Semoga saja banyak yang suka," kata Mika. (MG1/S-3)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 24 November 2011
PENTAS SENI. Enam mahasiswa asing dari tiga negara, Jepang, Kamboja, dan Madagaskar, yang sedang menempuh pendidikan di Unila menggelar Pentas Seni Mahasiswa Asing Unila 2011 di pelataran pelataran belakang gedung rektorat, Rabu (23-11). Mereka menampilkan beberapa seni Lampung, salah satunya menyanyikan lagu Cangget Agung. (LAMPUNG POST/MG3)
Mereka adalah Yukari Sato, Mika Sato, Hiro Kawasaki, dan Asako Takauchi asal Jepang. Kemudian, Andre Aino Rakorofao asal Madagaskar dan Met Chandara asal Kamboja. Semuanya merupakan mahasiswa asing pada Jurusan Bahasa Indonesia dan Seni pada FKIP Unila.
Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan Unila Sunarto mengatakan program ini bertujuan mengukur kemampuan penguasaan bahasa Indonesia oleh mahasiswa asing tersebut. Juga memperkenalkan seni dan budaya Indonesia dan Lampung pada khususnya.
Perhelatan yang dimulai sejak pukul 09.00 itu berlangsung lebih dari dua jam dan disaksikan para dosen, karyawan, serta seratusan mahasiswa Unila. Kegiatan dibuka PR I Unila Hasriadi Mat Akin.
Keenam mahasiswa asing itu pun antusias melihat sambutan para penonton. "Belajar tari sembah itu susah-susah gampang. Tari sembah itu asyik dan menarik karena gerakan tari ini pelan-pelan dan terlihat anggun, kostumnya saya juga suka," ujar Mika Sato.
Menurut dia, persiapan untuk kegiatan ini sejak dua bulan yang lalu. "Para pengajarnya juga baik sehingga kami cepat belajar. Hanya saja masih sulit memahami arahannya karena menggunakan bahasa Indonesia yang masih asing di telinga kami," ujar Mika.
Ia juga mengaku sedikit gugup mengikuti kegiatan ini karena membawakan budaya negara lain. Akan tetapi, ia juga tenang karena banyak yang mendukung.
Pada pertunjukan ini beberapa mahasiswa asing yang sekarang tengah kuliah di Unila membawakan kesenian berbeda-beda. Mika bersama dengan Yukari Sato yang juga asal Jepang membawakan tari sembah.
Sedangkan Met Chandara membawakan tari bedana. Asako Takeuchi yang juga dari Jepang menyanyi lagu Lampung. Kemudian Hiroe Kawasaki asal Jepang dan Andre asal Madagaskar membaca puisi. "Kami sangat senang bisa berkesempatan belajar budaya Lampung dan sekaligus menampilkannya. Semoga saja banyak yang suka," kata Mika. (MG1/S-3)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 24 November 2011
November 23, 2011
Kopi Luwak Lampung Barat Icon Provinsi Lampung
LIWA -- Wakil Gubernur Lampung Joko Umar Said saat melakukan kunjungan kerja di daerah tersebut menyatakan bahwa produk kopi luwak Lampung Barat dapat menjadi icon bagi Provinsi Lampung.
"Produk kopi luwak Lampung Barat memiliki kualitas yang baik, dan mampu memberikan dampak terhadap promosi wilayah bagi Provinsi Lampung, terutama, bagi Lampung Barat," kata Wakil Gubernur Lampung, Joko Umar Said, di Liwa, Rabu.
Dia menjelaskan, produk kopi luwak Lampung Barat dapat bersaing dengan produk pasar yang ada diseluruh wilayah di Indonesia.
Menurut dia, semakin meningkatnya kualitas produk kopi luwak, akan berdampak terhadap penjualan produk tersebut.
"Saya meyakini, bila perajin menjaga kualitas produk kopi luwak, dapat dimungkinkan, produk tersebut, semakin dikenal dimancanegara," kata dia lagi.
Kemudian lanjut dia, dibutuhkan keseriusan dari pemerintah daerah dalam membina perajin kopi luwak di Lampung Barat.
Masih kata Joko, produk kopi luwak dapat menjadi peluang investasi bagi investor yang akan bermitra dengan Lampung Barat.
"Lampung Barat memiliki berlimpahnya potensi perkebunan kopi, sehingga dengan potensi yang besar itu, dapat memberikan dampak terhadap peningkatan ekonomi dan kemajuan kerangka pembangunan disegala bidang, dan berharap produk kopi mahal ini akan dapat berkibar di mancanegara dan mampu mengharumkan nama Provinsi Lampung," katanya.
Sementara itu Bupati Lampung Barat, Mukhlis Basri mengatakan, kualitas kopi luwak Lampung Barat terbaik ke dua dunia.
"Produk kopi luwak menjadi produk unggul bagi Lampung Barat, sehingga dengan produk perkebunan tersebut, nama Lampung Barat semakin berkibar dan mampu disejajarkan dengan beberapa daerah yang memiliki produk yang sama," kata dia.
Bupati menguraikan, pemerintah daerah cukup serius memperhatikan kelangsungan produk kopi luwak, salah satunya dengan memfasilitasinya pembuatan sertifikasi produk tersebut.
Mukhlis memaparkan, Lampung Barat membutuhkan bantuan dari pemerintah pusat guna mendongkrak produk perkebunan pasca penurunan hasil panen.
"Cuaca ekstrim yang terjadi memnimbulkan dampak besar terhadap penurunan produk perkebunan, dan yang paling besar yakni perekonomian petani kopi, dan untuk membangkitkan kembali, pemerintah daerah tengan mempersiapkan program khusus guna menggenjot kembali produksi kopi di tahun mendatang, namun semuanya tidak terlepas dari bantuan perintah pusat maupun provinsi," kata Bupati lagi.
Kemudian Bupati menambahkan, Lampung Barat terus membuka peluang investasi bagi investor yang hendak bermitra dalam mengelola potensi perkebunan kopi terutama produk kopi luwak.
Lampung Barat menjadi sentra penghasil produk kopi luwak terbesar di Provinsi Lampung, sebab daerah ini memiliki pasokan kebun kopi sangat luas, juga hewan luak (Musang) yang berlimpah, sehingga pengusaha kopi luak tidak merasa kesulitan dalam mengembangkan usaha ini.
Harga bubuk kopi luak di Kabupaten Lampung Barat mencapai Rp850 ribu perkilo, sedangkan untuk kemasan ekonomis mencapai Rp30 ribu hingga Rp40 ribu perbungkus.
Selain memiliki rasa yang nikmat, kopi luak dipercaya berkhasiat, sehingga produk kopi luak semakin digemari.
Sumber: Antara, Rabu, 23 November 2011
"Produk kopi luwak Lampung Barat memiliki kualitas yang baik, dan mampu memberikan dampak terhadap promosi wilayah bagi Provinsi Lampung, terutama, bagi Lampung Barat," kata Wakil Gubernur Lampung, Joko Umar Said, di Liwa, Rabu.
Dia menjelaskan, produk kopi luwak Lampung Barat dapat bersaing dengan produk pasar yang ada diseluruh wilayah di Indonesia.
Menurut dia, semakin meningkatnya kualitas produk kopi luwak, akan berdampak terhadap penjualan produk tersebut.
"Saya meyakini, bila perajin menjaga kualitas produk kopi luwak, dapat dimungkinkan, produk tersebut, semakin dikenal dimancanegara," kata dia lagi.
Kemudian lanjut dia, dibutuhkan keseriusan dari pemerintah daerah dalam membina perajin kopi luwak di Lampung Barat.
Masih kata Joko, produk kopi luwak dapat menjadi peluang investasi bagi investor yang akan bermitra dengan Lampung Barat.
"Lampung Barat memiliki berlimpahnya potensi perkebunan kopi, sehingga dengan potensi yang besar itu, dapat memberikan dampak terhadap peningkatan ekonomi dan kemajuan kerangka pembangunan disegala bidang, dan berharap produk kopi mahal ini akan dapat berkibar di mancanegara dan mampu mengharumkan nama Provinsi Lampung," katanya.
Sementara itu Bupati Lampung Barat, Mukhlis Basri mengatakan, kualitas kopi luwak Lampung Barat terbaik ke dua dunia.
"Produk kopi luwak menjadi produk unggul bagi Lampung Barat, sehingga dengan produk perkebunan tersebut, nama Lampung Barat semakin berkibar dan mampu disejajarkan dengan beberapa daerah yang memiliki produk yang sama," kata dia.
Bupati menguraikan, pemerintah daerah cukup serius memperhatikan kelangsungan produk kopi luwak, salah satunya dengan memfasilitasinya pembuatan sertifikasi produk tersebut.
Mukhlis memaparkan, Lampung Barat membutuhkan bantuan dari pemerintah pusat guna mendongkrak produk perkebunan pasca penurunan hasil panen.
"Cuaca ekstrim yang terjadi memnimbulkan dampak besar terhadap penurunan produk perkebunan, dan yang paling besar yakni perekonomian petani kopi, dan untuk membangkitkan kembali, pemerintah daerah tengan mempersiapkan program khusus guna menggenjot kembali produksi kopi di tahun mendatang, namun semuanya tidak terlepas dari bantuan perintah pusat maupun provinsi," kata Bupati lagi.
Kemudian Bupati menambahkan, Lampung Barat terus membuka peluang investasi bagi investor yang hendak bermitra dalam mengelola potensi perkebunan kopi terutama produk kopi luwak.
Lampung Barat menjadi sentra penghasil produk kopi luwak terbesar di Provinsi Lampung, sebab daerah ini memiliki pasokan kebun kopi sangat luas, juga hewan luak (Musang) yang berlimpah, sehingga pengusaha kopi luak tidak merasa kesulitan dalam mengembangkan usaha ini.
Harga bubuk kopi luak di Kabupaten Lampung Barat mencapai Rp850 ribu perkilo, sedangkan untuk kemasan ekonomis mencapai Rp30 ribu hingga Rp40 ribu perbungkus.
Selain memiliki rasa yang nikmat, kopi luak dipercaya berkhasiat, sehingga produk kopi luak semakin digemari.
Sumber: Antara, Rabu, 23 November 2011
Pelabuhan Kuala Stabas Makin Rusak
LIWA -- Kondisi Pelabuhan Kuala Stabas di Kecamatan Pesisir Tengah Kabupaten Lampung Barat kini makin rusak sehingga Pemprov Lampung diharapkan segera memperbaikinya.
Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Lampung Barat, Nata Djudin Amran, di Liwa, Rabu, gelombang tinggi yang kerap terjadi di perairan Lampung Barat makin mempercepat kerusakan pelabuhan tersebut.
Padahal, sebagian besar nelayan setempat memanfaatkan Pelabuhan Kuala Stabas itu untuk mendukung aktivitas mereka dalam perdagangan ikan laut.
"Sebagian besar nelayan yang berada Kuala Stabas mengeluh akibat kondisi pelabuhan yang makin rusak," katanya.
Menurut dia, Pemkab Lampung Barat tidak mempunyai hak untuk memperbaiki pelabuhan tersebut, karena hak pengelolaannya berada di tangan Pemerintah Provinsi Lampung.
"Kami belum diberikan hak kelola pelabuhan tersebut, sehingga kerusakan terhadap infrastruktur pelabuhan, pemerintah daerah tidak mempunyai kewenangan untuk memperbaikinya," kata dia.
Ia menyebutkan infrastruktur pelabuhan itu sudah termakan usia, sehingga selayaknya segera diperbaiki oleh Pemprov Lampung.
Kemudian, lanjut dia, minimnya sarana di lokasi pelabuhan Kuala Stabas membuat abrasi di pantai pelabuhan itu meluas.
"Saya berharap Pemerintah Provinsi Lampung dapat segera meninjau dan memperbaiki pelabuhan perhubungan ini," katanya.
Pelabuhan perhubungan Kuala Stabas terletak di Kecamatan Pesisir Tengah Lampung Barat, dan dibangun sejak zaman Belanda. Kondisinya saat ini semakin rusak parah.
Sebagian besar nelayan yang berada di pesisir memanfaatkan pelabuhan tersebut sebagai lokasi transaksi penjualan ikan laut, sehingga pelabuhan itu menjadi sangat penting bagi nelayan setempat.
Pelabuhan itu juga digunakan nelayan sebagai tempat sandar kapalnya.
Namun belakangan ini mereka jarang menambatkan kapalnya di pelabuhan itu, karena kondisi gelombang laut saat cuaca ekstrem juga besar.
Kapal-kapal nelayan kerap rusak terhantam ombak besar, karena pelabuhan itu tidak mampu lagi menahan hantaman gelombang tinggi.
Sumber: Antara, Rabu, 23 November 2011
Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Lampung Barat, Nata Djudin Amran, di Liwa, Rabu, gelombang tinggi yang kerap terjadi di perairan Lampung Barat makin mempercepat kerusakan pelabuhan tersebut.
Padahal, sebagian besar nelayan setempat memanfaatkan Pelabuhan Kuala Stabas itu untuk mendukung aktivitas mereka dalam perdagangan ikan laut.
"Sebagian besar nelayan yang berada Kuala Stabas mengeluh akibat kondisi pelabuhan yang makin rusak," katanya.
Menurut dia, Pemkab Lampung Barat tidak mempunyai hak untuk memperbaiki pelabuhan tersebut, karena hak pengelolaannya berada di tangan Pemerintah Provinsi Lampung.
"Kami belum diberikan hak kelola pelabuhan tersebut, sehingga kerusakan terhadap infrastruktur pelabuhan, pemerintah daerah tidak mempunyai kewenangan untuk memperbaikinya," kata dia.
Ia menyebutkan infrastruktur pelabuhan itu sudah termakan usia, sehingga selayaknya segera diperbaiki oleh Pemprov Lampung.
Kemudian, lanjut dia, minimnya sarana di lokasi pelabuhan Kuala Stabas membuat abrasi di pantai pelabuhan itu meluas.
"Saya berharap Pemerintah Provinsi Lampung dapat segera meninjau dan memperbaiki pelabuhan perhubungan ini," katanya.
Pelabuhan perhubungan Kuala Stabas terletak di Kecamatan Pesisir Tengah Lampung Barat, dan dibangun sejak zaman Belanda. Kondisinya saat ini semakin rusak parah.
Sebagian besar nelayan yang berada di pesisir memanfaatkan pelabuhan tersebut sebagai lokasi transaksi penjualan ikan laut, sehingga pelabuhan itu menjadi sangat penting bagi nelayan setempat.
Pelabuhan itu juga digunakan nelayan sebagai tempat sandar kapalnya.
Namun belakangan ini mereka jarang menambatkan kapalnya di pelabuhan itu, karena kondisi gelombang laut saat cuaca ekstrem juga besar.
Kapal-kapal nelayan kerap rusak terhantam ombak besar, karena pelabuhan itu tidak mampu lagi menahan hantaman gelombang tinggi.
Sumber: Antara, Rabu, 23 November 2011
November 21, 2011
Sastra Tulis Lampung Berkembang Sejak Lama
KOTABUMI (Lampost): Tradisi kepenulisan dalam dunia sastra Lampung telah berkembang sejak lama. Beberapa karya sastra yang kemudian diterbitkan seperti Warahan Radin Jambat dan Tetimbai Dayang Rindu adalah sastra tulis, bukan sekadar sastra lisan.
Pandangan ini mengemuka dalam peluncuran dan bedah tiga buku sastra Lampung di STKIP Muhammadiyah Kotabumi, Sabtu (19-11). Tampil sebagai pembicara dalam acara ini budayawan Iwan Nurdaya-Djafar dan sastrawan Udo Z. Karzi dengan moderator penyair yang juga dosen STKIP Muhammadiyah Kotabumi Djuhardi Basri.
Ketiga buku tersebut adalah Warahan Radin Jambat suntingan Iwan Nurdaya-Djafar dengan redaktur ahli Hilman Hadikusuma (diterbitkan Pustaka Labrak, Bandar Lampung), Hikayat Nakhoda Muda, Memoar Sebuah Keluarga Melayu karya La-Uddin dkk dan diterjemahkan Iwan Nurdaya-Djafar (Ilagaligo Publisher), dan Radin Inten II karya Rudi Suhaimi Kalianda (BE Press).
"Warahan Radin Jambat adalah cerita rakyat yang ditulis dengan huruf Lampung dengan bahasa Lampung Sungkai dan Way Kanan. Karena itu dia bukan sastra lisan, melainkan sastra tulis," kata budayawan Iwan Nurdaya-Djafar.
Mengutip pendapat A. Teeuw, Iwan menyebutkan jumlaah masyarakat (suku) yang menggunakan tulisan untuk membuat sastranya lestari relatif sedikit. "Di antaranya di Sumatera, tradisi tulisan sebelum Islam, utamanya diwakili orang Batak, Rejang, dan Lampung, yang masing-masing memperlihatkan ciri khasnya dalam sastra."
Orang Lampung, menurut Iwan yang juga Asisten II Pemkab Lampung Timur ini, sejak lama mengenal tiga aksara (triliterasi), yaitu huruf Kaganga, huruf Arab Melayu, dan huruf Latin. "Maka sudah sewajarnya jika kita meneruskan tradisi kepenulisan ini, termasuk menulis sastra dengan bahasa Lampung," kata dia.
Udo Z. Karzi menambahkan, di tengah arus globalisasi, ternyata kekuatan lokal menjadi kata kunci untuk memenangkan persaingan bangsa-bangsa. "Bahasa dan sastra Lampung boleh dibilang sebagai petensi lokal yang menjadi modal penting dalam pergaulan antarbangsa," kata peraih Hadiah Sastra Rancage 2008 ini.
Udo berharap pelestarian sastra tradisi lisan Lampung harus sejalan dengan pengembangan sastra Lampung tulis. "Saya kira ini bukan hal baru. Hikayat Nakhoda Muda yang ditulis La-Uddin dkk tahun 1778 atau Warahan Radin Jambat yang ditulis jauh sebelum itu menunjukkan kepada kita bahwa tradisi tulis kita sudah berlangsung lama. Kita hanya meneruskan tradisi ini," kata dia.
Sedangkan Djuhardi Basri mengatakan, pengembangan bahasa dan sastra Lampung harus didukung dengan kebijakan pemerintah (daerah). "Tanpa itu hanya akan ada individu-individu yang bekerja. Tapi tidak menjadi gerakan yang lebih besar dan masif," ujarnya. (MG1/D-1)
Sumber: Lampung Post, Senin, 21 November 2011
Pandangan ini mengemuka dalam peluncuran dan bedah tiga buku sastra Lampung di STKIP Muhammadiyah Kotabumi, Sabtu (19-11). Tampil sebagai pembicara dalam acara ini budayawan Iwan Nurdaya-Djafar dan sastrawan Udo Z. Karzi dengan moderator penyair yang juga dosen STKIP Muhammadiyah Kotabumi Djuhardi Basri.
Ketiga buku tersebut adalah Warahan Radin Jambat suntingan Iwan Nurdaya-Djafar dengan redaktur ahli Hilman Hadikusuma (diterbitkan Pustaka Labrak, Bandar Lampung), Hikayat Nakhoda Muda, Memoar Sebuah Keluarga Melayu karya La-Uddin dkk dan diterjemahkan Iwan Nurdaya-Djafar (Ilagaligo Publisher), dan Radin Inten II karya Rudi Suhaimi Kalianda (BE Press).
"Warahan Radin Jambat adalah cerita rakyat yang ditulis dengan huruf Lampung dengan bahasa Lampung Sungkai dan Way Kanan. Karena itu dia bukan sastra lisan, melainkan sastra tulis," kata budayawan Iwan Nurdaya-Djafar.
Mengutip pendapat A. Teeuw, Iwan menyebutkan jumlaah masyarakat (suku) yang menggunakan tulisan untuk membuat sastranya lestari relatif sedikit. "Di antaranya di Sumatera, tradisi tulisan sebelum Islam, utamanya diwakili orang Batak, Rejang, dan Lampung, yang masing-masing memperlihatkan ciri khasnya dalam sastra."
Orang Lampung, menurut Iwan yang juga Asisten II Pemkab Lampung Timur ini, sejak lama mengenal tiga aksara (triliterasi), yaitu huruf Kaganga, huruf Arab Melayu, dan huruf Latin. "Maka sudah sewajarnya jika kita meneruskan tradisi kepenulisan ini, termasuk menulis sastra dengan bahasa Lampung," kata dia.
Udo Z. Karzi menambahkan, di tengah arus globalisasi, ternyata kekuatan lokal menjadi kata kunci untuk memenangkan persaingan bangsa-bangsa. "Bahasa dan sastra Lampung boleh dibilang sebagai petensi lokal yang menjadi modal penting dalam pergaulan antarbangsa," kata peraih Hadiah Sastra Rancage 2008 ini.
Udo berharap pelestarian sastra tradisi lisan Lampung harus sejalan dengan pengembangan sastra Lampung tulis. "Saya kira ini bukan hal baru. Hikayat Nakhoda Muda yang ditulis La-Uddin dkk tahun 1778 atau Warahan Radin Jambat yang ditulis jauh sebelum itu menunjukkan kepada kita bahwa tradisi tulis kita sudah berlangsung lama. Kita hanya meneruskan tradisi ini," kata dia.
Sedangkan Djuhardi Basri mengatakan, pengembangan bahasa dan sastra Lampung harus didukung dengan kebijakan pemerintah (daerah). "Tanpa itu hanya akan ada individu-individu yang bekerja. Tapi tidak menjadi gerakan yang lebih besar dan masif," ujarnya. (MG1/D-1)
Sumber: Lampung Post, Senin, 21 November 2011
November 20, 2011
[Wawancara] Rahmad Darmawan: Saya Bangga Jadi Orang Lampung
PUBLIK Indonesia sedang tersihir oleh permainan Timnas Indonesia yang berlaga di SEA Games XXVI di Jakarta. Dengan dada berdegub, seluruh rakyat menantikan gol-gol yang tercipta.
Kamis malam (17-11), tim sepak bola Indonesia berjibaku meladeni permainan Malaysia pada babak penyisihan SEA Games XXVI di Jakarta. Saat susunan pemain dirilis, penonton di Gelora Bung Karno dan pemirsa televisi seluruh negeri menahan napas. Sebab, beberapa pemain kunci tidak diturunkan. Dan benar, babak pertama Indonesia kecolongan satu gol. Selain itu, permainan kita juga tidak berkembang.
Di kursi ofisial, Rahmad Darmawan terlihat tegang. Hingga akhir pertandingan, meskipun Timnas Indonesia mulai menunjukkan performa yang baik, timnas tidak mampu membalas kekalahan.
Mengapa kita "rela" kalah dari Malaysia yang notabene adalah musuh bebuyutan? Bagaimana strategi yang diterapkan pelatih kelahiran Tanggulangin, Punggur, Lampung Tengah, itu dalam laga ini? Berikut petikan wawancara khusus Sudarmono dari Lampung Post dengan Rahmad Darmawan melalui telepon di sela-sela persiapan menghadapi Vietnam, Jumat malam (18-11).
Saat ini Anda sedang menjadi sorotan 240 juta rakyat Indonesia dalam status sebagai arsitek timnas sepak bola SEA Games. Bagaimana perasaan Anda?
Jujur, saya merasa terhormat dengan posisi ini. Ini kesempatan pertama saya alami membawa peran negara dalam kancah kepelatihan saya. Sebelumnya, saya hanya membawa nama klub-klub.
Kalau ditanya soal beban, saya memaknainya sebagai tanggung jawab. Ini adalah kesempatan saya untuk melakukan yang terbaik yang saya miliki saat ini. Oleh karena itu, saya melaksanakan tugas ini dengan sepenuh hati, dengan kerja keras, usaha maksimal, dan menyusun strategi terbaik yang saya bisa.
Saya begitu yakin, dengan usaha keras, konsisten, dan mengerahkan semua kemampuan, biasanya hasilnya Allah akan memberikan jalan yang terbaik.
Dengan ekspektasi bangsa ini yang demikian besar, Anda terbebani?
Masa seperti itu sudah saya lewati. Jujur, saya pernah harus didampingi seorang psikolog selama tiga minggu saat mendapat tugas menjadi coach Persikota Tangerang. Sekarang, setelah cukup punya pengalaman, beban seperti itu sudah lebih mudah saya lewati.
Ada beberapa komentar prestasi atlet Indonesia di SEA Games kali ini mengejutkan. Padahal, ada banyak masalah internal seperti dana yang terlambat turun. Mungkin termasuk pada tim sepak bola. Apakah ini faktor nasionalisme?
Saya rasa, soal nasionalisme itu sudah otomatis, ya. Siapa tidak ingin negaranya menang dalam suatu pertandingan. Khusus untuk tim sepak bola, saya memang merasakan nasionalisme di dada para pemain itu memang berlebih. Terlebih mereka bermain dengan ekspektasi publik yang demikian besar dan di rumah sendiri.
Saya katakan, tim U-23 ini boleh dikatakan direkrut dari pemain cadangan di klubnya masing-masing. Mereka kalah bersaing dengan pemain-pemain asing di klub-klub itu.
Awalnya, kita rekrut 50 orang, lalu mengerucut menjadi 40, kemudian jadi 27 orang. Terakhir, kita akan kurangi lagi menjadi 23 orang saja. Namun, atas dasar keinginan untuk menjadi bagian untuk keharuman bangsa, para pemain minta kepada saya, "Coach, tolong kalau bisa tim ini utuh sampai akhir SEA Games ini. Kami ingin ikut menjadi bagian dari tim untuk bangsa ini," kata mereka.
Padahal, tidak sedikit kendala, termasuk kurang lancarnya pendanaan, tetapi mereka ingin tetap. Itulah mengapa saya menyatakan rasa nasionalisme terasa lebih penting ketimbang sekadar permainan.
Apa pesan penting Anda setiap waktu kepada pemain?
Soal pesan, mungkin justru pada diri para pemain sudah muncul pesan-pesan moral dari dalam diri mereka sendiri. Mereka kerap mengutip data pahit tentang tim sepak bola Indonesia sudah 20 tahun tidak pernah jadi juara SEA Games. Padahal, sebelumnya kita sering menjadi juara.
Meskipun demikian, saya tidak henti memberi motivasi tentang apa yang ingin kita raih dalam perjuangan ini. Dan satu hal yang membanggakan, mereka ingin menorehkan sejarah dengan memecah kebuntuan sebagai juara di cabang sepak bola SEA Games. Ini adalah kehormatan yang muncul dari jiwa korsa setiap pemain.
Artinya, Anda pelatih teknis sekaligus psikolog bagi pemain?
Itu memang otomatis, pelatih juga menjadi psikolog bagi pemain. Kita harus kenal teori dan praktek soal psikologi kepelatihan yang bisa mengakomodasi setiap suasana.
Soal materi tim yang sedang Anda asuh, bagaimana kemampuannya?
Skill anak-anak rata-rata cukup lumayan. Yang menjadi kekurangan adalah jam terbang atau pengalaman bermain di event-event besar.
Sejak awal saya sudah membuat rancangan untuk melakukan 16 kali uji coba. Sepuluh di antaranya friendly match dengan tim-tim di luar negeri. Namun, dengan berbagai kendala, seperti tidak keluar terbitnya visa dan kesiapan tim lawan, akhirnya hanya tiga kali yang terlaksana.
Kekurangan mengikuti pertandingan di level internasional ini dampaknya saya rasakan ketika bermain lawan Malaysia kemarin. Beberapa pemain yang saya turunkan terkesan gugup dan melakukan kesalahan yang seharusnya tidak terjadi, meskipun di babak kedua sudah bisa diatasi.
Nah, itu adalah dampak dari kurangnya pemain kita di event-event besar bisa terlihat sekarang. Terlebih dengan ekspektasi penonton yang amat tinggi, jumlahnya demikian banyak dan gegap gempita. Pengalaman ini penting sekali.
Soal lawan Malaysia kemarin, seolah Anda kurang memahami pskologi publik yang menaruh harap demikian besar dengan tidak menurunkan tim inti?
Untuk diketahui publik, target dari seluruh rangkaian pertandingan pada SEA Games ini bukan sekadar kemenangan, tetapi medali emas. Jadi, semua harus pakai strategi.
Soal kekalahan melawan Malaysia, tentu itu mengecewakan. Siapa yang tak kecewa ketika kalah. Tetapi, ada pertimbangan lain mengapa saya menurunkan tim itu. Sebab, kami punya jadwal pertandingan di semifinal dengan masa recovery yang demikian pendek.
Sementara empat pemain kami punya akumulasi kartu kuning yang membahayakan posisinya jika terjadi kartu kuning tambahan di laga itu. Sekali lagi, kita bukan sekadar ingin menang, tetapi sedang berjuang merebut medali emas.
Soal strategi itu, apakah Anda sudah lapor kepada pemangku kepentingan dan juga menjelaskan kepada publik?
Saya tidak perlu melapor, meskipun itu saya anggap penting tidak penting. Tetapi faktanya, saya dengar dari media, komentar-komentar soal strategi yang saya pakai ini cukup terserap dengan baik. Artinya, pertimbangan ini sudah dengan perhitungan yang seksama.
Ke soal sepak bola secara umum, ada orang yang menyebut, "Mencari 11 orang dari 240 juta penduduk kok enggak bisa". Sebenarnya, apa sih problem kita?
Saya kira tidak bisa seperti itu. Kalau saya komparasi dengan China dengan penduduk 1 miliar, sampai saat ini prestasi sepak bolanya juga tidak serta merta baik dan lolos Piala Dunia, hehehe. Tentu, ini sekadar jawaban guyon. Tetapi, yang pasti kita butuh banyak perbaikan jika ingin mengejar ketertinggalan ini.
Perbaikan apa yang paling krusial?
Kita masih belum mengembangkan apa yang disebut sport scince. Sepak bola kita masih berjalan secara konvensional, belum semodern negara-negara yang sudah maju sepak bolanya.
Soal materi pemain, kita tidak kurang, banyak yang bagus-bagus. Tetapi, setidaknya saya melihat ada empat pilar yang mesti diperbaiki.
Pertama, kualitas kompetisi yang harus lebih banyak dan skup lebih luas. Kedua, sarana prasarana yang lebih memadai. Ketiga, youth development atau pembinaan pemain-pemain muda secara sistematis. Dan keempat adalah coach education atau pengetahuan pelatih.
Anda pelatih, sementara catatan Anda adalah soal coach education. Apa sebenarnya yang Anda rasakan?
Ya, kita kurang memberi perhatian kepada kemampuan pelatih. Jumlah pelatih kita cukup banyak, tetapi kebanyakan melatih dengan otodidak. Itu bukan tanpa sebab. Karena untuk mendapatkan pendidikan kepelatihan juga tidak murah, dan tidak banyak pihak yang mau membiayai. Sebagai contoh, waktu mengikuti pendidikan di Jerman, saya pakai biaya sendiri.
Soal kualitas kompetisi, event yang saat ini masih kurang?
Ya, masih kurang. Untuk suatu tim yang baik, minimal melakoni 34 kali pertandingan resmi. Dan itu tidak didapatkan di sini.
Soal orang Lampung, apa komentar Anda tentang sepak bola di Lampung?
Jujur, saya bangga menjadi orang Lampung. Saya melihat potensi Lampung sangat bagus untuk berkembang sepak bolanya.
Tidak usah jauh-jauh, saya melihat di kampung saya sendiri di Tanggulangin, Punggur, Lampung Tengah. Di situ cukup banyak pemain potensial. Saya boleh menyebut beberapa nama yang saat ini bermain di PSSI junior.
Ada Sanikem, Jarwo, Yitno, Kawit, dan beberapa nama lagi. Ada lagi Purwaka Yudi, anak Batanghari, Lampung Timur. Persoalannya adalah kita tidak menggarapnya dengan serius untuk Lampung sendiri.
Baik, saat ini Anda sedang di puncak perhatian publik sepak bola Tanah Air. Apa yang bisa Anda sumbangkan untuk Lampung?
Beberapa tahun lalu saya punya kompetisi di kampung saya dan saya beri nama Radar Cup, singkatan dari Rahmad Darmawan Cup. Jumlah pesertanya banyak, penontonnya ramai, dan terlihat kualitas permainannya juga bagus-bagus. Sayangnya, kemudian ada tangan-tangan lain di luar sepak bola yang mau ikut masuk. Padahal, saya hanya ingin memajukan sepak bola, makanya saya tinggalkan.
Ada rencana lain?
Tentu ada obsesi. Saya ingin suatu saat saya mendirikan sekolah sepak bola di kampung saya. Tetapi dengan jadwal yang ketat seperti sekarang ini, juga saya masih bertanggung jawab dengan program Indonesia Prima di Bandung dengan 900 siswa, keinginan saya itu belum bisa sekarang.
Seberapa sering Anda pulang ke Lampung?
Sering. Ibu saya masih di Lampung, kakak-kakak saya juga di sana. Jadi, sering ke Lampung.
Apa pesan Anda untuk pelaku sepak bola di Lampung?
Ya, kita harus sadari sepak bola di kemudian hari seperti yang terjadi di luar negeri, bisa menjadi industri. Jadi, jangan remehkan sepak bola. Saya sangat berharap Lampung menjadi bagian dari industri sepak bola itu.
BIODATA
Nama: Rahmad Darmawan
Lahir: Dinda Eti Yuliawati
Anak: 1. Febia Aldina Darmawan
2. Ravaldi A. Darmawan
Alamat: Ligamas Regency Blok D2/I Karawaci, Tangerang
Karier pelatih:
- Asisten Pelatih Timbas Piala Tiger 2002
- Pelatih Persikota, 2003
- Pelatih Persipura, 2005
- Pelatih Persija, 2006
- Pelatih Sriwijaya FC, 2007
- Pelatih Persija Jakarta, 2010
- Pelatih Timnas U-23 SEA Games 2011
Prestasi
- Juara Liga Indonesia bersama Persipura
- Juara Copa Indonesia bersama Sriwijaya FC
- Juara Liga Indonesia bersama Sriwijaya FC
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 November 2011
Kamis malam (17-11), tim sepak bola Indonesia berjibaku meladeni permainan Malaysia pada babak penyisihan SEA Games XXVI di Jakarta. Saat susunan pemain dirilis, penonton di Gelora Bung Karno dan pemirsa televisi seluruh negeri menahan napas. Sebab, beberapa pemain kunci tidak diturunkan. Dan benar, babak pertama Indonesia kecolongan satu gol. Selain itu, permainan kita juga tidak berkembang.
Di kursi ofisial, Rahmad Darmawan terlihat tegang. Hingga akhir pertandingan, meskipun Timnas Indonesia mulai menunjukkan performa yang baik, timnas tidak mampu membalas kekalahan.
Mengapa kita "rela" kalah dari Malaysia yang notabene adalah musuh bebuyutan? Bagaimana strategi yang diterapkan pelatih kelahiran Tanggulangin, Punggur, Lampung Tengah, itu dalam laga ini? Berikut petikan wawancara khusus Sudarmono dari Lampung Post dengan Rahmad Darmawan melalui telepon di sela-sela persiapan menghadapi Vietnam, Jumat malam (18-11).
Saat ini Anda sedang menjadi sorotan 240 juta rakyat Indonesia dalam status sebagai arsitek timnas sepak bola SEA Games. Bagaimana perasaan Anda?
Jujur, saya merasa terhormat dengan posisi ini. Ini kesempatan pertama saya alami membawa peran negara dalam kancah kepelatihan saya. Sebelumnya, saya hanya membawa nama klub-klub.
Kalau ditanya soal beban, saya memaknainya sebagai tanggung jawab. Ini adalah kesempatan saya untuk melakukan yang terbaik yang saya miliki saat ini. Oleh karena itu, saya melaksanakan tugas ini dengan sepenuh hati, dengan kerja keras, usaha maksimal, dan menyusun strategi terbaik yang saya bisa.
Saya begitu yakin, dengan usaha keras, konsisten, dan mengerahkan semua kemampuan, biasanya hasilnya Allah akan memberikan jalan yang terbaik.
Dengan ekspektasi bangsa ini yang demikian besar, Anda terbebani?
Masa seperti itu sudah saya lewati. Jujur, saya pernah harus didampingi seorang psikolog selama tiga minggu saat mendapat tugas menjadi coach Persikota Tangerang. Sekarang, setelah cukup punya pengalaman, beban seperti itu sudah lebih mudah saya lewati.
Ada beberapa komentar prestasi atlet Indonesia di SEA Games kali ini mengejutkan. Padahal, ada banyak masalah internal seperti dana yang terlambat turun. Mungkin termasuk pada tim sepak bola. Apakah ini faktor nasionalisme?
Saya rasa, soal nasionalisme itu sudah otomatis, ya. Siapa tidak ingin negaranya menang dalam suatu pertandingan. Khusus untuk tim sepak bola, saya memang merasakan nasionalisme di dada para pemain itu memang berlebih. Terlebih mereka bermain dengan ekspektasi publik yang demikian besar dan di rumah sendiri.
Saya katakan, tim U-23 ini boleh dikatakan direkrut dari pemain cadangan di klubnya masing-masing. Mereka kalah bersaing dengan pemain-pemain asing di klub-klub itu.
Awalnya, kita rekrut 50 orang, lalu mengerucut menjadi 40, kemudian jadi 27 orang. Terakhir, kita akan kurangi lagi menjadi 23 orang saja. Namun, atas dasar keinginan untuk menjadi bagian untuk keharuman bangsa, para pemain minta kepada saya, "Coach, tolong kalau bisa tim ini utuh sampai akhir SEA Games ini. Kami ingin ikut menjadi bagian dari tim untuk bangsa ini," kata mereka.
Padahal, tidak sedikit kendala, termasuk kurang lancarnya pendanaan, tetapi mereka ingin tetap. Itulah mengapa saya menyatakan rasa nasionalisme terasa lebih penting ketimbang sekadar permainan.
Apa pesan penting Anda setiap waktu kepada pemain?
Soal pesan, mungkin justru pada diri para pemain sudah muncul pesan-pesan moral dari dalam diri mereka sendiri. Mereka kerap mengutip data pahit tentang tim sepak bola Indonesia sudah 20 tahun tidak pernah jadi juara SEA Games. Padahal, sebelumnya kita sering menjadi juara.
Meskipun demikian, saya tidak henti memberi motivasi tentang apa yang ingin kita raih dalam perjuangan ini. Dan satu hal yang membanggakan, mereka ingin menorehkan sejarah dengan memecah kebuntuan sebagai juara di cabang sepak bola SEA Games. Ini adalah kehormatan yang muncul dari jiwa korsa setiap pemain.
Artinya, Anda pelatih teknis sekaligus psikolog bagi pemain?
Itu memang otomatis, pelatih juga menjadi psikolog bagi pemain. Kita harus kenal teori dan praktek soal psikologi kepelatihan yang bisa mengakomodasi setiap suasana.
Soal materi tim yang sedang Anda asuh, bagaimana kemampuannya?
Skill anak-anak rata-rata cukup lumayan. Yang menjadi kekurangan adalah jam terbang atau pengalaman bermain di event-event besar.
Sejak awal saya sudah membuat rancangan untuk melakukan 16 kali uji coba. Sepuluh di antaranya friendly match dengan tim-tim di luar negeri. Namun, dengan berbagai kendala, seperti tidak keluar terbitnya visa dan kesiapan tim lawan, akhirnya hanya tiga kali yang terlaksana.
Kekurangan mengikuti pertandingan di level internasional ini dampaknya saya rasakan ketika bermain lawan Malaysia kemarin. Beberapa pemain yang saya turunkan terkesan gugup dan melakukan kesalahan yang seharusnya tidak terjadi, meskipun di babak kedua sudah bisa diatasi.
Nah, itu adalah dampak dari kurangnya pemain kita di event-event besar bisa terlihat sekarang. Terlebih dengan ekspektasi penonton yang amat tinggi, jumlahnya demikian banyak dan gegap gempita. Pengalaman ini penting sekali.
Soal lawan Malaysia kemarin, seolah Anda kurang memahami pskologi publik yang menaruh harap demikian besar dengan tidak menurunkan tim inti?
Untuk diketahui publik, target dari seluruh rangkaian pertandingan pada SEA Games ini bukan sekadar kemenangan, tetapi medali emas. Jadi, semua harus pakai strategi.
Soal kekalahan melawan Malaysia, tentu itu mengecewakan. Siapa yang tak kecewa ketika kalah. Tetapi, ada pertimbangan lain mengapa saya menurunkan tim itu. Sebab, kami punya jadwal pertandingan di semifinal dengan masa recovery yang demikian pendek.
Sementara empat pemain kami punya akumulasi kartu kuning yang membahayakan posisinya jika terjadi kartu kuning tambahan di laga itu. Sekali lagi, kita bukan sekadar ingin menang, tetapi sedang berjuang merebut medali emas.
Soal strategi itu, apakah Anda sudah lapor kepada pemangku kepentingan dan juga menjelaskan kepada publik?
Saya tidak perlu melapor, meskipun itu saya anggap penting tidak penting. Tetapi faktanya, saya dengar dari media, komentar-komentar soal strategi yang saya pakai ini cukup terserap dengan baik. Artinya, pertimbangan ini sudah dengan perhitungan yang seksama.
Ke soal sepak bola secara umum, ada orang yang menyebut, "Mencari 11 orang dari 240 juta penduduk kok enggak bisa". Sebenarnya, apa sih problem kita?
Saya kira tidak bisa seperti itu. Kalau saya komparasi dengan China dengan penduduk 1 miliar, sampai saat ini prestasi sepak bolanya juga tidak serta merta baik dan lolos Piala Dunia, hehehe. Tentu, ini sekadar jawaban guyon. Tetapi, yang pasti kita butuh banyak perbaikan jika ingin mengejar ketertinggalan ini.
Perbaikan apa yang paling krusial?
Kita masih belum mengembangkan apa yang disebut sport scince. Sepak bola kita masih berjalan secara konvensional, belum semodern negara-negara yang sudah maju sepak bolanya.
Soal materi pemain, kita tidak kurang, banyak yang bagus-bagus. Tetapi, setidaknya saya melihat ada empat pilar yang mesti diperbaiki.
Pertama, kualitas kompetisi yang harus lebih banyak dan skup lebih luas. Kedua, sarana prasarana yang lebih memadai. Ketiga, youth development atau pembinaan pemain-pemain muda secara sistematis. Dan keempat adalah coach education atau pengetahuan pelatih.
Anda pelatih, sementara catatan Anda adalah soal coach education. Apa sebenarnya yang Anda rasakan?
Ya, kita kurang memberi perhatian kepada kemampuan pelatih. Jumlah pelatih kita cukup banyak, tetapi kebanyakan melatih dengan otodidak. Itu bukan tanpa sebab. Karena untuk mendapatkan pendidikan kepelatihan juga tidak murah, dan tidak banyak pihak yang mau membiayai. Sebagai contoh, waktu mengikuti pendidikan di Jerman, saya pakai biaya sendiri.
Soal kualitas kompetisi, event yang saat ini masih kurang?
Ya, masih kurang. Untuk suatu tim yang baik, minimal melakoni 34 kali pertandingan resmi. Dan itu tidak didapatkan di sini.
Soal orang Lampung, apa komentar Anda tentang sepak bola di Lampung?
Jujur, saya bangga menjadi orang Lampung. Saya melihat potensi Lampung sangat bagus untuk berkembang sepak bolanya.
Tidak usah jauh-jauh, saya melihat di kampung saya sendiri di Tanggulangin, Punggur, Lampung Tengah. Di situ cukup banyak pemain potensial. Saya boleh menyebut beberapa nama yang saat ini bermain di PSSI junior.
Ada Sanikem, Jarwo, Yitno, Kawit, dan beberapa nama lagi. Ada lagi Purwaka Yudi, anak Batanghari, Lampung Timur. Persoalannya adalah kita tidak menggarapnya dengan serius untuk Lampung sendiri.
Baik, saat ini Anda sedang di puncak perhatian publik sepak bola Tanah Air. Apa yang bisa Anda sumbangkan untuk Lampung?
Beberapa tahun lalu saya punya kompetisi di kampung saya dan saya beri nama Radar Cup, singkatan dari Rahmad Darmawan Cup. Jumlah pesertanya banyak, penontonnya ramai, dan terlihat kualitas permainannya juga bagus-bagus. Sayangnya, kemudian ada tangan-tangan lain di luar sepak bola yang mau ikut masuk. Padahal, saya hanya ingin memajukan sepak bola, makanya saya tinggalkan.
Ada rencana lain?
Tentu ada obsesi. Saya ingin suatu saat saya mendirikan sekolah sepak bola di kampung saya. Tetapi dengan jadwal yang ketat seperti sekarang ini, juga saya masih bertanggung jawab dengan program Indonesia Prima di Bandung dengan 900 siswa, keinginan saya itu belum bisa sekarang.
Seberapa sering Anda pulang ke Lampung?
Sering. Ibu saya masih di Lampung, kakak-kakak saya juga di sana. Jadi, sering ke Lampung.
Apa pesan Anda untuk pelaku sepak bola di Lampung?
Ya, kita harus sadari sepak bola di kemudian hari seperti yang terjadi di luar negeri, bisa menjadi industri. Jadi, jangan remehkan sepak bola. Saya sangat berharap Lampung menjadi bagian dari industri sepak bola itu.
BIODATA
Nama: Rahmad Darmawan
Lahir: Dinda Eti Yuliawati
Anak: 1. Febia Aldina Darmawan
2. Ravaldi A. Darmawan
Alamat: Ligamas Regency Blok D2/I Karawaci, Tangerang
Karier pelatih:
- Asisten Pelatih Timbas Piala Tiger 2002
- Pelatih Persikota, 2003
- Pelatih Persipura, 2005
- Pelatih Persija, 2006
- Pelatih Sriwijaya FC, 2007
- Pelatih Persija Jakarta, 2010
- Pelatih Timnas U-23 SEA Games 2011
Prestasi
- Juara Liga Indonesia bersama Persipura
- Juara Copa Indonesia bersama Sriwijaya FC
- Juara Liga Indonesia bersama Sriwijaya FC
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 November 2011
[Desain] Tapis ‘Easy to Wear’
TANTANGAN terberat untuk membuat kain tapis menjadi busana kasual tidak hanya dari jenis kainnya yang kaku, tapi juga lapisan benang emas yang tebal. Hal ini membuat tapis identik dengan kain yang berat dan ribet, sehingga tapis hanya digunakan pada momen-momen tertentu.
Namun, di tangan Dee Ong dan Zea, kain tapis bermetamorfosis menjadi busana kasual dan easy to wear. Dee Ong yang bernama asli Diana Safitri ini memang baru satu tahun merambah dunia fashion. Tapi, kepiawaiannya mendesain kain tradisional menjadi busana-busana siap pakai melejitkan namanya ke fashion dunia.
Siapa yang tidak kenal dengan koleksi batik 118 rancangan Dee Ong? Saat ini koleksi batiknya terus diburu para fashionista mancanegara.
Sukses dengan batik, Dee Ong ditantang untuk mempopulerkan tapis melalui ajang Jakarta Fashion Week (JFW)yang berlangsung pada 12—18 November kemarin. Lampung Post diundang langsung oleh Dee Ong untuk menyaksikan busana-busana rancangannya. Enam busana kasual kain khas Lampung rancangan Dee mengundang decak kagum pengunjung JFW.
Menurut Dee, paduan yang pas untuk tapis adalah kebaya. Salah satu koleksi tapisnya yang ditampilkan di JFW berupa kebaya hitam bahan brokat yang dipadu tapis melingkari pinggang. Kreasi tapis ini mirip ikat pinggang, tetapi menyatu dengan kebaya. Gaun ini sangat anggun dipakai untuk menghadiri dinner party.
Dee juga mampu menyulap tapis menjadi coat yang manis. Coat yang tidak terlalu panjang itu dipadukan dengan legging. Sangat pas digunakan untuk hang out bersama teman-teman. Empat busana lainnya berupa cocktail dress yang sangat kasual. Minidrees tapis dipadu dengan rok pendek yang modis.
Menurut Dee, ketertarikannya pada dunia fashion berawal dari kecintaannya pada budaya Indonesia. Selain itu, Dee mengaku sedikit “centil”, dia suka mendesain busana-busana agak terbuka yang tidak malu-malu memperlihatkan keindahan bahu dan kaki nan jenjang. Kecintaan pada budaya Indonesia dan kecentilannya itu mengantarkan Dee menjadi desainer andal.
“Sebenarnya saya lebih senang disebut budayawan karena sebenarnya semuanya ini diawali dari rasa cinta saya terhadap budaya Indonesia. Tapi karena saya suka menggambar sejak kecil, terus saya agak centil juga, suka mendesain busana-busana yang modis, akhirnya suami saya mendorong saya untuk menjadi desainer,” ujar Dee saat ditemui di JFW, Minggu (13-11).
Pada ajang fashion Indonesia ini, Dee merangkul desainer muda asal Lampung Ziggy Zeaoryzabrizkie atau akrab disapa Zea. Dari Zea, Dee belajar banyak tentang kain tapis.
Pada kesempatan ini, Zea juga menampilkan lima busana tapis rancangannya. Kelimanya berupa busana cocktail dress. Zea memadukan tapis dan kain katun. Menurut Zea, untuk busana kasual, katun lebih pas dan nyaman di tubuh. Salah satu rancangan Zea adalah minidrees berwarna merah marun.
Bagian bahu dihiasi dengan tapis emas bermotif pucuk rebung, sedangkan bagian dada menampakkan siluet tapis. Warna cokelat tua mendominasi busana rancangan Zea. Zea tidak memadati busana-busana rancangannya dengan tapis, tetapi sentuhan tapis pada bagian bahu, tengah, dan kiri-kanan tubuh menjadikan busana ini sangat nyaman dipakai.
“Sebenarnya kain tapis itu tidak berat, tapi memang sedikit kaku. Yang membuat tapis terasa berat adalah benang emasnya yang harus diisi kain katun saat menyulamnya,” ujar Zea.
Karena itu, Zea melakukan inovasi pada teknik sulamannya, misalnya dengan mengurangi kain katun atau benang emas di sulaman tapis, sehingga kain tapis menjadi lebih ringan dan tidak terlalu kaku. Untuk menyeimbangkan kesan kaku itu, Zea memilih memadukan tapis dengan katun, sifon, dan sutra.
Hmm, melihat busana-busana rancangan Dee dan Zea, tampaknya tidak akan ada lagi anak-anak muda, terutama anak muda Lampung, yang enggan menggunakan tapis. Kasual dan sangat keren! (M-2)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 November 2011
Namun, di tangan Dee Ong dan Zea, kain tapis bermetamorfosis menjadi busana kasual dan easy to wear. Dee Ong yang bernama asli Diana Safitri ini memang baru satu tahun merambah dunia fashion. Tapi, kepiawaiannya mendesain kain tradisional menjadi busana-busana siap pakai melejitkan namanya ke fashion dunia.
Siapa yang tidak kenal dengan koleksi batik 118 rancangan Dee Ong? Saat ini koleksi batiknya terus diburu para fashionista mancanegara.
Sukses dengan batik, Dee Ong ditantang untuk mempopulerkan tapis melalui ajang Jakarta Fashion Week (JFW)yang berlangsung pada 12—18 November kemarin. Lampung Post diundang langsung oleh Dee Ong untuk menyaksikan busana-busana rancangannya. Enam busana kasual kain khas Lampung rancangan Dee mengundang decak kagum pengunjung JFW.
Menurut Dee, paduan yang pas untuk tapis adalah kebaya. Salah satu koleksi tapisnya yang ditampilkan di JFW berupa kebaya hitam bahan brokat yang dipadu tapis melingkari pinggang. Kreasi tapis ini mirip ikat pinggang, tetapi menyatu dengan kebaya. Gaun ini sangat anggun dipakai untuk menghadiri dinner party.
Dee juga mampu menyulap tapis menjadi coat yang manis. Coat yang tidak terlalu panjang itu dipadukan dengan legging. Sangat pas digunakan untuk hang out bersama teman-teman. Empat busana lainnya berupa cocktail dress yang sangat kasual. Minidrees tapis dipadu dengan rok pendek yang modis.
Menurut Dee, ketertarikannya pada dunia fashion berawal dari kecintaannya pada budaya Indonesia. Selain itu, Dee mengaku sedikit “centil”, dia suka mendesain busana-busana agak terbuka yang tidak malu-malu memperlihatkan keindahan bahu dan kaki nan jenjang. Kecintaan pada budaya Indonesia dan kecentilannya itu mengantarkan Dee menjadi desainer andal.
“Sebenarnya saya lebih senang disebut budayawan karena sebenarnya semuanya ini diawali dari rasa cinta saya terhadap budaya Indonesia. Tapi karena saya suka menggambar sejak kecil, terus saya agak centil juga, suka mendesain busana-busana yang modis, akhirnya suami saya mendorong saya untuk menjadi desainer,” ujar Dee saat ditemui di JFW, Minggu (13-11).
Pada ajang fashion Indonesia ini, Dee merangkul desainer muda asal Lampung Ziggy Zeaoryzabrizkie atau akrab disapa Zea. Dari Zea, Dee belajar banyak tentang kain tapis.
Pada kesempatan ini, Zea juga menampilkan lima busana tapis rancangannya. Kelimanya berupa busana cocktail dress. Zea memadukan tapis dan kain katun. Menurut Zea, untuk busana kasual, katun lebih pas dan nyaman di tubuh. Salah satu rancangan Zea adalah minidrees berwarna merah marun.
Bagian bahu dihiasi dengan tapis emas bermotif pucuk rebung, sedangkan bagian dada menampakkan siluet tapis. Warna cokelat tua mendominasi busana rancangan Zea. Zea tidak memadati busana-busana rancangannya dengan tapis, tetapi sentuhan tapis pada bagian bahu, tengah, dan kiri-kanan tubuh menjadikan busana ini sangat nyaman dipakai.
“Sebenarnya kain tapis itu tidak berat, tapi memang sedikit kaku. Yang membuat tapis terasa berat adalah benang emasnya yang harus diisi kain katun saat menyulamnya,” ujar Zea.
Karena itu, Zea melakukan inovasi pada teknik sulamannya, misalnya dengan mengurangi kain katun atau benang emas di sulaman tapis, sehingga kain tapis menjadi lebih ringan dan tidak terlalu kaku. Untuk menyeimbangkan kesan kaku itu, Zea memilih memadukan tapis dengan katun, sifon, dan sutra.
Hmm, melihat busana-busana rancangan Dee dan Zea, tampaknya tidak akan ada lagi anak-anak muda, terutama anak muda Lampung, yang enggan menggunakan tapis. Kasual dan sangat keren! (M-2)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 November 2011
[Perjalanan] Galaxy Waterpark, Oasis di Way Kanan
ALAM dengan lahan yang luas bagi Kabupaten Way Kanan belum memberikan kesejukan bagi penduduknya untuk mendapat rasa segar di pikiran. Mereka butuh sarana hiburan bukan sekadar alam, melainkan alam artifisial seperti yang dilihat di media massa.
Kampung Gunungbaru, Kecamatan Gununglabuhan, Way Kanan. Daerah ini dikenal dengan hasil bumi berupa lada dan kopinya. Namun, di sisi gelap, wilayah ini juga dikenal kurang aman.
Kini kesan buruk itu mulai berkurang. Bahkan, suasana ceria dan ramah terus berkembang seiring kesadaran bahwa hidup memang butuh hiburan yang sehat. Dan satu wahana hiburan berbasis petualangan air yang hadir di sini menjadi oasis yang mengubah pola pikir penduduknya.
Galaxy Water Adventure, demikian nama wahana itu. Syahdan, selain nama itu yang terpampang di etalase, tulisan besar di depan venue berbeda lagi, yakni “The Adventure of Indiana Jones, Water Park”.
Entahlah, tapi kehadiran sarana rekreasi keluarga yang cukup lumayan di satu kabupaten ini memberi arti luas. Warga yang suntuk bisa mandi di kolam jernih sedalam 120 cm, kolam bermain sedalam 80 cm, dan kolam anak-anak berliuk-liuk. Juga bisa berseluncur di waterboom yang meliuk setinggi sekitar 110 meter.
Wahana-wahana milik dr. Widodo yang dibangun dengan menyulap kebun kelapa sawit di ceruk jurang seluas 5 hektare itu dirancang cukup baik. Selain dibuat dengan material standar, arsitek wahana juga cukup pandai memadukan berbagai fasilitas.
Kolam dan waterboom ada di ceruk tebing. Di atasnya dibangun kafe dengan latar cukup luas yang dapat dipasang tenda untuk acara. Sedangkan pondokan-pondokan bisa dimanfaatkan untuk bersantai.
Ada batuan stalaktit buatan di ujung ceruk yang seolah mengalirkan air ke kolam-kolam.
Di atasnya, tali-temali seling terikat kuat di pohon bersambung dengan bagian bawah yang dimaksudkan untuk wahana flying fox.
Sementara di pinggir-pinggir wahana terdapat “jalur tikus” selebar 1 meter yang berkelok-kelok menembus lokasi. Jalur itu adalah track ATV yang bisa disewa seharga Rp15 ribu untuk dua lap atau putaran.
Di bagian bawah, kebun kelapa sawit dan pepohonan lain masih membelukar. Namun, bagian bawahnya cukup bersih dan dapat digunakan untuk berkemah. Juga ada kolam-kolam yang di atasnya dibuat gazebo-gazebo untuk bersantai sekaligus bersantap bersama keluarga. “Untuk sementara, pondok-pondok itu masih gratis,” kata Arfan, wakil direktur tempat hiburan itu.
Untuk masuk lokasi yang berada sekitar 100 meter dari jalinsum Way Kanan ini, tiketnya cuma Rp20 ribu. Dengan tiket itu, semua wahana, kecuali ATV, bisa dinikmati pengunjung.
“Pengunjungnya banyak dari Bukitkemuning, Baradatu, Blambangan Umpu, Kotabumi, dan daerah sekitarnya, karena lokasinya memang lebih dekat dengan Bukitkemuning dibandingkan dengan Blambangan Umpu. Tetapi ada juga yang dari Baturaja, Belitang, dan Bandarjaya,” kata Arfan.
Sarana hiburan keluarga yang hadir sejak Ramadan lalu itu cukup mengubah suasana kampung. Jika dulu daerah itu terkesan seram, ujar Arfan, kini masyarakatnya lebih ramah dan tidak pernah mengganggu. “Ini imbas positif bagi kami warga sekitar,” kata dia. (SUDARMONO)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 November 2011
Kampung Gunungbaru, Kecamatan Gununglabuhan, Way Kanan. Daerah ini dikenal dengan hasil bumi berupa lada dan kopinya. Namun, di sisi gelap, wilayah ini juga dikenal kurang aman.
Kini kesan buruk itu mulai berkurang. Bahkan, suasana ceria dan ramah terus berkembang seiring kesadaran bahwa hidup memang butuh hiburan yang sehat. Dan satu wahana hiburan berbasis petualangan air yang hadir di sini menjadi oasis yang mengubah pola pikir penduduknya.
Galaxy Water Adventure, demikian nama wahana itu. Syahdan, selain nama itu yang terpampang di etalase, tulisan besar di depan venue berbeda lagi, yakni “The Adventure of Indiana Jones, Water Park”.
Entahlah, tapi kehadiran sarana rekreasi keluarga yang cukup lumayan di satu kabupaten ini memberi arti luas. Warga yang suntuk bisa mandi di kolam jernih sedalam 120 cm, kolam bermain sedalam 80 cm, dan kolam anak-anak berliuk-liuk. Juga bisa berseluncur di waterboom yang meliuk setinggi sekitar 110 meter.
Wahana-wahana milik dr. Widodo yang dibangun dengan menyulap kebun kelapa sawit di ceruk jurang seluas 5 hektare itu dirancang cukup baik. Selain dibuat dengan material standar, arsitek wahana juga cukup pandai memadukan berbagai fasilitas.
Kolam dan waterboom ada di ceruk tebing. Di atasnya dibangun kafe dengan latar cukup luas yang dapat dipasang tenda untuk acara. Sedangkan pondokan-pondokan bisa dimanfaatkan untuk bersantai.
Ada batuan stalaktit buatan di ujung ceruk yang seolah mengalirkan air ke kolam-kolam.
Di atasnya, tali-temali seling terikat kuat di pohon bersambung dengan bagian bawah yang dimaksudkan untuk wahana flying fox.
Sementara di pinggir-pinggir wahana terdapat “jalur tikus” selebar 1 meter yang berkelok-kelok menembus lokasi. Jalur itu adalah track ATV yang bisa disewa seharga Rp15 ribu untuk dua lap atau putaran.
Di bagian bawah, kebun kelapa sawit dan pepohonan lain masih membelukar. Namun, bagian bawahnya cukup bersih dan dapat digunakan untuk berkemah. Juga ada kolam-kolam yang di atasnya dibuat gazebo-gazebo untuk bersantai sekaligus bersantap bersama keluarga. “Untuk sementara, pondok-pondok itu masih gratis,” kata Arfan, wakil direktur tempat hiburan itu.
Untuk masuk lokasi yang berada sekitar 100 meter dari jalinsum Way Kanan ini, tiketnya cuma Rp20 ribu. Dengan tiket itu, semua wahana, kecuali ATV, bisa dinikmati pengunjung.
“Pengunjungnya banyak dari Bukitkemuning, Baradatu, Blambangan Umpu, Kotabumi, dan daerah sekitarnya, karena lokasinya memang lebih dekat dengan Bukitkemuning dibandingkan dengan Blambangan Umpu. Tetapi ada juga yang dari Baturaja, Belitang, dan Bandarjaya,” kata Arfan.
Sarana hiburan keluarga yang hadir sejak Ramadan lalu itu cukup mengubah suasana kampung. Jika dulu daerah itu terkesan seram, ujar Arfan, kini masyarakatnya lebih ramah dan tidak pernah mengganggu. “Ini imbas positif bagi kami warga sekitar,” kata dia. (SUDARMONO)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 November 2011
November 18, 2011
[Sarasehan] Mencari Sosok Tokoh dan Pahlawan Lampung
MENETAPKAN seseorang menjadi tokoh atau pahlawan tidaklah mudah. Perlu definisi dan kriteria yang jelas agar seseorang itu bisa diterima secara umum menjadi tokoh atau pahlawan.
Definisi dan kriteria tokoh dan pahlawan daerah itu dikupas dalam sarasehan sehari yang digelar Pemprov Lampung bekerja sama dengan Harian Umum Lampung Post, Kamis (17-11). Sebanyak lima narasumber yang dipandu akademisi dari Universitas Lampung Syafaruddin mencoba mengupas definisi dan kriteria ketokohan dan kepahlawanan dari daerah.
Kelima narasumber itu adalah guru besar IAIN Raden Intan Bandar Lampung Fauzi Nurdin, sejarawan dari Unila Maskun, Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat, akademisi dari Unila Arizka Warganegara, dan jurnalis Oyos Saroso H.N.
Saat memaparkan definisi dan kriteria tokoh dan pahlawan daerah, Fauzi Nurdin yang mencoba mengupas dari sisi kajian akademis mengatakan pemberian gelar tokoh dan pahlawan daerah itu perlu dikaji. "Ada semacam bias atau kebohongan jika gelar tokoh atau pahlawan daerah itu diberikan tanpa ada kajian akademis," kata guru besar bidang sosiologi itu.
Karena itu, pengkajian, menurut Fauzi, harus didasarkan pada nilai-nilai akademis, kejujuran, dan kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah diperlukan karena masyarakat secara sosiologis cenderung lebih menyukai pembenaran daripada kebenaran.
"Kebenaran adalah kesesuaian antara yang dipilih dengan fakta yang terjadi. Ketidaksesuaian antara yang dipilih dengan fakta yang terjadi, maka menimbulkan pembenaran. Karena itu, untuk menetapkan seseorang menjadi tokoh atau pahlawan, harus melalui pengkajian kebenaran yang koherensi. Kebenaran ini adalah kesesuaian antara fakta yang terjadi," kata Fauzi.
Secara khusus Fauzi mendefinisikan pahlawan adalah orang yang tetap konsisten melakukan kebenaran dan menegakkan keadilan dalam koridor Negara Republik Indonesia. "Landasan moral juga harus menjadi tolok ukur pemberian gelar pahlawan. Karena itu, diperlukan sikap objektif dan kejujuran dalam menetapkan tokoh pahlawan," ujar dia.
Fauzi dalam pemaparan itu sepakat dibentuknya Dewan Gelar yang akan mengkaji nilai-nilai ketokohan dan kepahlawan dari seseorang. Pada kesimpulan akhir, Fauzi mengungkapkan untuk menilai kepahlawanan seseorang harus melalui tiga tolok ukur, yakni nilai-nilai fundamental seperti keberanian dan kejujuran.
Kemudian tolok ukur kedua adalah instrumental. Perlu adanya alat yang bisa mengukur seseorang itu bisa menjadi tokoh atau pahlawan. Ketiga, tolok ukur fraksis yakni nilai kepahlawanan tidak bisa diukur dengan nilai-nilai materialistis.
Semasa Hidup
Sejarawan dari Unila Maskun mengatakan tidak ada konsep yang baku tentang definisi pahlawan daerah seperti konsep pahlawan nasional. Sebab itu, perlu peraturan daerah (perda) yang bisa mendefinisikan pahlawan daerah itu yang tidak bertentangan dengan Undang Undang Nomor 201 Tahun 2009 tentang Pemberian Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan.
Berdasarkan konsep pahlawan nasional, Maskun mendefinisikan pahlawan adalah orang yang biasa yang tidak egois, baik rakyat jelata, bangsawan, ilmuwan, politisi, militer, maupun sipil yang semasa hidupnya berbuat luar biasa untuk bangsa dan negaranya.
Pahlawan menurut Maskun, yang secara khusus menggarisbawahi frasa “yang semasa hidupnya”, tidak terbatas pada kurun waktu tertentu, serta tidak terbatas pada bidang tertentu, dan juga tidak dibatasi jenis kelamin.
Sedangkan definisi tokoh, Maskun mengadopsi dari kamus online Yahoo Answer. Tokoh adalah seseorang terkemuka atau kenamaan di bidangnya atau seseorang yang memegang peranan penting dalam satu bidang atau aspek kehidupan tertentu dalam masyarakat. Seseorang tersebut berasal, dibesarkan, dan hidup dalam lingkungan masyarakat tertentu.
Dari hal-hal tersebut, Maskun menyampaikan tujuh kriteria pahlawan daerah, yakni pertama warga Lampung yang telah meninggal dunia dan semasa hidupnya berjuang dengan senjata saat perang kemerdekaan, melahirkan gagasan atau pemikiran yang dapat menunjang pembangunan Lampung, serta telah menghasilkan karya besar yang mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat di daerah Lampung.
Kedua, pengabdian dan perjuangan berlangsung hampir sepanjang hidupnya (tidak sesaat). Perjuangannya menjangkau seluruh daerah Lampung. Keempat, memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi. Kelima, memiliki akhlak dan moral yang tinggi, tidak menyerah pada lawan atau musuh dalam perjuangan. Ketujuh, tidak pernah melakukan perbuatan tercela selama hidupnya, yang bisa merusak nilai perjuangan.
Pahlawan Sipil
Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat dalam pemaparannya mengatakan selama ini pemahaman tentang kepahlawanan lebih didominasi oleh Pemerintah Pusat. "Daerah seakan-akan tidak punya hak untuk mengangkat pahlawan. Padahal, lokalitas saat ini sangat penting untuk mengangkat keunggulan daerah-daerah. Karena itu sangat perlu untuk mengangkat tokoh-tokoh daerah dalam kancah nasional untuk memajukan Lampung," ujar Djadjat.
Menurut Djadjat, butuh keberanian mengungkapkan tokoh-tokoh Lampung untuk memajukan daerah dalam kancah nasional dan internasional. "Buku 100 Tokoh yang diterbitkan Lampung Post menjadi titik awal untuk membuka tokoh dan pahlawan yang berjasa di Lampung. Buku ini sebagai pintu masuk mengenal tokoh dan pahlawan Lampung," ujar dia.
Djadjat juga menyinggung definisi pahlawan yang selama ini sangat berbau militeristik. Padahal, 20 sampai 30 tahun ke depan dunia dibangun oleh masyarakat sipil. "Perlu ada rumusan baru, bagaimanakah pemakaman seorang pahlawan itu tidak harus memakai tembakan salvo yang menunjukkan militeristik. Bisa saja pemakaman seorang pahlawan dengan diiringi biola sehingga sangat kentara nilai-nilai sipilnya," ujar dia.
Pergunjingan
Jurnalis Oyos Saroso dalam pemaparannya mengatakan perlu pendifinisian kembali kata pahlawan dan orang-orang yang dianugerahi gelar pahlawan. "Hal ini agar publik mendapat penjelasan tentang orang-orang yang layak dianugerahi gelar pahlawan sehingga tidak menimbulkan pergunjingan. Kedua, agar kepahlawanan memiliki kontekstualitas dengan perkembangan zaman," ujar Oyos.
Secara gamblang Oyos mengatakan kalau Indonesia adalah negeri dengan begitu banyak gelar pahlawan. Ada 156 pahlawan nasional dibandingkan 50 pahlawan di Amerika Serikat.
Pada akhir pemaparannya, Oyos mengatakan jangan sampai orang yang semestinya mendapat gelar pahlawan, tidak masuk karena perbedaan pandangan politik.
Dosen FISIP Unila Arizka Warganegara mengatakan penelusuran sosok pahlawan Lampung menghadapi sejumlah tantangan karena riset lokal Lampung sangat lemah. Praktis jejak Lampung periode 1945—1964 belum tereksplorasi. Sehingga ada kesan Lampung baru muncul pada 1964, padahal jauh sebelumnya Lampung telah memiliki sejarahnya sendiri.
Selain itu, Pemerintah Provinsi maupun kabupaten/kota masih lemah memunculkan simbol-simbol sejarah, misalnya menggunakan nama pahlawan untuk nama jalan, rumah sakit, atau gedung dan fasilitas umum lainnya. "Masih jarang jalan protokol memakai nama pahlawan Lampung," ujarnya.
Arizka mengemukakan sejumlah kriteria pahlawan menurut Kamus Cambridge, Webster, maupun Nobel Price. Dari ketiga sumber tersebut, ia merumuskan empat kriteria pokok pahlawan yakni sosok yang bermanfaat bagi kemanusiaan, inspiratif, dan punya karya. (KIS/IDO)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 18 November 2011
Definisi dan kriteria tokoh dan pahlawan daerah itu dikupas dalam sarasehan sehari yang digelar Pemprov Lampung bekerja sama dengan Harian Umum Lampung Post, Kamis (17-11). Sebanyak lima narasumber yang dipandu akademisi dari Universitas Lampung Syafaruddin mencoba mengupas definisi dan kriteria ketokohan dan kepahlawanan dari daerah.
Kelima narasumber itu adalah guru besar IAIN Raden Intan Bandar Lampung Fauzi Nurdin, sejarawan dari Unila Maskun, Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat, akademisi dari Unila Arizka Warganegara, dan jurnalis Oyos Saroso H.N.
Saat memaparkan definisi dan kriteria tokoh dan pahlawan daerah, Fauzi Nurdin yang mencoba mengupas dari sisi kajian akademis mengatakan pemberian gelar tokoh dan pahlawan daerah itu perlu dikaji. "Ada semacam bias atau kebohongan jika gelar tokoh atau pahlawan daerah itu diberikan tanpa ada kajian akademis," kata guru besar bidang sosiologi itu.
Karena itu, pengkajian, menurut Fauzi, harus didasarkan pada nilai-nilai akademis, kejujuran, dan kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah diperlukan karena masyarakat secara sosiologis cenderung lebih menyukai pembenaran daripada kebenaran.
"Kebenaran adalah kesesuaian antara yang dipilih dengan fakta yang terjadi. Ketidaksesuaian antara yang dipilih dengan fakta yang terjadi, maka menimbulkan pembenaran. Karena itu, untuk menetapkan seseorang menjadi tokoh atau pahlawan, harus melalui pengkajian kebenaran yang koherensi. Kebenaran ini adalah kesesuaian antara fakta yang terjadi," kata Fauzi.
Secara khusus Fauzi mendefinisikan pahlawan adalah orang yang tetap konsisten melakukan kebenaran dan menegakkan keadilan dalam koridor Negara Republik Indonesia. "Landasan moral juga harus menjadi tolok ukur pemberian gelar pahlawan. Karena itu, diperlukan sikap objektif dan kejujuran dalam menetapkan tokoh pahlawan," ujar dia.
Fauzi dalam pemaparan itu sepakat dibentuknya Dewan Gelar yang akan mengkaji nilai-nilai ketokohan dan kepahlawan dari seseorang. Pada kesimpulan akhir, Fauzi mengungkapkan untuk menilai kepahlawanan seseorang harus melalui tiga tolok ukur, yakni nilai-nilai fundamental seperti keberanian dan kejujuran.
Kemudian tolok ukur kedua adalah instrumental. Perlu adanya alat yang bisa mengukur seseorang itu bisa menjadi tokoh atau pahlawan. Ketiga, tolok ukur fraksis yakni nilai kepahlawanan tidak bisa diukur dengan nilai-nilai materialistis.
Semasa Hidup
Sejarawan dari Unila Maskun mengatakan tidak ada konsep yang baku tentang definisi pahlawan daerah seperti konsep pahlawan nasional. Sebab itu, perlu peraturan daerah (perda) yang bisa mendefinisikan pahlawan daerah itu yang tidak bertentangan dengan Undang Undang Nomor 201 Tahun 2009 tentang Pemberian Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan.
Berdasarkan konsep pahlawan nasional, Maskun mendefinisikan pahlawan adalah orang yang biasa yang tidak egois, baik rakyat jelata, bangsawan, ilmuwan, politisi, militer, maupun sipil yang semasa hidupnya berbuat luar biasa untuk bangsa dan negaranya.
Pahlawan menurut Maskun, yang secara khusus menggarisbawahi frasa “yang semasa hidupnya”, tidak terbatas pada kurun waktu tertentu, serta tidak terbatas pada bidang tertentu, dan juga tidak dibatasi jenis kelamin.
Sedangkan definisi tokoh, Maskun mengadopsi dari kamus online Yahoo Answer. Tokoh adalah seseorang terkemuka atau kenamaan di bidangnya atau seseorang yang memegang peranan penting dalam satu bidang atau aspek kehidupan tertentu dalam masyarakat. Seseorang tersebut berasal, dibesarkan, dan hidup dalam lingkungan masyarakat tertentu.
Dari hal-hal tersebut, Maskun menyampaikan tujuh kriteria pahlawan daerah, yakni pertama warga Lampung yang telah meninggal dunia dan semasa hidupnya berjuang dengan senjata saat perang kemerdekaan, melahirkan gagasan atau pemikiran yang dapat menunjang pembangunan Lampung, serta telah menghasilkan karya besar yang mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat di daerah Lampung.
Kedua, pengabdian dan perjuangan berlangsung hampir sepanjang hidupnya (tidak sesaat). Perjuangannya menjangkau seluruh daerah Lampung. Keempat, memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi. Kelima, memiliki akhlak dan moral yang tinggi, tidak menyerah pada lawan atau musuh dalam perjuangan. Ketujuh, tidak pernah melakukan perbuatan tercela selama hidupnya, yang bisa merusak nilai perjuangan.
Pahlawan Sipil
Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat dalam pemaparannya mengatakan selama ini pemahaman tentang kepahlawanan lebih didominasi oleh Pemerintah Pusat. "Daerah seakan-akan tidak punya hak untuk mengangkat pahlawan. Padahal, lokalitas saat ini sangat penting untuk mengangkat keunggulan daerah-daerah. Karena itu sangat perlu untuk mengangkat tokoh-tokoh daerah dalam kancah nasional untuk memajukan Lampung," ujar Djadjat.
Menurut Djadjat, butuh keberanian mengungkapkan tokoh-tokoh Lampung untuk memajukan daerah dalam kancah nasional dan internasional. "Buku 100 Tokoh yang diterbitkan Lampung Post menjadi titik awal untuk membuka tokoh dan pahlawan yang berjasa di Lampung. Buku ini sebagai pintu masuk mengenal tokoh dan pahlawan Lampung," ujar dia.
Djadjat juga menyinggung definisi pahlawan yang selama ini sangat berbau militeristik. Padahal, 20 sampai 30 tahun ke depan dunia dibangun oleh masyarakat sipil. "Perlu ada rumusan baru, bagaimanakah pemakaman seorang pahlawan itu tidak harus memakai tembakan salvo yang menunjukkan militeristik. Bisa saja pemakaman seorang pahlawan dengan diiringi biola sehingga sangat kentara nilai-nilai sipilnya," ujar dia.
Pergunjingan
Jurnalis Oyos Saroso dalam pemaparannya mengatakan perlu pendifinisian kembali kata pahlawan dan orang-orang yang dianugerahi gelar pahlawan. "Hal ini agar publik mendapat penjelasan tentang orang-orang yang layak dianugerahi gelar pahlawan sehingga tidak menimbulkan pergunjingan. Kedua, agar kepahlawanan memiliki kontekstualitas dengan perkembangan zaman," ujar Oyos.
Secara gamblang Oyos mengatakan kalau Indonesia adalah negeri dengan begitu banyak gelar pahlawan. Ada 156 pahlawan nasional dibandingkan 50 pahlawan di Amerika Serikat.
Pada akhir pemaparannya, Oyos mengatakan jangan sampai orang yang semestinya mendapat gelar pahlawan, tidak masuk karena perbedaan pandangan politik.
Dosen FISIP Unila Arizka Warganegara mengatakan penelusuran sosok pahlawan Lampung menghadapi sejumlah tantangan karena riset lokal Lampung sangat lemah. Praktis jejak Lampung periode 1945—1964 belum tereksplorasi. Sehingga ada kesan Lampung baru muncul pada 1964, padahal jauh sebelumnya Lampung telah memiliki sejarahnya sendiri.
Selain itu, Pemerintah Provinsi maupun kabupaten/kota masih lemah memunculkan simbol-simbol sejarah, misalnya menggunakan nama pahlawan untuk nama jalan, rumah sakit, atau gedung dan fasilitas umum lainnya. "Masih jarang jalan protokol memakai nama pahlawan Lampung," ujarnya.
Arizka mengemukakan sejumlah kriteria pahlawan menurut Kamus Cambridge, Webster, maupun Nobel Price. Dari ketiga sumber tersebut, ia merumuskan empat kriteria pokok pahlawan yakni sosok yang bermanfaat bagi kemanusiaan, inspiratif, dan punya karya. (KIS/IDO)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 18 November 2011
[Sarasehan] Pahlawan Harus Setia kepada Pancasila dan NKRI
SARASEHAN mengangkat tokoh dan kepahlawanan daerah Provinsi Lampung mendapat respons positif dari berbagai kalangan. Sejumlah usul pun mengemuka dalam forum.
Semuanya disampaikan untuk melengkapi standar penetapan sosok yang akan dipilih sebagai pahlawan Lampung. Mantan anggota DPRD Lampung dari F-TNI/Polri mengusulkan kriteria pahlawan harus ditambah, yakni setia kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Menurut Heru, saat ini banyak orang yang pintar dan merasa pintar mencoba menghapus sejarah dan mengganti bentuk negera. Padahal, mereka tidak pernah merasakan suka duka memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. "Mereka sekolah di luar negeri, setelah pulang dan merasa pintar ingin mengganti NKRI menjadi negara federasi, UUD 1945 juga diamendemen. Ini sudah tidak benar, jadi ada kriteria yang harus ditambah, yaitu setia kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Empat hal ini harus dijadikan sebagai ukuran kepahlawanan seseorang," ujarnya.
Lain lagi usulan Suripno dari Pepabri. Ia mengusulkan sosialisasi pahlawan dilakukan secara massif. Misalnya, dengan memasang gambar Raden Intan II di pojok atas koran, batik bermotif Raden Intan, serta gambar Raden Intan di buku-buku sekolah. "Dengan cara itu sosialisasi akan lebih efektif dan mudah diingat masyarakat," ujarnya.
Bidang Agama
Sementara itu, Suttan Sjahrir S.Oe mengusulkan Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan yang akan dibentuk harus beranggotakan orang-orang yang memahami benar sejarah Lampung. Pemilihan anggota dewan tersebut juga harus didasarkan pada sosok yang bijaksana, tidak sombong, dan tahu diri. "Sudah banyak tokoh dari berbagai bidang. Tapi jangan dilupakan juga, harus ada pahlawan dari tokoh agama karena dari merekalah kita bisa hidup bersama dalam damai seperti sekarang ini," ujarnya.
Perwakilan dari Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) menjelaskan penetapan sosok pahlawan tidak mungkin berlangsung secara objektif. Menurut dia, setiap manusia pasti memiliki kelemahan dan tidak ada manusia yang superhero sempurna. "Kalau benar-benar objektif tidak mungkinlah, tetapi yang terpenting harus dilihat dari fungsionalnya," ujarnya.
Rudi Suhaimi dari masyarakat Lampung Selatan mengingatkan dewan pahlawan harus benar-benar teliti menguliti sosok yang masuk nominasi sebagai pahlawan. "Jangan sampai nantinya koruptor yang hartanya berlimpah tapi dari maling uang rakyat dipilih sebagai pahlawan," kata dia.
Nominal Uang
Sedangkan Pemimpin Redaksi Lampung Post Sabam Sinaga menambahkan kriteria pahlawan selain inspiratif juga harus bisa memotivasi orang lain untuk berbuat kebaikan, dan bukan memotivasi bertindak jahat. Pahlawan juga harus menorehkan prestasi besar yang terukur melampaui kemampuannya, bermanfaat bagi kemanusiaan, dan disertai ketulusan. "Harus konsisten dan secara tulus berjuang demi memajukan martabat manusia dan membela kemanusiaan," ujarnya.
Kristianto dari Lampung Post juga mengingatkan dewan pahlawan tidak mudah tergiur uang dalam menetapkan nama-nama pahlawan Lampung. "Dalam uang kertas kita ada gambar pahlawannya, tapi mereka ditetapkan sebagai pahlawan setelah tiada. Perlu dihindari agar penetapan nama-nama pahlawan bebas dari nilai mata uang," kata dia. (IDO/U-2)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 18 November 2011
Semuanya disampaikan untuk melengkapi standar penetapan sosok yang akan dipilih sebagai pahlawan Lampung. Mantan anggota DPRD Lampung dari F-TNI/Polri mengusulkan kriteria pahlawan harus ditambah, yakni setia kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Menurut Heru, saat ini banyak orang yang pintar dan merasa pintar mencoba menghapus sejarah dan mengganti bentuk negera. Padahal, mereka tidak pernah merasakan suka duka memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. "Mereka sekolah di luar negeri, setelah pulang dan merasa pintar ingin mengganti NKRI menjadi negara federasi, UUD 1945 juga diamendemen. Ini sudah tidak benar, jadi ada kriteria yang harus ditambah, yaitu setia kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Empat hal ini harus dijadikan sebagai ukuran kepahlawanan seseorang," ujarnya.
Lain lagi usulan Suripno dari Pepabri. Ia mengusulkan sosialisasi pahlawan dilakukan secara massif. Misalnya, dengan memasang gambar Raden Intan II di pojok atas koran, batik bermotif Raden Intan, serta gambar Raden Intan di buku-buku sekolah. "Dengan cara itu sosialisasi akan lebih efektif dan mudah diingat masyarakat," ujarnya.
Bidang Agama
Sementara itu, Suttan Sjahrir S.Oe mengusulkan Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan yang akan dibentuk harus beranggotakan orang-orang yang memahami benar sejarah Lampung. Pemilihan anggota dewan tersebut juga harus didasarkan pada sosok yang bijaksana, tidak sombong, dan tahu diri. "Sudah banyak tokoh dari berbagai bidang. Tapi jangan dilupakan juga, harus ada pahlawan dari tokoh agama karena dari merekalah kita bisa hidup bersama dalam damai seperti sekarang ini," ujarnya.
Perwakilan dari Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) menjelaskan penetapan sosok pahlawan tidak mungkin berlangsung secara objektif. Menurut dia, setiap manusia pasti memiliki kelemahan dan tidak ada manusia yang superhero sempurna. "Kalau benar-benar objektif tidak mungkinlah, tetapi yang terpenting harus dilihat dari fungsionalnya," ujarnya.
Rudi Suhaimi dari masyarakat Lampung Selatan mengingatkan dewan pahlawan harus benar-benar teliti menguliti sosok yang masuk nominasi sebagai pahlawan. "Jangan sampai nantinya koruptor yang hartanya berlimpah tapi dari maling uang rakyat dipilih sebagai pahlawan," kata dia.
Nominal Uang
Sedangkan Pemimpin Redaksi Lampung Post Sabam Sinaga menambahkan kriteria pahlawan selain inspiratif juga harus bisa memotivasi orang lain untuk berbuat kebaikan, dan bukan memotivasi bertindak jahat. Pahlawan juga harus menorehkan prestasi besar yang terukur melampaui kemampuannya, bermanfaat bagi kemanusiaan, dan disertai ketulusan. "Harus konsisten dan secara tulus berjuang demi memajukan martabat manusia dan membela kemanusiaan," ujarnya.
Kristianto dari Lampung Post juga mengingatkan dewan pahlawan tidak mudah tergiur uang dalam menetapkan nama-nama pahlawan Lampung. "Dalam uang kertas kita ada gambar pahlawannya, tapi mereka ditetapkan sebagai pahlawan setelah tiada. Perlu dihindari agar penetapan nama-nama pahlawan bebas dari nilai mata uang," kata dia. (IDO/U-2)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 18 November 2011
Sarasehan Kepahlawanan: Tokoh Harus Berkontribusi kepada Daerah
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. mengatakan gelar tokoh diberikan kepada orang yang memiliki kontribusi terhadap daerahnya. Tidak hanya dikenal luas, pengertian tokoh juga harus berkontribusi terhadap daerahnya," kata Gubernur pada dialog publik di Hotel Sahid, Bandar Lampung, Kamis (17-10).
RAMAH TAMAH. Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. beramah tamah dengan anggota Angkatan 45 usai membuka acara sarasehan kepahlawanan bertema Mengangkat tokoh dan kepahlawanan daerah Lampung di Hotel Sahid, Bandar Lampung, Kamis (17-11). (LAMPUNG POST/HENDRIVAN GUMAY)
Dialog yang bertema Mengangkat tokoh dan kepahlawanan daerah Lampung itu digelar Pemprov Lampung bersama Lampung Post. Sjachroedin Z.P. yang menjadi pembicara kunci mengatakan ada pergeseran nilai-nilai kepahlawan dan ketokohan. Untuk itu, Sjachroedin meminta perlu ada upaya meluruskan persepsi tokoh dan pahlawan.
Seseorang yang mendapatkan predikat tokoh harus memiliki andil untuk pembangunan daerah, seperti bidang pendidikan, kesehatan, dan agama. "Siapa pun orangnya, jika mereka berjasa di bidang yang ditekuninya, dapat dikatakan tokoh," ujar Sjachroedin.
Tokoh tersebut tidak harus penduduk asli Lampung, tetapi bisa saja orang Jawa, Sumatera Barat, Banten, dan Jawa Barat yang lahir di Lampung. Dia mencontohkan Abdul Moeloek yang diabadikan sebagai nama rumah sakit di Bandar Lampung merupakan penduduk Lampung asal Sumatera Barat.
Kemudian Raden Inten yang dijadikan nama bandara di Lampung juga asal Banten, tetapi berjuang untuk Lampung pada masa perjuangan. "Mereka yang memiliki kontribusi untuk Lampung itu bisa disebut tokoh," kata Sjachroedin.
Penghargaan kepada nama-nama tokoh yang berkontribusi untuk Lampung dan negara itu, menurut Gubernur, akan diusulkan menjadi pahlawan nasional, minimal pahlawan untuk daerah Lampung. Untuk itu, pihaknya bersama DPRD Lampung merancang peraturan daerah mengenai tokoh-tokoh Lampung. (KIS/U-1)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 18 November 2011
RAMAH TAMAH. Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. beramah tamah dengan anggota Angkatan 45 usai membuka acara sarasehan kepahlawanan bertema Mengangkat tokoh dan kepahlawanan daerah Lampung di Hotel Sahid, Bandar Lampung, Kamis (17-11). (LAMPUNG POST/HENDRIVAN GUMAY)
Dialog yang bertema Mengangkat tokoh dan kepahlawanan daerah Lampung itu digelar Pemprov Lampung bersama Lampung Post. Sjachroedin Z.P. yang menjadi pembicara kunci mengatakan ada pergeseran nilai-nilai kepahlawan dan ketokohan. Untuk itu, Sjachroedin meminta perlu ada upaya meluruskan persepsi tokoh dan pahlawan.
Seseorang yang mendapatkan predikat tokoh harus memiliki andil untuk pembangunan daerah, seperti bidang pendidikan, kesehatan, dan agama. "Siapa pun orangnya, jika mereka berjasa di bidang yang ditekuninya, dapat dikatakan tokoh," ujar Sjachroedin.
Tokoh tersebut tidak harus penduduk asli Lampung, tetapi bisa saja orang Jawa, Sumatera Barat, Banten, dan Jawa Barat yang lahir di Lampung. Dia mencontohkan Abdul Moeloek yang diabadikan sebagai nama rumah sakit di Bandar Lampung merupakan penduduk Lampung asal Sumatera Barat.
Kemudian Raden Inten yang dijadikan nama bandara di Lampung juga asal Banten, tetapi berjuang untuk Lampung pada masa perjuangan. "Mereka yang memiliki kontribusi untuk Lampung itu bisa disebut tokoh," kata Sjachroedin.
Penghargaan kepada nama-nama tokoh yang berkontribusi untuk Lampung dan negara itu, menurut Gubernur, akan diusulkan menjadi pahlawan nasional, minimal pahlawan untuk daerah Lampung. Untuk itu, pihaknya bersama DPRD Lampung merancang peraturan daerah mengenai tokoh-tokoh Lampung. (KIS/U-1)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 18 November 2011
Sarasehan: Lampung Kekurangan Pahlawan Nasional
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Di pentas nasional, sedikit tokoh Lampung yang ditahbiskan pemerintah sebagai pahlawan, salah satunya Raden Intan II.
Panitia pengarah sarasehan Anshori Djausal mengatakan dari sekian banyak pahlawan nasional, hanya ada satu dari Provinsi Lampung, yakni Raden Intan II. Anshori mengungkapkan ada Taman Makam Pahlawan (TMP) di Lampung yang hanya diisi dua makam pejuang. Anshori juga menyitir The Great Man Theory yang menyatakan pahlawan itu tidak hanya lahir dari medan pertempuran.
"Ada enam tujuan digelarnya sarasehan ini. Pertama, mengidentifikasi pikiran tentang pahlawan dan tokoh Lampung. Kedua, mengeksplorasi definisi dan syarat-syarat pahlawan Lampung. Ketiga, mendorong terbentuknya Dewan Gelar Pahlawan untuk tingkat Provinsi Lampung. Keempat, mengidentifikasi persoalan dan solusi terkait makam pahlawan. Kelima, mendorong terwujudnya raperda atau rapergub, Dewan Gelar, dan tim peneliti calon penerima gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan di tingkat Provinsi Lampung. Keenam, mendorong terbitnya buku-buku tentang tokoh-tokoh dan kepahlawanan Lampung," kata dia.
Sarasehan sehari itu juga menghadirkan lima narasumber, yakni Wakil Pemimpin Umum Lampung Post, Djadjat Sudradjat; guru besar bidang sosiologi IAIN Raden Inten, Fauzi Nurdin; akademisi FISIP Unila Arizka Warganegara dan Maskun; serta jurnalis Oyos Saroso H.N. Acara itu dimoderatori dosen FISIP Unila Syafaruddin.
Seminar dihadiri kepala daerah dan wakil kepala daerah se-Provinsi Lampung, serta diikuti sekitar 200 orang dari berbagai kalangan, antara lain guru, mahasiswa, dan organisasi kepemudaan.
Peserta juga mendorong agar pahlawan yang muncul dari hasil studi ialah yang bersih dan tidak mempunyai beban sejarah. Seperti disampaikan Gubernur Sjachroedin.
"Jangan yang dulunya maling sekarang mengaku pahlawan. Saya ini angkatan ‘66, saya tahu siapa yang mengambil uang, kaus, atau makanan dari toko-toko saat peristiwa 1966. Sekarang kok mengaku sebagai pahlawan. Ini yang perlu diluruskan secara terbuka," ujar dia. (KIS/U-4)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 18 November 2011
Panitia pengarah sarasehan Anshori Djausal mengatakan dari sekian banyak pahlawan nasional, hanya ada satu dari Provinsi Lampung, yakni Raden Intan II. Anshori mengungkapkan ada Taman Makam Pahlawan (TMP) di Lampung yang hanya diisi dua makam pejuang. Anshori juga menyitir The Great Man Theory yang menyatakan pahlawan itu tidak hanya lahir dari medan pertempuran.
"Ada enam tujuan digelarnya sarasehan ini. Pertama, mengidentifikasi pikiran tentang pahlawan dan tokoh Lampung. Kedua, mengeksplorasi definisi dan syarat-syarat pahlawan Lampung. Ketiga, mendorong terbentuknya Dewan Gelar Pahlawan untuk tingkat Provinsi Lampung. Keempat, mengidentifikasi persoalan dan solusi terkait makam pahlawan. Kelima, mendorong terwujudnya raperda atau rapergub, Dewan Gelar, dan tim peneliti calon penerima gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan di tingkat Provinsi Lampung. Keenam, mendorong terbitnya buku-buku tentang tokoh-tokoh dan kepahlawanan Lampung," kata dia.
Sarasehan sehari itu juga menghadirkan lima narasumber, yakni Wakil Pemimpin Umum Lampung Post, Djadjat Sudradjat; guru besar bidang sosiologi IAIN Raden Inten, Fauzi Nurdin; akademisi FISIP Unila Arizka Warganegara dan Maskun; serta jurnalis Oyos Saroso H.N. Acara itu dimoderatori dosen FISIP Unila Syafaruddin.
Seminar dihadiri kepala daerah dan wakil kepala daerah se-Provinsi Lampung, serta diikuti sekitar 200 orang dari berbagai kalangan, antara lain guru, mahasiswa, dan organisasi kepemudaan.
Peserta juga mendorong agar pahlawan yang muncul dari hasil studi ialah yang bersih dan tidak mempunyai beban sejarah. Seperti disampaikan Gubernur Sjachroedin.
"Jangan yang dulunya maling sekarang mengaku pahlawan. Saya ini angkatan ‘66, saya tahu siapa yang mengambil uang, kaus, atau makanan dari toko-toko saat peristiwa 1966. Sekarang kok mengaku sebagai pahlawan. Ini yang perlu diluruskan secara terbuka," ujar dia. (KIS/U-4)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 18 November 2011
November 17, 2011
Sarasehan Pahlawan dan Tokoh Lampung: Mencari Definisi Pahlawan Lampung
SETIAP menjelang peringatan Hari Pahlawan 10 November, pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional kepada sejumlah warga negara yang dinilai berjasa besar kepada negara. Namun, pemberian anugerah itu sering menimbulkan pro-kontra dengan sejumlah alasan yang dimiliki masing-masing pihak.
Namun, rakyat setuju atau tidak, ada pro maupun kontra dalam penganugerahan gelar pahlawan nasional, keputusan pemerintah tidak akan berubah. Artinya, gelar pahlawan nasional tetap akan diberikan.
Memang pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk pejuang tidak selalu mulus. Misalnya pemberian gelar pahlawan nasional untuk Bung Tomo, tokoh yang menggelorakan arek-arek Suroboyo dalam perang melawan tentara Inggris berkal-kali mentok. Akhirnya, Bung Tomo baru mendapat gelar pahlawan nasional pada November 2008. Mantan Presiden Soeharto dan mantan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid juga termasuk tokoh yang tidak mulus untuk mendapatkan gelar pahlawan.
Jika diliat dari perspektif tinjauan sejarah kritis, harus ada penelitian untuk menilai seorang tokoh layak diusulkan menjadi pahlawan nasional. Di sisi lain, sejak beberapa tahun terakhir juga muncul sejumlah gugatan terhadap definisi kata pahlawan nasional.
Para penggugat itu mempertanyakan nasionalisme sejumlah nama pahlawan nasional yang hanya berjuang di area lokal. Misalnya adalah Pangeran Diponegoro yang hanya berjuang di wilayah Jawa Tengah, Tuanku Imam Bonjol yang perjuangan sebatas Sumatera Barat.
Dengan logika bahwa nasionalisme Indonesia muncul pada pada tahun 1920-an dan dideklarasikan pada 28 Oktober 1928, para penggugat mengusulkan agar definisi pahlawan nasional seharusnya acuannya adalah sosok yang berjuang karena nasionalisme Indonesia. Dan itu garisnya harus ditarik mulai tahun 1928.
Tentang pahlawan, Sidney Hook dalam buku The Hero in History (1999) membedakan antara eventfulman dan event-makingman. Yang pertama adalah orang yang terlibat dalam suatu peristiwa, sedangkan yang kedua adalah orang yang membuat peristiwa.
Dalam konteks ini, bisa saja seorang tokoh beruntung karena berada pada posisi dan waktu yang tepat mengambil keputusan yang berdampak besar bagi masyarakat luas. Figur dalam kelompok kedua adalah orang yang mampu mengendalikan dan negara. Gelar itu bisa juga diberikan untuk seseorang yang semasa peristiwa, bahkan mengarahkan masyarakat sesuai dengan tujuan yang diinginkannya.
Pengertian yang diajukan Sidney Hook ini agaknya bisa dijadikan acuan jika kita ingin memperdebatkan tentang definisi pahlawan. Pahlawan, dalam terminologi Hook, tidak harus mengacu pada orang yang memikul senjata untuk berperang melawan penjajah atau mempertahankan Tanah Air.
Pendapat Hook itu sebenarnya selaras juga dengan Peraturan Presiden No.33/1964 Pasal 1, yang menyebutkan bahwa pahlawan sebagai warga negara Republik Indonesia yang gugur atau tewas atau meninggal dunia akibat tindak kepahlawanannya yang cukup mempunyai mutu dan nilai jasa perjuangan dalam suatu tugas perjuangan untuk membela negara dan bangsa.
Pahlawan, menurut Perpres tersebut, juga terdiri dari warga negara Indonesia yang masih diridai dalam keadaan hidup sesudah melakukan tindak kepahlawanannya yang cukup membuktikan jasa pengorbanan dalam suatu tugas perjuangan untuk membela negara dan bangsa dan yang dalam riwayat hidup selanjutnya tidak ternoda suatu tindak atau perbuatan yang menyebabkan menjadi cacat nilai perjuangan dan kepahlawanannya.
Pemberian gelar pahlawan diatur dalam Undang-Undang Nomor 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Menurut undang-undang tersebut, seseorang dikatakan sebagai pahlawan apabila mendapat penghargaan gelar pahlawan dari presiden.
Pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajah yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa hidupnya, melakukan tindakan kepahlawanan, atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa.
Pemberian gelar pahlawan nasional tidak sembarang tunjuk atau sembarang usul. Diperlukan suatu tata cara pengajuan dan persyaratan lain yang harus dipenuhi si calon pahlawan sesuai dengan undang-undang. Menurut Pasal 24—26 undang-undang tersebut, seseorang harus memenuhi persyaratan umum dan khusus untuk mendapat gelar pahlawan. Syarat umumnya, seorang calon pahlawan haruslah warga negara Indonesia (WNI) atau seseorang yang berjuang di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang juga memiliki integritas moral dan keteladanan.
Calon pahlawan juga harus setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara, berkelakuan baik, dan tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan atau diancam pidana penjara di atas lima tahun.
Sejarawan Asvi Marwan Adam mengatakan meskipun hukuman pidana akan luntur jika seseorang telah meninggal dunia, dia tetap saja tidak dapat diajukan sebagai calon pahlawan. “Kalau dalam undang-undang ya tidak, kan kalau meninggal pidananya akan hilang, kecuali perdata yang tetap berlaku. Tapi bagaimana pun, mantan napi tidak dapat dijadikan teladan. Dengan pemikiran ini, berarti seseorang yang akan diberi gelar pahlawan seharusnya tidak memiliki catatan sejarah kehidupan buruk yang menyebabkan haknya untuk mendapatkan gelar pahlawan gugur secara otomatis.
Adapun syarat khusus yang harus dipenuhi calon pahlawan adalah selama masa hidupnya dia pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata, perjuangan politik, atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan, serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Selain itu, dia pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara serta pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Selain sejumlah syarat yang harus dipenuhi, ada beberapa tahapan pengajuan gelar pahlawan yang harus dijalani. Idealnya, mekanisme pengusulan harus berasal dari bawah, yakni dari daerah tingkat II (kabupaten/kota), kemudian ke daerah tingkat I (provinsi), lalu disampaikan kepada Departeman Sosial yang akan menyerahkan usulan kepada Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Dewan inilah yang nantinya akan menyampaikan usulan dan pertimbangan kepada presiden.
Sesuai ketentuan, Dewan Gelar diusulkan oleh menteri sosial dan diangkat oleh presiden. Anggota Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan tersebut terdiri dari tujuh orang yang berasal dari dua orang kalangan akademisi, tiga orang kalangan militer, dan tiga orang tokoh masyarakat yang pernah mendapatkan tanda jasa dan/atau tanda kehormatan.
Pahlawan Lampung
Dengan alur pemberian gelar tanda jasa seperti itu, Pemkab/Kota dan Pemerintah Provinsi Lampung juga bisa berperan untuk mengusulkan warga Lampung yang berjasa besar kepada negara untuk memperoleh gelar pahlawan. Lebih spesifik lagi, bahkan Pemerintah Provinsi Lampung juga bisa memberikan anugerah pahlawan Lampung atau gelar tokoh Lampung untuk warga Lampung yang berjasa besar terhadap Lampung.
Provinsi Lampung belum memiliki peraturan daerah atau peraturan gubernur mengenai gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan. Akibatnya, upaya mengangkat tokoh dan kepahlawanan daerah Provinsi Lampung belum bisa operasional karena belum memiliki landasan hukum yang dekat.
Landasan hukum ini idealnya memuat kriteria, syarat, prosedur, riset, publikasi, sosialisasi, uji publik, partisipasi, pengawasan, penghormatan dan penghargaan terhadap tokoh serta pahlawan daerah, dan adanya akuntabilitas.
Provinsi Lampung belum menetapkan dan mengangkat tim kerja berupa Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, baik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Provinsi Lampung belum menetapkan dan mengangkat tim peneliti calon penerima gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan untuk kategori penghargaan tingkat provinsi dan nasional. Ketiadaan kedua tim ini menyebabkan rendahnya/tiadanya usulan calon-calon tokoh Lampung penerima gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, baik untuk penghargaan di tingkat Lampung maupun nasional.
Kurangnya kesadaran akan pentingnya tokoh dan pahlawan daerah. Padahal, tokoh atau pahlawan merupakan sosok teladan yang bisa menginspirasi dan memotivasi generasi penerus. Tokoh atau pahlawan daerah merupakan simbol yang bisa menjadi modal sosial menggerakan roda pembangunan di daerah.
Kriteria, batasan, dan ruang lingkup tokoh dan pahlawan daerah di tingkat Lampung belum dibicarakan bersama melibatkan unsur-unsur terkait. Kriteria yang sering dipakai adalah kriteria di level UU dan PP yang cenderung membatasi ruang lingkup wilayah dan waktu, serta kecenderungan aktor-aktor militer saja yang menjadi pahlawan atau penerima penghargaan.
Taman makam pahlawan di kabupaten kota dan provinsi di Lampung lebih dominan dipergunakan sebagai tempat pemakaman tokoh-tokoh militer ketimbang tokoh-tokoh sipil. Hal ini berakar dari penafsiran sempit terhadap regulasi nasional (UU dan PP) tentang gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan.
Pahlawan Baru
Berdasar pemikiran tentang definisi, syarat, dan aturan pemberian gelar pahlawan nasional itu, digelar Sarasehan Pahlawan dan Tokoh Lampung. Kegiatan itu untuk mengidentifikasi pokok pikiran tentang pahlawan dan tokoh Lampung, mengeksplorasi definisi dan syarat-syarat pahlawan Lampung.
Selain itu, juga perlu didorong terbentuknya Dewan Gelar Pahlawan untuk tingkat Provinsi Lampung, sekaligus mengidentifikasi persoalan dan mencarikan solusi terkait dengan taman makam pahlawan serta penghargaan terhadap tokoh dan pejuang Lampung. (D-2)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 17 November 2011 06:14
Namun, rakyat setuju atau tidak, ada pro maupun kontra dalam penganugerahan gelar pahlawan nasional, keputusan pemerintah tidak akan berubah. Artinya, gelar pahlawan nasional tetap akan diberikan.
Memang pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk pejuang tidak selalu mulus. Misalnya pemberian gelar pahlawan nasional untuk Bung Tomo, tokoh yang menggelorakan arek-arek Suroboyo dalam perang melawan tentara Inggris berkal-kali mentok. Akhirnya, Bung Tomo baru mendapat gelar pahlawan nasional pada November 2008. Mantan Presiden Soeharto dan mantan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid juga termasuk tokoh yang tidak mulus untuk mendapatkan gelar pahlawan.
Jika diliat dari perspektif tinjauan sejarah kritis, harus ada penelitian untuk menilai seorang tokoh layak diusulkan menjadi pahlawan nasional. Di sisi lain, sejak beberapa tahun terakhir juga muncul sejumlah gugatan terhadap definisi kata pahlawan nasional.
Para penggugat itu mempertanyakan nasionalisme sejumlah nama pahlawan nasional yang hanya berjuang di area lokal. Misalnya adalah Pangeran Diponegoro yang hanya berjuang di wilayah Jawa Tengah, Tuanku Imam Bonjol yang perjuangan sebatas Sumatera Barat.
Dengan logika bahwa nasionalisme Indonesia muncul pada pada tahun 1920-an dan dideklarasikan pada 28 Oktober 1928, para penggugat mengusulkan agar definisi pahlawan nasional seharusnya acuannya adalah sosok yang berjuang karena nasionalisme Indonesia. Dan itu garisnya harus ditarik mulai tahun 1928.
Tentang pahlawan, Sidney Hook dalam buku The Hero in History (1999) membedakan antara eventfulman dan event-makingman. Yang pertama adalah orang yang terlibat dalam suatu peristiwa, sedangkan yang kedua adalah orang yang membuat peristiwa.
Dalam konteks ini, bisa saja seorang tokoh beruntung karena berada pada posisi dan waktu yang tepat mengambil keputusan yang berdampak besar bagi masyarakat luas. Figur dalam kelompok kedua adalah orang yang mampu mengendalikan dan negara. Gelar itu bisa juga diberikan untuk seseorang yang semasa peristiwa, bahkan mengarahkan masyarakat sesuai dengan tujuan yang diinginkannya.
Pengertian yang diajukan Sidney Hook ini agaknya bisa dijadikan acuan jika kita ingin memperdebatkan tentang definisi pahlawan. Pahlawan, dalam terminologi Hook, tidak harus mengacu pada orang yang memikul senjata untuk berperang melawan penjajah atau mempertahankan Tanah Air.
Pendapat Hook itu sebenarnya selaras juga dengan Peraturan Presiden No.33/1964 Pasal 1, yang menyebutkan bahwa pahlawan sebagai warga negara Republik Indonesia yang gugur atau tewas atau meninggal dunia akibat tindak kepahlawanannya yang cukup mempunyai mutu dan nilai jasa perjuangan dalam suatu tugas perjuangan untuk membela negara dan bangsa.
Pahlawan, menurut Perpres tersebut, juga terdiri dari warga negara Indonesia yang masih diridai dalam keadaan hidup sesudah melakukan tindak kepahlawanannya yang cukup membuktikan jasa pengorbanan dalam suatu tugas perjuangan untuk membela negara dan bangsa dan yang dalam riwayat hidup selanjutnya tidak ternoda suatu tindak atau perbuatan yang menyebabkan menjadi cacat nilai perjuangan dan kepahlawanannya.
Pemberian gelar pahlawan diatur dalam Undang-Undang Nomor 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Menurut undang-undang tersebut, seseorang dikatakan sebagai pahlawan apabila mendapat penghargaan gelar pahlawan dari presiden.
Pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajah yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa hidupnya, melakukan tindakan kepahlawanan, atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa.
Pemberian gelar pahlawan nasional tidak sembarang tunjuk atau sembarang usul. Diperlukan suatu tata cara pengajuan dan persyaratan lain yang harus dipenuhi si calon pahlawan sesuai dengan undang-undang. Menurut Pasal 24—26 undang-undang tersebut, seseorang harus memenuhi persyaratan umum dan khusus untuk mendapat gelar pahlawan. Syarat umumnya, seorang calon pahlawan haruslah warga negara Indonesia (WNI) atau seseorang yang berjuang di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang juga memiliki integritas moral dan keteladanan.
Calon pahlawan juga harus setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara, berkelakuan baik, dan tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan atau diancam pidana penjara di atas lima tahun.
Sejarawan Asvi Marwan Adam mengatakan meskipun hukuman pidana akan luntur jika seseorang telah meninggal dunia, dia tetap saja tidak dapat diajukan sebagai calon pahlawan. “Kalau dalam undang-undang ya tidak, kan kalau meninggal pidananya akan hilang, kecuali perdata yang tetap berlaku. Tapi bagaimana pun, mantan napi tidak dapat dijadikan teladan. Dengan pemikiran ini, berarti seseorang yang akan diberi gelar pahlawan seharusnya tidak memiliki catatan sejarah kehidupan buruk yang menyebabkan haknya untuk mendapatkan gelar pahlawan gugur secara otomatis.
Adapun syarat khusus yang harus dipenuhi calon pahlawan adalah selama masa hidupnya dia pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata, perjuangan politik, atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan, serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Selain itu, dia pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara serta pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Selain sejumlah syarat yang harus dipenuhi, ada beberapa tahapan pengajuan gelar pahlawan yang harus dijalani. Idealnya, mekanisme pengusulan harus berasal dari bawah, yakni dari daerah tingkat II (kabupaten/kota), kemudian ke daerah tingkat I (provinsi), lalu disampaikan kepada Departeman Sosial yang akan menyerahkan usulan kepada Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Dewan inilah yang nantinya akan menyampaikan usulan dan pertimbangan kepada presiden.
Sesuai ketentuan, Dewan Gelar diusulkan oleh menteri sosial dan diangkat oleh presiden. Anggota Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan tersebut terdiri dari tujuh orang yang berasal dari dua orang kalangan akademisi, tiga orang kalangan militer, dan tiga orang tokoh masyarakat yang pernah mendapatkan tanda jasa dan/atau tanda kehormatan.
Pahlawan Lampung
Dengan alur pemberian gelar tanda jasa seperti itu, Pemkab/Kota dan Pemerintah Provinsi Lampung juga bisa berperan untuk mengusulkan warga Lampung yang berjasa besar kepada negara untuk memperoleh gelar pahlawan. Lebih spesifik lagi, bahkan Pemerintah Provinsi Lampung juga bisa memberikan anugerah pahlawan Lampung atau gelar tokoh Lampung untuk warga Lampung yang berjasa besar terhadap Lampung.
Provinsi Lampung belum memiliki peraturan daerah atau peraturan gubernur mengenai gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan. Akibatnya, upaya mengangkat tokoh dan kepahlawanan daerah Provinsi Lampung belum bisa operasional karena belum memiliki landasan hukum yang dekat.
Landasan hukum ini idealnya memuat kriteria, syarat, prosedur, riset, publikasi, sosialisasi, uji publik, partisipasi, pengawasan, penghormatan dan penghargaan terhadap tokoh serta pahlawan daerah, dan adanya akuntabilitas.
Provinsi Lampung belum menetapkan dan mengangkat tim kerja berupa Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, baik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Provinsi Lampung belum menetapkan dan mengangkat tim peneliti calon penerima gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan untuk kategori penghargaan tingkat provinsi dan nasional. Ketiadaan kedua tim ini menyebabkan rendahnya/tiadanya usulan calon-calon tokoh Lampung penerima gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, baik untuk penghargaan di tingkat Lampung maupun nasional.
Kurangnya kesadaran akan pentingnya tokoh dan pahlawan daerah. Padahal, tokoh atau pahlawan merupakan sosok teladan yang bisa menginspirasi dan memotivasi generasi penerus. Tokoh atau pahlawan daerah merupakan simbol yang bisa menjadi modal sosial menggerakan roda pembangunan di daerah.
Kriteria, batasan, dan ruang lingkup tokoh dan pahlawan daerah di tingkat Lampung belum dibicarakan bersama melibatkan unsur-unsur terkait. Kriteria yang sering dipakai adalah kriteria di level UU dan PP yang cenderung membatasi ruang lingkup wilayah dan waktu, serta kecenderungan aktor-aktor militer saja yang menjadi pahlawan atau penerima penghargaan.
Taman makam pahlawan di kabupaten kota dan provinsi di Lampung lebih dominan dipergunakan sebagai tempat pemakaman tokoh-tokoh militer ketimbang tokoh-tokoh sipil. Hal ini berakar dari penafsiran sempit terhadap regulasi nasional (UU dan PP) tentang gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan.
Pahlawan Baru
Berdasar pemikiran tentang definisi, syarat, dan aturan pemberian gelar pahlawan nasional itu, digelar Sarasehan Pahlawan dan Tokoh Lampung. Kegiatan itu untuk mengidentifikasi pokok pikiran tentang pahlawan dan tokoh Lampung, mengeksplorasi definisi dan syarat-syarat pahlawan Lampung.
Selain itu, juga perlu didorong terbentuknya Dewan Gelar Pahlawan untuk tingkat Provinsi Lampung, sekaligus mengidentifikasi persoalan dan mencarikan solusi terkait dengan taman makam pahlawan serta penghargaan terhadap tokoh dan pejuang Lampung. (D-2)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 17 November 2011 06:14
Sarasehan: Pahlawan Patut Diteladani
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pelaku tindak kriminal, yang pernah dipenjara berdasarkan keputusan pengadilan atau diancam dengan hukuman di atas 5 tahun, kehilangan kesempatan menjadi pahlawan seumur hidupnya.
Pernyataan sejarawan Asvi Marwan Adam ini dikutip dalam Term of Reference (TOR) Sarasehan Mengangkat Tokoh dan Kepahlawanan Daerah Provinsi Lampung yang digelar hari ini (17-11), di Hotel Sahid, Bandar Lampung.
Asvi mengatakan meskipun hukuman pidana luntur setelah seseorang meninggal dunia, tetap saja tidak dapat diajukan sebagai calon pahlawan.
Seorang pahlawan harus setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara serta berkelakuan baik. Artinya, seorang pahlawan patut diteladani. "Walau bagaimanapun, mantan napi tidak dapat dijadikan teladan. Calon pahlawan seharusnya tidak memiliki catatan sejarah kehidupan buruk," kata dia.
Calon pahlawan, ujar Asvi, seharusnya pernah memimpin sebuah perjuangan, baik bersenjata, berpolitik, atau bidang lain untuk mencapai, merebut atau mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan.
Syarat lain seorang pahlawan adalah mereka yang pernah memberikan gagasan dan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara. "Ada tahapan yang harus dilalui untuk menjadi pahlawan. Idealnya usulan dari bawah, ke kabupaten, provinsi dan departemen sosial, kemudian diusulkan ke Dewan Gelar," kata dia.
Hari Pahlawan merupakan momentum yang tepat untuk memahami pentingnya tokoh dan pahlawan daerah. Saat ini pemahaman itu cenderung berkurang, bahkan hampir hilang. Padahal, sosok pahlawan akan menginspirasi generasi penerus bangsa dan memotivasi mereka untuk berbuat lebih baik. (WAH/K-2)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 17 November 2011
Pernyataan sejarawan Asvi Marwan Adam ini dikutip dalam Term of Reference (TOR) Sarasehan Mengangkat Tokoh dan Kepahlawanan Daerah Provinsi Lampung yang digelar hari ini (17-11), di Hotel Sahid, Bandar Lampung.
Asvi mengatakan meskipun hukuman pidana luntur setelah seseorang meninggal dunia, tetap saja tidak dapat diajukan sebagai calon pahlawan.
Seorang pahlawan harus setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara serta berkelakuan baik. Artinya, seorang pahlawan patut diteladani. "Walau bagaimanapun, mantan napi tidak dapat dijadikan teladan. Calon pahlawan seharusnya tidak memiliki catatan sejarah kehidupan buruk," kata dia.
Calon pahlawan, ujar Asvi, seharusnya pernah memimpin sebuah perjuangan, baik bersenjata, berpolitik, atau bidang lain untuk mencapai, merebut atau mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan.
Syarat lain seorang pahlawan adalah mereka yang pernah memberikan gagasan dan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara. "Ada tahapan yang harus dilalui untuk menjadi pahlawan. Idealnya usulan dari bawah, ke kabupaten, provinsi dan departemen sosial, kemudian diusulkan ke Dewan Gelar," kata dia.
Hari Pahlawan merupakan momentum yang tepat untuk memahami pentingnya tokoh dan pahlawan daerah. Saat ini pemahaman itu cenderung berkurang, bahkan hampir hilang. Padahal, sosok pahlawan akan menginspirasi generasi penerus bangsa dan memotivasi mereka untuk berbuat lebih baik. (WAH/K-2)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 17 November 2011
November 16, 2011
Gulai 'Pepenyok' dan'Langok' Jadi Ikon Lumbok Seminung
LIWA (Lampost): Gulai pepenyok dan gulai langok akan dijadikan ikon kuliner khas Kecamatan Lumbok Seminung, Lampung Barat. Bahkan, pada peresmian Pondok Wisata Tepi Ranau, 25 November 2011, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKK) Lampung Barat akan menggelar lomba memasak kedua jenis gulai itu dengan bahan baku ikan nila dari Danau Ranau.
Kepala DKK Lampung Lampung Barat Natajuddin Amran mengatakana lomba memasak tersebut akan dijadikan momentum menetapkan makanan khas tersebut sebagai ikon kuliner di kawasan wisata tersebut. "Masakan ini juga diharapkan bisa menjadi daya tarik wisatawan."
Nata menambahkan Pondok Wisata Tepi Ranau yang terletak di Pekon Kagungan, Lumbok Seminung, juga untuk mendukung kegiatan kepariwisataan apalagi di daerah ini juga sudah ada Pekon Wisata Tepian Ranau.
Selain peresmian Pondok Wisata Tepi Ranau, pada waktu yang sama Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Lampung Barat, juga akan menggelar Gebyar Pesona Lumbok Ranau (GPLR) V, pada 26—27 November.
Kepala Bidang Pariwisata Dinas Pariwisata dan Budaya Lampung Barat Arief Nugroho mengatakan GPLR akan diisi kegiatan menyusuri Danau Ranau, fotografi, ekshibisi paralayang, lomba perahu motor hias, dan lomba bakar ikan.
Kegiatan lain berupa gelar budaya tradisi Lampung Barat (tari dan lagu), pelayaran/jelajah Danau Ranau dengan perahu motor, lomba triatlon, dan lomba tarik tambang perahu jukung.
Selanjutnya, makan malam di pinggir Danau Ranau yang diisi dengan penampilan hasil perburuan foto dengan LCD. Pada hari terakhir, 27 November, digelar lomba masu babui (berburu babi), lomba memancing keluarga, dan lomba ngera'as (memanah ikan).
"Sejumlah kegiatan itu diharapkan kawasan wisata Lumbok Seminung dengan objek Danau Ranau bisa lebih dikenal dan makin banyak dikunjungi wisatawan," ujar Arief. (HEN/R-2)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 16 November 2011
Kepala DKK Lampung Lampung Barat Natajuddin Amran mengatakana lomba memasak tersebut akan dijadikan momentum menetapkan makanan khas tersebut sebagai ikon kuliner di kawasan wisata tersebut. "Masakan ini juga diharapkan bisa menjadi daya tarik wisatawan."
Nata menambahkan Pondok Wisata Tepi Ranau yang terletak di Pekon Kagungan, Lumbok Seminung, juga untuk mendukung kegiatan kepariwisataan apalagi di daerah ini juga sudah ada Pekon Wisata Tepian Ranau.
Selain peresmian Pondok Wisata Tepi Ranau, pada waktu yang sama Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Lampung Barat, juga akan menggelar Gebyar Pesona Lumbok Ranau (GPLR) V, pada 26—27 November.
Kepala Bidang Pariwisata Dinas Pariwisata dan Budaya Lampung Barat Arief Nugroho mengatakan GPLR akan diisi kegiatan menyusuri Danau Ranau, fotografi, ekshibisi paralayang, lomba perahu motor hias, dan lomba bakar ikan.
Kegiatan lain berupa gelar budaya tradisi Lampung Barat (tari dan lagu), pelayaran/jelajah Danau Ranau dengan perahu motor, lomba triatlon, dan lomba tarik tambang perahu jukung.
Selanjutnya, makan malam di pinggir Danau Ranau yang diisi dengan penampilan hasil perburuan foto dengan LCD. Pada hari terakhir, 27 November, digelar lomba masu babui (berburu babi), lomba memancing keluarga, dan lomba ngera'as (memanah ikan).
"Sejumlah kegiatan itu diharapkan kawasan wisata Lumbok Seminung dengan objek Danau Ranau bisa lebih dikenal dan makin banyak dikunjungi wisatawan," ujar Arief. (HEN/R-2)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 16 November 2011
November 14, 2011
Mode: Tapis Lampung Pukau Pengunjung JFC
JAKARTA (Lampost): Sentuhan tapis Lampung karya Dee Ong dalam balutan busana kasual dan easy to wear mengundang decak kagum penonton Jakarta Fashion Week (JFC) di Pacific Place, Jakarta, Minggu (13-11).
TAPIS JFW 2011. Peragawati menunjukkan baju berbahan tapis khas Lampung karya perancang busana Dee Ong dalam acara Jakarta Fashion Week (JFW) tahun 2011 di Pasific Place, Jakarta, Minggu (13-11).
Pada sesi pertama, Dee menampilkan busana batik 118 yang sudah mendunia. Ciri khas batik rancangan Dee ialah tanpa jahitan. Dee menggunakan sentuhan bordir pinggir untuk semua busananya. Para model melangkah diiringi lantunan lagu Ketulusan yang dibawakan Reza Arthamevia.
Reza yang mengenakan kebaya krem berpadu celana tapis terlihat anggun dan energik.
Dee Ong mengangkat tema spesial My coffe in the famous tapis. Busana tapis ditampilkan pada sesi kedua dan ketiga.
Di ajang JFW ini, Dee menggandeng desainer muda Lampung berbakat Ziggy Zeaoryzabriskie atau yang akrab disapa Zea. Lima cocktail dress karya Zea tampil di sesi kedua.
Pada sesi ketiga, Reza kembali membawakan lagu Cintakan Membawamu ciptaan Ahmad Dhani. Gaun ketat putih membalut tubuh Reza. Bagian bawah gaun berbahan sifon ini dihiasi renda tapis motif rebung emas. Suara merdu Reza mengiringi peragaan busana tapis Dee.
Dari enam rancangan busana tapis Dee, empat di antaranya minidress. Tapis berwarna cokelat dan hitam menjadi dominan karena Dee mendekatkan tapis dengan kopi lampung yang merupakan ciri khas lampung.
Peragaan busana rancangan Dee Ong ini dihadiri Wakil Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Sapta Nirwandar, Ketua Dekranasda Bandar Lampung Eva Dwiana Herman H.N., dan Desainer Lampung Aan Ibrahim.
Kreasi tapis pada minidrees berupa siluet di samping kiri kanan. Siluet ini menambah kesan seksi dan ramping. Menurut Dee, tantangan terberat mendesain tapis adalah kainnya yang kaku dan berat, sehingga Dee memilih sifon dan kain-kain berbahan lembut sebagai padanannya.
"Saya ingin tapis dikenal oleh masyarakat Indonesia, paling tidak orang Lampung sendiri tidak malas lagi menggunakan tapis karena berat dan kaku," ujar Dee usai acara. RIN/S-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 14 November 2011
TAPIS JFW 2011. Peragawati menunjukkan baju berbahan tapis khas Lampung karya perancang busana Dee Ong dalam acara Jakarta Fashion Week (JFW) tahun 2011 di Pasific Place, Jakarta, Minggu (13-11).
Pada sesi pertama, Dee menampilkan busana batik 118 yang sudah mendunia. Ciri khas batik rancangan Dee ialah tanpa jahitan. Dee menggunakan sentuhan bordir pinggir untuk semua busananya. Para model melangkah diiringi lantunan lagu Ketulusan yang dibawakan Reza Arthamevia.
Reza yang mengenakan kebaya krem berpadu celana tapis terlihat anggun dan energik.
Dee Ong mengangkat tema spesial My coffe in the famous tapis. Busana tapis ditampilkan pada sesi kedua dan ketiga.
Di ajang JFW ini, Dee menggandeng desainer muda Lampung berbakat Ziggy Zeaoryzabriskie atau yang akrab disapa Zea. Lima cocktail dress karya Zea tampil di sesi kedua.
Pada sesi ketiga, Reza kembali membawakan lagu Cintakan Membawamu ciptaan Ahmad Dhani. Gaun ketat putih membalut tubuh Reza. Bagian bawah gaun berbahan sifon ini dihiasi renda tapis motif rebung emas. Suara merdu Reza mengiringi peragaan busana tapis Dee.
Dari enam rancangan busana tapis Dee, empat di antaranya minidress. Tapis berwarna cokelat dan hitam menjadi dominan karena Dee mendekatkan tapis dengan kopi lampung yang merupakan ciri khas lampung.
Peragaan busana rancangan Dee Ong ini dihadiri Wakil Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Sapta Nirwandar, Ketua Dekranasda Bandar Lampung Eva Dwiana Herman H.N., dan Desainer Lampung Aan Ibrahim.
Kreasi tapis pada minidrees berupa siluet di samping kiri kanan. Siluet ini menambah kesan seksi dan ramping. Menurut Dee, tantangan terberat mendesain tapis adalah kainnya yang kaku dan berat, sehingga Dee memilih sifon dan kain-kain berbahan lembut sebagai padanannya.
"Saya ingin tapis dikenal oleh masyarakat Indonesia, paling tidak orang Lampung sendiri tidak malas lagi menggunakan tapis karena berat dan kaku," ujar Dee usai acara. RIN/S-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 14 November 2011
November 13, 2011
[Smart Women] Lupita Lukman: Puisi Bukan Sebuah Topeng
SHANTIKA Lupita Sari -- lebih dikenal dengan nama Lupita Lukman -- cewek yang hobi menulis ini, telah menghasilkan banyak karya puisi saat masih tercatat sebagai mahasiswi.
Baginya tulisan merupakan media penting untuk membuka cakrawala pengetahuan. Sebab itu, tulisan sering juga disebut jendela informasi. Keberadaannya pun sangat dibutuhkan, karena melalui tulisan manusia mampu berkembang dan mewariskan berbagai karya pengetahuannya kepada para pewarisnya.
Shantika mengatakan, sejak masih usia belia telah menyenangi hobi menulis. Kemudian, hobi ini berlanjut dan diasah ketika duduk di perguruan tinggi melalui Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila. Di lembaga kemahasiswaan kampus ini, ia banyak menggali ilmu dan informasi, khususnya berkaitan dengan karya sastra.
"Puisi bagi saya adalah karya sastra yang menarik, sebab melalui media ini saya dapat merefleksikan suatu keadaan dengan sebenar - benarnya melalui sebuah karya. Lebih dari itu, karya puisi bukanlah sebuah topeng dari pribadi seseorang, tapi lebih pada refleksi apa adanya.
Misalnya, ketika kita menelurkan sebuah puisi tentang sesuatu yang bijak, maka harus sesuai dengan kepribadian si penulis. Jadi maknanya lebih riil, dan tidak mengada-ada atau bahkan untuk menutupi kekurangan diri. Intinya, saya memaknai karya tulis ini sebagai perwujudan pandangan sesuai dengan hati dan jati diri," ungkap alumnus FE Unila ini.
Belajar Banyak dengan Para Senior
Menghasilkan sebuah karya puisi bukanlah pekerjaan mudah. Sebab, selain dibutuhkan suasana yang mendukung saat pembuatannya, aktivitas ini juga membutuhkan sebuah bakat. Bakat di sini, diartikan Shantika Lupita Sari sebagai sebuah bawaan pribadi dari seorang
Menurutnya, untuk membuat karya apapun, termasuk puisi dibutuhkan sebuah kenyamaan bagi pelakunya. Tentunya tidak dapat dipaksakan, namun tumbuh secara alami. Selain itu, seorang yang memiliki bakat puisi, biasanya memiliki kepekaan tersendiri yang berbeda dengan individu lainnya.
Shantika menambahkan, meski memiliki bakat, untuk optimalnya kemampuan tetap harus diasah dengan belajar dengan maksimal. Banyak media untuk mengasah kemampuan ini, misalnya melalui kelompok pecinta puisi, guru khusus, senior yang berkecimpung di dunia puisi, penyair profesional, dan banyak media lainnya.
"Sejatinya puisi adalah dunia sosial, karena secara khusus seorang penulis puisi memiliki kepekaan akan keadaan sekitarnya.Sebab itu, selain mengamati, Ia (penulis) juga harus terjun langsung pada kondisi tersebut.
Secara pribadi, banyak media yang saya gunakan untuk mengasah ilmu tentang dunia tulis ini. Seperti belajar dengan para senior, guru (penyair) dan alumni di UKMBS Unila. Di antaranya, Ari Pahala, Jimmy Maruli, dan Isbedi Stiawan," katanya.
Esensi Karya Sastra adalah Jiwa
Lupita mengatakan, sebuah karya puisi tidak hanya dapat dilihat dari bentuk fisik semata. Lebih dari itu, esensi dari karya sastra ini lebih pada jiwa, kepekaan, dan cara pandang tentang segala sesuatu pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki bakat seni ini. Termasuk dirinya, yang kini berkecimpung di dunia kerja.
Cewek yang tercatat sebagai sekretaris direksi PT Lautan Teduh ini mengaku, jiwa seni yang telah ada sejak kecil tidak mungkin hilang begitu saja. Meski kini telah terjun di dunia kerja yang tidak berhubungan langsung dengan hobinya.
Namun dalam penerapan aktivitas, kemampuannya ini ternyata cukup membantu. Misalnya saja, dalam bersikap, memandang suatu persoalan, memahami karakter idividu sosial di sekitarnya, dan lain sebagainya.
Meski tidak lagi memproduksi karya puisi yang dapat dinikmati masyarakat seperti ketika masih berstatus mahasiswa dulu. Namun secara pribadi, kegiatannya ini tetap dikerjakannya di waktu senggang.
Beberapa karya sebatas konsumsi pribadi, dimana karyanya ini menjadi suatu bahan renungan, intropeksi, dan refleksi dirinya terhadap segala sesuatu yang dilihat dan dirasa. Kemudian mampu divisualisasikan melalui goresan penanya menjadi sebuah produk yang bernama puisi.
"Meski secara tampak mata, rutinitas kerja yang saya lakoni tidak berhubungan dengan aktivitas sebelumnya. Tapi, dari segi esensinya cukup memiliki keterkaitan atau benang merahnya. Contoh kecilnya, tentang bagaimana saya memandang dunia kerja, dengan kacamata seorang pecinta seni.
Secara khusus, di waktu senggang saya tetap menggali ilmu dan informasi dari berbagai media. Biasanya, saya tetap membaca berbagai buku, menonton film dan berita. Dengan ini, saya berharap akan mampu memahami segala persoalan yang terjadi di lingkungan sosial, mulai dari ekonomi, politik, keagamaan, dan persoalan lainnya," ungkapnya.
Menjadi Penyair Dibutuhkan Kejujuran
Menurut Lupita, puisi adalah sebuah karya sastra yang mampu merefleksikan sesuatu dengan apa adanya. Sebab itu, untuk menjadi penyair dibutuhkan sebuah kejujuran, ilmu pengetahuan, wawasan, independensi, dan pemahaman terhadap produk puisi itu sendiri. Misalnya, pada pergaulan sosial, politik, ekonomi, dan lain sebagainya.
Sudut pandang ini, kemudian diterjemahkan melalui sebuah karya yang diharapkan mampu mengakomodir dan bermanfaat bagi diri sendiri serta banyak orang. Sebab itu, penulis puisi sering disebut sebagai seorang pengamat. Hasil dari pengamatan umum tersebut, kemudian di aplikasikan sesuai dengan sudut pandang (angle) seorang penyair yang tidak umum.
"Ketika masih berstatus mahasiswa, cukup intens saya menghasilkan karya puisi untuk dipublikasikan. Namun, saat ini kegiatan tersebut tidak saya lakoni lagi. Alasannya, bagi saya untuk menjaga kemurnian (kesucian) dari tiap karya tulis yang dihasilkan.
Namun demikian, meski telah berkecimpung di dunia kerja. Kegiatan menulis ini tetap saya lakukan, tapi sebatas konsumsi pribadi saja dan tidak dipublikasikan," katanya.
Shantika mengatakan, untuk menghasilkan puisi tidak terbatas ruang dan waktu, karena karya sastra ini sifatnya universal. Meski bergitu, untuk menciptakannya tetap dituntut sebuah kejujuran. Sejauh ini, karya puisi yang dihasilkannya bertema cinta, alam, politik, religi, dan banyak tema lainnya.
Diakuinya, aktif menulis ketika masih berstatus mahasiswa, yakni pada tahun 2003 - 2007 lalu. Adapun hasil karyanya tersebut tidak kurang dari 100 puisi, 50 buah di antaranya dipublikasikan di media lokal hingga nasional:Kompas, Media Indonesia, dan Koran Tempo. (ferika)
BIOFILE
Nama : Lupita Lukman (Shantika Lupita Sari)
Panggilan : Shantika
Lahir : Bandar Lampung, 17 MAret 1985
Alamat : Jalan Panglima Polim, Segala Mider, Bandar Lampung
Pekerjaan : Sekretaris Direksi PT Lautan Teduh
Sumber: Tribun Lampung, Minggu, 13 November 2011
Baginya tulisan merupakan media penting untuk membuka cakrawala pengetahuan. Sebab itu, tulisan sering juga disebut jendela informasi. Keberadaannya pun sangat dibutuhkan, karena melalui tulisan manusia mampu berkembang dan mewariskan berbagai karya pengetahuannya kepada para pewarisnya.
Shantika mengatakan, sejak masih usia belia telah menyenangi hobi menulis. Kemudian, hobi ini berlanjut dan diasah ketika duduk di perguruan tinggi melalui Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila. Di lembaga kemahasiswaan kampus ini, ia banyak menggali ilmu dan informasi, khususnya berkaitan dengan karya sastra.
"Puisi bagi saya adalah karya sastra yang menarik, sebab melalui media ini saya dapat merefleksikan suatu keadaan dengan sebenar - benarnya melalui sebuah karya. Lebih dari itu, karya puisi bukanlah sebuah topeng dari pribadi seseorang, tapi lebih pada refleksi apa adanya.
Misalnya, ketika kita menelurkan sebuah puisi tentang sesuatu yang bijak, maka harus sesuai dengan kepribadian si penulis. Jadi maknanya lebih riil, dan tidak mengada-ada atau bahkan untuk menutupi kekurangan diri. Intinya, saya memaknai karya tulis ini sebagai perwujudan pandangan sesuai dengan hati dan jati diri," ungkap alumnus FE Unila ini.
Belajar Banyak dengan Para Senior
Menghasilkan sebuah karya puisi bukanlah pekerjaan mudah. Sebab, selain dibutuhkan suasana yang mendukung saat pembuatannya, aktivitas ini juga membutuhkan sebuah bakat. Bakat di sini, diartikan Shantika Lupita Sari sebagai sebuah bawaan pribadi dari seorang
Menurutnya, untuk membuat karya apapun, termasuk puisi dibutuhkan sebuah kenyamaan bagi pelakunya. Tentunya tidak dapat dipaksakan, namun tumbuh secara alami. Selain itu, seorang yang memiliki bakat puisi, biasanya memiliki kepekaan tersendiri yang berbeda dengan individu lainnya.
Shantika menambahkan, meski memiliki bakat, untuk optimalnya kemampuan tetap harus diasah dengan belajar dengan maksimal. Banyak media untuk mengasah kemampuan ini, misalnya melalui kelompok pecinta puisi, guru khusus, senior yang berkecimpung di dunia puisi, penyair profesional, dan banyak media lainnya.
"Sejatinya puisi adalah dunia sosial, karena secara khusus seorang penulis puisi memiliki kepekaan akan keadaan sekitarnya.Sebab itu, selain mengamati, Ia (penulis) juga harus terjun langsung pada kondisi tersebut.
Secara pribadi, banyak media yang saya gunakan untuk mengasah ilmu tentang dunia tulis ini. Seperti belajar dengan para senior, guru (penyair) dan alumni di UKMBS Unila. Di antaranya, Ari Pahala, Jimmy Maruli, dan Isbedi Stiawan," katanya.
Esensi Karya Sastra adalah Jiwa
Lupita mengatakan, sebuah karya puisi tidak hanya dapat dilihat dari bentuk fisik semata. Lebih dari itu, esensi dari karya sastra ini lebih pada jiwa, kepekaan, dan cara pandang tentang segala sesuatu pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki bakat seni ini. Termasuk dirinya, yang kini berkecimpung di dunia kerja.
Cewek yang tercatat sebagai sekretaris direksi PT Lautan Teduh ini mengaku, jiwa seni yang telah ada sejak kecil tidak mungkin hilang begitu saja. Meski kini telah terjun di dunia kerja yang tidak berhubungan langsung dengan hobinya.
Namun dalam penerapan aktivitas, kemampuannya ini ternyata cukup membantu. Misalnya saja, dalam bersikap, memandang suatu persoalan, memahami karakter idividu sosial di sekitarnya, dan lain sebagainya.
Meski tidak lagi memproduksi karya puisi yang dapat dinikmati masyarakat seperti ketika masih berstatus mahasiswa dulu. Namun secara pribadi, kegiatannya ini tetap dikerjakannya di waktu senggang.
Beberapa karya sebatas konsumsi pribadi, dimana karyanya ini menjadi suatu bahan renungan, intropeksi, dan refleksi dirinya terhadap segala sesuatu yang dilihat dan dirasa. Kemudian mampu divisualisasikan melalui goresan penanya menjadi sebuah produk yang bernama puisi.
"Meski secara tampak mata, rutinitas kerja yang saya lakoni tidak berhubungan dengan aktivitas sebelumnya. Tapi, dari segi esensinya cukup memiliki keterkaitan atau benang merahnya. Contoh kecilnya, tentang bagaimana saya memandang dunia kerja, dengan kacamata seorang pecinta seni.
Secara khusus, di waktu senggang saya tetap menggali ilmu dan informasi dari berbagai media. Biasanya, saya tetap membaca berbagai buku, menonton film dan berita. Dengan ini, saya berharap akan mampu memahami segala persoalan yang terjadi di lingkungan sosial, mulai dari ekonomi, politik, keagamaan, dan persoalan lainnya," ungkapnya.
Menjadi Penyair Dibutuhkan Kejujuran
Menurut Lupita, puisi adalah sebuah karya sastra yang mampu merefleksikan sesuatu dengan apa adanya. Sebab itu, untuk menjadi penyair dibutuhkan sebuah kejujuran, ilmu pengetahuan, wawasan, independensi, dan pemahaman terhadap produk puisi itu sendiri. Misalnya, pada pergaulan sosial, politik, ekonomi, dan lain sebagainya.
Sudut pandang ini, kemudian diterjemahkan melalui sebuah karya yang diharapkan mampu mengakomodir dan bermanfaat bagi diri sendiri serta banyak orang. Sebab itu, penulis puisi sering disebut sebagai seorang pengamat. Hasil dari pengamatan umum tersebut, kemudian di aplikasikan sesuai dengan sudut pandang (angle) seorang penyair yang tidak umum.
"Ketika masih berstatus mahasiswa, cukup intens saya menghasilkan karya puisi untuk dipublikasikan. Namun, saat ini kegiatan tersebut tidak saya lakoni lagi. Alasannya, bagi saya untuk menjaga kemurnian (kesucian) dari tiap karya tulis yang dihasilkan.
Namun demikian, meski telah berkecimpung di dunia kerja. Kegiatan menulis ini tetap saya lakukan, tapi sebatas konsumsi pribadi saja dan tidak dipublikasikan," katanya.
Shantika mengatakan, untuk menghasilkan puisi tidak terbatas ruang dan waktu, karena karya sastra ini sifatnya universal. Meski bergitu, untuk menciptakannya tetap dituntut sebuah kejujuran. Sejauh ini, karya puisi yang dihasilkannya bertema cinta, alam, politik, religi, dan banyak tema lainnya.
Diakuinya, aktif menulis ketika masih berstatus mahasiswa, yakni pada tahun 2003 - 2007 lalu. Adapun hasil karyanya tersebut tidak kurang dari 100 puisi, 50 buah di antaranya dipublikasikan di media lokal hingga nasional:Kompas, Media Indonesia, dan Koran Tempo. (ferika)
BIOFILE
Nama : Lupita Lukman (Shantika Lupita Sari)
Panggilan : Shantika
Lahir : Bandar Lampung, 17 MAret 1985
Alamat : Jalan Panglima Polim, Segala Mider, Bandar Lampung
Pekerjaan : Sekretaris Direksi PT Lautan Teduh
Sumber: Tribun Lampung, Minggu, 13 November 2011
[Wawancara] ‘Kick Andy’ Dipilih karena ‘Rating’-nya Bagus
DESEMBER tahun lalu, talk show Kick Andy menayangkan kiprah para peneliti hebat asal Indonesia yang berkiprah di negeri-negeri maju di Amerika, Eropa, Jepang, dan lainnya. Acara itu antara lain diprakarsai oleh putra Lampung yang juga menjadi peneliti dunia. Ia adalah Achmad Adhitya, direktur eksekutif Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4).
Adit, panggilan akrabnya, sadar betul publikasi itu penting. Oleh sebab itu, ia dan teman-teman di I-4 mesti menyosialisasikan lembaga itu ke masyarakat Indonesia. Dan televisi menjadi pilihan. "Kami pilih Kick Andy sebagai sarana untuk memperkenalkan I-4 dan orang-orang hebat Indonesia di luar negeri," kata dia.
Adit menjelaskan Kick Andy dipilih karena rating-nya bagus, programnya menginspirasi, dan bisa punya dampak yang luas. Meski demikian, saat bertemu sang host, Andy F. Noya, Adit keder juga. Setelah janji bertemu menawarkan kerja sama, Adit dan Andy bertemu.
"Pak Andy sibuk banget. Waktu ketemu, dia cuma kasih waktu kurang dari 10 menit untuk kami presentasi. Itu pun tidak langsung oke. Dia mau verifikasi dulu soal kami dan ilmuwan Indonesia di luar negeri."
Akhirnya, acara pun digelar pada Desember tahun lalu. "Narasumber yang hadir waktu itu Prof. Dr. Ken Soetanto dari Waseda University Jepang, Dr. Johny Setiawan dari Max Planck Institute Jerman, Dr. Juliana Soetanto dari ETH Zurich Swiss, Dr. Muhammad Reza dari Abb Swedia, Dr. Andreas Raharso dari Haygroup Singapura, dan Dr. Irwandi Jaswir dari International Islamic University of Malaysia (IIUM)." (ADIAN SAPUTRA/M-1)
BIODATA
Nama: Achmad Adhitya
Kelahiran: Tanjungkarang, 13 Oktober 1979
Ayah: Maramis Syukri
Ibu : Yusnani Hasyimzoem
Saudara: 1. Dicky Ferdiansyah (arsitek junior di SBA Stuttgart, Jerman)
2. Renny Ferbiyanti (co-ass di RSUDAM, Bandar Lampung)
Pendidikan:
SDN 2 Rawalaut Tanjungkarang
SMP Xaverius Tanjungkarang
SMAN 2 Bandar Lampung
Universitas Brawijaya, Malang (teknik)
University of Kiel, Jerman (geologi pantai dan teknik)
University of Leiden, Belanda (kelautan)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 November 2011
Adit, panggilan akrabnya, sadar betul publikasi itu penting. Oleh sebab itu, ia dan teman-teman di I-4 mesti menyosialisasikan lembaga itu ke masyarakat Indonesia. Dan televisi menjadi pilihan. "Kami pilih Kick Andy sebagai sarana untuk memperkenalkan I-4 dan orang-orang hebat Indonesia di luar negeri," kata dia.
Adit menjelaskan Kick Andy dipilih karena rating-nya bagus, programnya menginspirasi, dan bisa punya dampak yang luas. Meski demikian, saat bertemu sang host, Andy F. Noya, Adit keder juga. Setelah janji bertemu menawarkan kerja sama, Adit dan Andy bertemu.
"Pak Andy sibuk banget. Waktu ketemu, dia cuma kasih waktu kurang dari 10 menit untuk kami presentasi. Itu pun tidak langsung oke. Dia mau verifikasi dulu soal kami dan ilmuwan Indonesia di luar negeri."
Akhirnya, acara pun digelar pada Desember tahun lalu. "Narasumber yang hadir waktu itu Prof. Dr. Ken Soetanto dari Waseda University Jepang, Dr. Johny Setiawan dari Max Planck Institute Jerman, Dr. Juliana Soetanto dari ETH Zurich Swiss, Dr. Muhammad Reza dari Abb Swedia, Dr. Andreas Raharso dari Haygroup Singapura, dan Dr. Irwandi Jaswir dari International Islamic University of Malaysia (IIUM)." (ADIAN SAPUTRA/M-1)
BIODATA
Nama: Achmad Adhitya
Kelahiran: Tanjungkarang, 13 Oktober 1979
Ayah: Maramis Syukri
Ibu : Yusnani Hasyimzoem
Saudara: 1. Dicky Ferdiansyah (arsitek junior di SBA Stuttgart, Jerman)
2. Renny Ferbiyanti (co-ass di RSUDAM, Bandar Lampung)
Pendidikan:
SDN 2 Rawalaut Tanjungkarang
SMP Xaverius Tanjungkarang
SMAN 2 Bandar Lampung
Universitas Brawijaya, Malang (teknik)
University of Kiel, Jerman (geologi pantai dan teknik)
University of Leiden, Belanda (kelautan)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 November 2011
[Wawancara] Achmad Adhitya, Direktur Eksekutif Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4): 'Kami Bekerja untuk Indonesia’
RATUSAN ilmuwan hebat asal Indonesia bekerja di kampus-kampus di Amerika, Eropa, dan Asia. Mereka digunakan oleh negeri maju, tetapi kurang mendapat perhatian di negeri sendiri.
Ternyata, banyak anak bangsa Indonesia yang mempunyai kualitas luar biasa. Namun, di sisi lain, ada yang terasa janggal: mengapa nama mereka selama ini tidak dikenal di Indonesia dan kontribusi mereka buat Indonesia sepi-sepi saja.
Itulah yang kemudian membuat Achmad Adhitya, alumnus SMAN 2 Bandar Lampung yang sedang studi doktor bidang kelautan Universitas Leiden, Belanda, ini terpanggil untuk berbuat. Akhirnya, Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) berdiri, dan ia menjabat direktur eksekutif. Kepada wartawan Lampung Post Adian Saputra, Adit, sapaan akrab Achmad Adhitya, membeberkan semuanya. Berikut petikan wawancara pada Selasa (8-11) di kantin kampus Darmajaya usai Adit memberikan kuliah soal kiat kuliah di luar negeri.
Apa gagasan Anda bersama ilmuwan lain dalam I-4 buat Indonesia?
Begini. I-4 dibentuk pada 5 Juli 2009 oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia di seluruh dunia. Ikatan ini dibentuk dengan harapan menguatkan komunikasi antarilmuwan dan profesional Indonesia di luar negeri.
Dalam dua tahun pendiriannya, kami telah memiliki database sekitar 800-an ilmuwan Indonesia yang berkiprah di luar negeri. Dalam dua tahun ini, kami terlibat dalam kegiatan workshop, seminar, ataupun sosialisasi tentang pentingnya berkuliah sampai keluar negeri, menjalin kerja sama dengan sektor swasta, dan mendorong terbentuknya proyek riil di Indonesia.
Kami juga punya board director. Ada Dr. Andreas Raharso, konsultan kementerian kabinet Presiden Barack Obama yang berbasis di Singapura; Dr. Riza Muhida, dosen di Malaysia; Dr. Taruna Ikrar, dosen di Universitas California.
Berdasar pengalaman, apa yang Anda temukan dalam mengaplikasikan gagasan itu ke ranah konkret di Indonesia?
Ada dua hal yang menjadi kendala utama kami untuk menjadikan Indonesia sebagai bagian dan proyek penelitian internasional. Pertama soal sikap pemerintah. Yang kami kerjakan ini kan penelitian, riset. Masa belum apa-apa kami sudah ditantang untuk segera mengaplikasikan hasil riset di Indonesia. Yang begitu tentu tidak bisa karena riset kan butuh waktu, proses, tidak asal jadi.
Yang kedua birokrasi. Semua ilmuwan dalam I-4 terbiasa bekerja fokus pada objek yang diteliti. Akan sulit buat kami untuk mengurus semua perihal administrasi yang lapisannya sangat banyak. Kami kan saintis murni, mungkin itu yang menyulitkan kami jika mesti melewati semua pintu birokrasi. Meski demikian, kami tahu ada beberapa yang memang sudah prosedur, tetapi secara keseluruhan birokrasi Indonesia memang rumit.
Lalu, jika kondisinya demikian, apa yang dilakukan?
Maka itu, kami yang di I-4 juga melakukan pendekatan ke sektor swasta. Misalnya, kami dekati Shell untuk memberikan beasiswa kepada mahasiswa untuk program doktor. Mereka sepakat. Kami yang urus ke Kementerian Pendidikan Nasional. Kemudian kami juga sedang menjajaki Pertamina untuk program penyimpanan energi untuk rakyat. Mereka juga oke.
Dari pengalaman, ada kalanya kemudahan itu karena kita tepat memilih orang. Di birokrasi tidak semua ribet. Mantan Wakil Menteri Pendidikan Fasli Djalal kami pandang punya visi yang bagus soal aktivitas ini. Dia juga banyak membantu. Dia juga banyak memangkas sistem birokrasi yang rumit buat kemajuan ilmuwan Indonesia.
Bagaimana dengan nasib ilmuwan di dalam negeri, apakah termasuk dalam ranah kerja I-4?
Oh, kalau itu jelas. Desember lalu kami mengadakan interntional summit. Ini mempertemukan 500 ilmuwan dalam dan luar negeri. Tujuannya, menginisiasi proyek penelitian dan alhamdulillah sebagian besar berjalan. Ada karena kesamaan program penelitian, bisa digarap bareng. Kalau ini berjalan, kami yakin imbasnya luar biasa.
Keuntungan lain, teknologi di luar negeri yang dibikin anak banga bisa dipakai di Indonesia. Contoh, Dr. Khoirul Anwar, asisten profesor di Japan Institute of Science and Technology, sudah membikin cip 4-G yang setara dengan teknologi iPhone. Cip itu dipakai satelit di Jepang untuk menyiarkan berita. Bayangkan, kalau suatu waktu itu dipakai di Indonesia. Kita bisa bikin iPhone asli Indonesia, terserah namanya apa. Jumadi, misalnya. Tapi, performanya setara iPhone. Kita jelas bangga bahwa orang Indonesia sanggup membuat ini.
Tapi, syaratnya itu tadi, pemerintah tidak bisa menuntut dalam satu tahun barangnya sudah jadi. Bisa jadi ini riset sepuluh tahun, tetapi ketika jadi, akan jadi kebanggaan Indonesia. Cara pandang seperti inilah yang mestinya tertanam di benak birokrat Indonesia.
Soal penghasilan, di luar negeri tentu cukup baik, tetapi di Indonesia berdasar data terakhir peneliti paling senior saja cuma mendapat Rp5,2 juta. Bagaimana I-4 menyikapi ini?
Saya tidak menafikan itu. Saya amsalkan begini. Gaji saya sebagai peneliti di Belanda bersih 2.000 euro. Itu setara Rp25 juta. Sebulan saya masih bisa bersih menabung 1.000 euro atau Rp13 juta. Di Indonesia, orang selevel saya dihargai Rp4 juta. Culture shock sudah pasti. Dari yang punya uang sebesar itu tiba-tiba mesti dapat tax home pay kecil.
Itu satu. Kedua, soal kepuasan batin. Dengan uang yang cukup, kami bisa melakukan riset sesuai dengan keahlian kami, sedangkan jika kami pindah, tentu dana buat riset tak akan cukup dan itu tidak memuaskan batin kami. Ketiga, persoalan infrastruktur. Pemerintah tidak menyiapkan infrastruktur yang cukup untuk ilmuwan, semua terbatas dan belum ada kesungguhan untuk memenuhi itu. Namun, begini, kami juga bekerja buat Indonesia.
Keberadaan I-4 juga membuka akses buat mahasiswa Indonesia untuk belajar ke luar negeri. Kami berkeliling Indonesia, menjelaskan betapa ada peluang belajar dan berkarier di luar negeri. Itu darma bakti kami kepada Ibu Pertiwi. Kami ingin bertambah banyak orang Indonesia yang menjadi peneliti hebat di luar negeri dan suatu waktu mengaplikasikan risetnya di Indonesia. Kami juga bekerja untuk Indonesia.
Termasuk menangkis gugatan sebagian kalangan soal nasionalisme para ilmuwan Indonesia di luar negeri?
Begini. Kembali ke soal infrastruktur. Ada contoh. Di Universitas Berkeley, Amerika Serikat, ada Dr. George Anwar. Orang Indonesia. Dia doktor bidang mesin dan teknik nuklir. Dia berkata kepada saya, ia siap pulang ke Tanah Air. Meski gaji pas-pasan, ia tak masalah. Namun, infrastruktur di Indonesia tidak ada. Ia mau meneliti apa jika infrastrukturnya tidak disiapkan. Kalau mesti mengadakan semua oleh pribadi, jelas tidak mungkin.
Seorang teman sewaktu di Universitas Kiel di Jerman ngotot pulang. Ia ahli nanoteknologi. Setahun di Indonesia, ia balik ke Jerman. Kata dia, selama di Indonesia ia mengajar di bimbingan belajar Al Qolam. Bisa dibayangkan kan, seorang ahli nanoteknologi mengajar bimbel. Sayang ilmunya. Balik ke Jerman ia jadi project manager di Infineon.
Memang, soal infrastruktur bukan cuma kewajiban pemerintah, swasta juga mesti berperan. Sayangnya swasta di Indonesia ini ruang lingkupnya cuma dua: manufaktur dan menjual kembali. Risetnya enggak ada. Inilah pentingnya membangun intensitas antara ilmuwan Indonesia di dalam dan luar negeri.
Jadi, nasionalisme tak bisa diukur di mana kita beraktivitas?
Ya, menurut saya lebih kepada impact, dampaknya. Kami di I-4 mengupayakan itu semua. Nasionalisme tak bisa diukur dengan di mana kita meniti karier dan hidup. Asal ia punya impact buat bangsa, menurut kami itu lebih dari cukup. Ada cerita. Dr. Merlyna Liem, asli Indonesia juga. Dia profesor di Arizona State University. Kemudian ia pindah bekerja di Indonesia. Di Indonesia ia susah mencarikan beasiswa untuk mahasiswa program doktor.
Begitu ia balik lagi ke Arizona, dalam setahun ia bisa menolong tiga mahasiswa mengikuti program doktor di kampusnya. Nah, kita bisa timbang sendiri impact-nya buat Indonesia.
Bahkan, ilmuwan Indonesia di luar negeri itu dengan bangga mengatakan dirinya orang Indonesia dalam beragam konferensi internasional. Kampanye bahwa mereka orang Indonesia berjalan dengan baik.
Itu yang dilakukan Prof. Nelson Tansu, asli Sumatera Utara. Umur 26 tahun sudah profesor di Lehigh University, Amerika Serikat. Semua negara sudah ia kunjungi. Dan dalam setiap permulaan perkenalan sebelum presentasi, dia selalu bilang, "My name is Nelson Tansu and I am from Indonesia,". Bayangkan, stereotipe Indonesia soal terorisme, kemiskinan, dan stigma lain, luluh begitu tahu orang cerdas yang sedang berceramah itu asli Indonesia. Itu kan kebanggaan, nasionalis juga kan.
Bagaimana kans mahasiswa Indonesia, khususnya Lampung, untuk bisa kuliah di luar negeri?
Kami melihat secara SDM, kita bisa diadu. Anak Lampung juga beberapa sedang studi magister dan doktor di luar negeri. Sebetulnya kendala cuma dua, tapi ini urgen. Orang susah studi di luar negeri karena, pertama, informasi. Orang tidak tahu banyak. Bagaimana caranya, memulainya bagaimana, apa yang mesti disiapkan. Yang kedua, kesempatan. Beasiswa dari pemerintah kan minim, termasuk swasta yang memberi jalan untuk itu. Itulah sebab kami di I-4 sedang membuka jalan dan memberikan info seluas-luasnya buat mahasiswa Indonesia. Bahkan, semua kami berikan gratis. Kami juga siap membantu sampai mencarikan tempat hidup, mengenalkan dengan lingkungan sekitar, dan sebagainya.
Ini pengalaman. Sewaktu saya mau studi magister di Kiel, Jerman, saya mengeluarkan Rp50 juta hanya untuk "membeli" informasi soal studi, berkas, dan aplikasi yang mesti diisi, sampai tempat tinggal di sana. Sekarang, kalau ada mahasiswa Indonesia yang mau studi di Jerman atau Belanda, tak usah lagi menyewa biro jasa soal penyediaan informasi. Kami di I-4 siap membantu.
Apa yang paling membedakan kuliah di dalam dan luar negeri?
Kultur yang utama. Di luar, berdebat dengan dosen itu biasa. Kita tak perlu takut nilai bakal digencet karena banyak tanya. Di sini, berdebat dengan dosen acap berujung nilai kecil. Yang lain soal kemandirian. Kita bebas membaca buku apa saja dari ilmu yang kita pelajari. Dosen hanya motivator saja. Ia menerangkan yang umum, selanjutnya mahasiswa diberikan kebebasan. Itu yang langka di Indonesia.
Kemudian, di tingkat pendidikan dasar, level kecerdasan orang luar cenderung sama. Kalau di kita kan, bisa njomlang. Antara yang pintar dan yang enggak. Contoh, tukang sapu di luar bisa berbahasa asing minimal empat sampai lima, sementara di sini kan enggak. Itu karena pendidikan kita tidak membentuk manusianya dengan level kecerdasan yang rerata.
Kalau soal person to person, orang Indonesia bisa diadu kok, bahkan lebih unggul.
Oke, terakhir, apa bayangan Anda terhadap Indonesia dengan peran I-4?
Optimisme saya, jujur, meluap-luap ketika tahu betapa banyak orang pintar Indonesia berkiprah di luar negeri. Mereka akan kami manfaatkan untuk berbicara di depan mahasiswa Indonesia, bicara soal ilmu, bicara soal dunia.
Kami yakin, 400 ilmuwan the best of the best itu mau turun di musim panas mendatang. Ini akan membuat mahasiswa Indonesia bangga. Bayangkan kalau semua mahasiswa bisa bertemu Prof. Khoirul Anwar, Ken Soetanto, dekan non-Jepang pertama di Waseda University, Jepang, dan ratusan doktor lain. Pasti memberikan dampak luar biasa. Termasuk mendorong mahasiswa Lampung untuk belajar ke luar negeri. Kami di I-4 terus bekerja untuk itu.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 November 2011
Ternyata, banyak anak bangsa Indonesia yang mempunyai kualitas luar biasa. Namun, di sisi lain, ada yang terasa janggal: mengapa nama mereka selama ini tidak dikenal di Indonesia dan kontribusi mereka buat Indonesia sepi-sepi saja.
Itulah yang kemudian membuat Achmad Adhitya, alumnus SMAN 2 Bandar Lampung yang sedang studi doktor bidang kelautan Universitas Leiden, Belanda, ini terpanggil untuk berbuat. Akhirnya, Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) berdiri, dan ia menjabat direktur eksekutif. Kepada wartawan Lampung Post Adian Saputra, Adit, sapaan akrab Achmad Adhitya, membeberkan semuanya. Berikut petikan wawancara pada Selasa (8-11) di kantin kampus Darmajaya usai Adit memberikan kuliah soal kiat kuliah di luar negeri.
Apa gagasan Anda bersama ilmuwan lain dalam I-4 buat Indonesia?
Begini. I-4 dibentuk pada 5 Juli 2009 oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia di seluruh dunia. Ikatan ini dibentuk dengan harapan menguatkan komunikasi antarilmuwan dan profesional Indonesia di luar negeri.
Dalam dua tahun pendiriannya, kami telah memiliki database sekitar 800-an ilmuwan Indonesia yang berkiprah di luar negeri. Dalam dua tahun ini, kami terlibat dalam kegiatan workshop, seminar, ataupun sosialisasi tentang pentingnya berkuliah sampai keluar negeri, menjalin kerja sama dengan sektor swasta, dan mendorong terbentuknya proyek riil di Indonesia.
Kami juga punya board director. Ada Dr. Andreas Raharso, konsultan kementerian kabinet Presiden Barack Obama yang berbasis di Singapura; Dr. Riza Muhida, dosen di Malaysia; Dr. Taruna Ikrar, dosen di Universitas California.
Berdasar pengalaman, apa yang Anda temukan dalam mengaplikasikan gagasan itu ke ranah konkret di Indonesia?
Ada dua hal yang menjadi kendala utama kami untuk menjadikan Indonesia sebagai bagian dan proyek penelitian internasional. Pertama soal sikap pemerintah. Yang kami kerjakan ini kan penelitian, riset. Masa belum apa-apa kami sudah ditantang untuk segera mengaplikasikan hasil riset di Indonesia. Yang begitu tentu tidak bisa karena riset kan butuh waktu, proses, tidak asal jadi.
Yang kedua birokrasi. Semua ilmuwan dalam I-4 terbiasa bekerja fokus pada objek yang diteliti. Akan sulit buat kami untuk mengurus semua perihal administrasi yang lapisannya sangat banyak. Kami kan saintis murni, mungkin itu yang menyulitkan kami jika mesti melewati semua pintu birokrasi. Meski demikian, kami tahu ada beberapa yang memang sudah prosedur, tetapi secara keseluruhan birokrasi Indonesia memang rumit.
Lalu, jika kondisinya demikian, apa yang dilakukan?
Maka itu, kami yang di I-4 juga melakukan pendekatan ke sektor swasta. Misalnya, kami dekati Shell untuk memberikan beasiswa kepada mahasiswa untuk program doktor. Mereka sepakat. Kami yang urus ke Kementerian Pendidikan Nasional. Kemudian kami juga sedang menjajaki Pertamina untuk program penyimpanan energi untuk rakyat. Mereka juga oke.
Dari pengalaman, ada kalanya kemudahan itu karena kita tepat memilih orang. Di birokrasi tidak semua ribet. Mantan Wakil Menteri Pendidikan Fasli Djalal kami pandang punya visi yang bagus soal aktivitas ini. Dia juga banyak membantu. Dia juga banyak memangkas sistem birokrasi yang rumit buat kemajuan ilmuwan Indonesia.
Bagaimana dengan nasib ilmuwan di dalam negeri, apakah termasuk dalam ranah kerja I-4?
Oh, kalau itu jelas. Desember lalu kami mengadakan interntional summit. Ini mempertemukan 500 ilmuwan dalam dan luar negeri. Tujuannya, menginisiasi proyek penelitian dan alhamdulillah sebagian besar berjalan. Ada karena kesamaan program penelitian, bisa digarap bareng. Kalau ini berjalan, kami yakin imbasnya luar biasa.
Keuntungan lain, teknologi di luar negeri yang dibikin anak banga bisa dipakai di Indonesia. Contoh, Dr. Khoirul Anwar, asisten profesor di Japan Institute of Science and Technology, sudah membikin cip 4-G yang setara dengan teknologi iPhone. Cip itu dipakai satelit di Jepang untuk menyiarkan berita. Bayangkan, kalau suatu waktu itu dipakai di Indonesia. Kita bisa bikin iPhone asli Indonesia, terserah namanya apa. Jumadi, misalnya. Tapi, performanya setara iPhone. Kita jelas bangga bahwa orang Indonesia sanggup membuat ini.
Tapi, syaratnya itu tadi, pemerintah tidak bisa menuntut dalam satu tahun barangnya sudah jadi. Bisa jadi ini riset sepuluh tahun, tetapi ketika jadi, akan jadi kebanggaan Indonesia. Cara pandang seperti inilah yang mestinya tertanam di benak birokrat Indonesia.
Soal penghasilan, di luar negeri tentu cukup baik, tetapi di Indonesia berdasar data terakhir peneliti paling senior saja cuma mendapat Rp5,2 juta. Bagaimana I-4 menyikapi ini?
Saya tidak menafikan itu. Saya amsalkan begini. Gaji saya sebagai peneliti di Belanda bersih 2.000 euro. Itu setara Rp25 juta. Sebulan saya masih bisa bersih menabung 1.000 euro atau Rp13 juta. Di Indonesia, orang selevel saya dihargai Rp4 juta. Culture shock sudah pasti. Dari yang punya uang sebesar itu tiba-tiba mesti dapat tax home pay kecil.
Itu satu. Kedua, soal kepuasan batin. Dengan uang yang cukup, kami bisa melakukan riset sesuai dengan keahlian kami, sedangkan jika kami pindah, tentu dana buat riset tak akan cukup dan itu tidak memuaskan batin kami. Ketiga, persoalan infrastruktur. Pemerintah tidak menyiapkan infrastruktur yang cukup untuk ilmuwan, semua terbatas dan belum ada kesungguhan untuk memenuhi itu. Namun, begini, kami juga bekerja buat Indonesia.
Keberadaan I-4 juga membuka akses buat mahasiswa Indonesia untuk belajar ke luar negeri. Kami berkeliling Indonesia, menjelaskan betapa ada peluang belajar dan berkarier di luar negeri. Itu darma bakti kami kepada Ibu Pertiwi. Kami ingin bertambah banyak orang Indonesia yang menjadi peneliti hebat di luar negeri dan suatu waktu mengaplikasikan risetnya di Indonesia. Kami juga bekerja untuk Indonesia.
Termasuk menangkis gugatan sebagian kalangan soal nasionalisme para ilmuwan Indonesia di luar negeri?
Begini. Kembali ke soal infrastruktur. Ada contoh. Di Universitas Berkeley, Amerika Serikat, ada Dr. George Anwar. Orang Indonesia. Dia doktor bidang mesin dan teknik nuklir. Dia berkata kepada saya, ia siap pulang ke Tanah Air. Meski gaji pas-pasan, ia tak masalah. Namun, infrastruktur di Indonesia tidak ada. Ia mau meneliti apa jika infrastrukturnya tidak disiapkan. Kalau mesti mengadakan semua oleh pribadi, jelas tidak mungkin.
Seorang teman sewaktu di Universitas Kiel di Jerman ngotot pulang. Ia ahli nanoteknologi. Setahun di Indonesia, ia balik ke Jerman. Kata dia, selama di Indonesia ia mengajar di bimbingan belajar Al Qolam. Bisa dibayangkan kan, seorang ahli nanoteknologi mengajar bimbel. Sayang ilmunya. Balik ke Jerman ia jadi project manager di Infineon.
Memang, soal infrastruktur bukan cuma kewajiban pemerintah, swasta juga mesti berperan. Sayangnya swasta di Indonesia ini ruang lingkupnya cuma dua: manufaktur dan menjual kembali. Risetnya enggak ada. Inilah pentingnya membangun intensitas antara ilmuwan Indonesia di dalam dan luar negeri.
Jadi, nasionalisme tak bisa diukur di mana kita beraktivitas?
Ya, menurut saya lebih kepada impact, dampaknya. Kami di I-4 mengupayakan itu semua. Nasionalisme tak bisa diukur dengan di mana kita meniti karier dan hidup. Asal ia punya impact buat bangsa, menurut kami itu lebih dari cukup. Ada cerita. Dr. Merlyna Liem, asli Indonesia juga. Dia profesor di Arizona State University. Kemudian ia pindah bekerja di Indonesia. Di Indonesia ia susah mencarikan beasiswa untuk mahasiswa program doktor.
Begitu ia balik lagi ke Arizona, dalam setahun ia bisa menolong tiga mahasiswa mengikuti program doktor di kampusnya. Nah, kita bisa timbang sendiri impact-nya buat Indonesia.
Bahkan, ilmuwan Indonesia di luar negeri itu dengan bangga mengatakan dirinya orang Indonesia dalam beragam konferensi internasional. Kampanye bahwa mereka orang Indonesia berjalan dengan baik.
Itu yang dilakukan Prof. Nelson Tansu, asli Sumatera Utara. Umur 26 tahun sudah profesor di Lehigh University, Amerika Serikat. Semua negara sudah ia kunjungi. Dan dalam setiap permulaan perkenalan sebelum presentasi, dia selalu bilang, "My name is Nelson Tansu and I am from Indonesia,". Bayangkan, stereotipe Indonesia soal terorisme, kemiskinan, dan stigma lain, luluh begitu tahu orang cerdas yang sedang berceramah itu asli Indonesia. Itu kan kebanggaan, nasionalis juga kan.
Bagaimana kans mahasiswa Indonesia, khususnya Lampung, untuk bisa kuliah di luar negeri?
Kami melihat secara SDM, kita bisa diadu. Anak Lampung juga beberapa sedang studi magister dan doktor di luar negeri. Sebetulnya kendala cuma dua, tapi ini urgen. Orang susah studi di luar negeri karena, pertama, informasi. Orang tidak tahu banyak. Bagaimana caranya, memulainya bagaimana, apa yang mesti disiapkan. Yang kedua, kesempatan. Beasiswa dari pemerintah kan minim, termasuk swasta yang memberi jalan untuk itu. Itulah sebab kami di I-4 sedang membuka jalan dan memberikan info seluas-luasnya buat mahasiswa Indonesia. Bahkan, semua kami berikan gratis. Kami juga siap membantu sampai mencarikan tempat hidup, mengenalkan dengan lingkungan sekitar, dan sebagainya.
Ini pengalaman. Sewaktu saya mau studi magister di Kiel, Jerman, saya mengeluarkan Rp50 juta hanya untuk "membeli" informasi soal studi, berkas, dan aplikasi yang mesti diisi, sampai tempat tinggal di sana. Sekarang, kalau ada mahasiswa Indonesia yang mau studi di Jerman atau Belanda, tak usah lagi menyewa biro jasa soal penyediaan informasi. Kami di I-4 siap membantu.
Apa yang paling membedakan kuliah di dalam dan luar negeri?
Kultur yang utama. Di luar, berdebat dengan dosen itu biasa. Kita tak perlu takut nilai bakal digencet karena banyak tanya. Di sini, berdebat dengan dosen acap berujung nilai kecil. Yang lain soal kemandirian. Kita bebas membaca buku apa saja dari ilmu yang kita pelajari. Dosen hanya motivator saja. Ia menerangkan yang umum, selanjutnya mahasiswa diberikan kebebasan. Itu yang langka di Indonesia.
Kemudian, di tingkat pendidikan dasar, level kecerdasan orang luar cenderung sama. Kalau di kita kan, bisa njomlang. Antara yang pintar dan yang enggak. Contoh, tukang sapu di luar bisa berbahasa asing minimal empat sampai lima, sementara di sini kan enggak. Itu karena pendidikan kita tidak membentuk manusianya dengan level kecerdasan yang rerata.
Kalau soal person to person, orang Indonesia bisa diadu kok, bahkan lebih unggul.
Oke, terakhir, apa bayangan Anda terhadap Indonesia dengan peran I-4?
Optimisme saya, jujur, meluap-luap ketika tahu betapa banyak orang pintar Indonesia berkiprah di luar negeri. Mereka akan kami manfaatkan untuk berbicara di depan mahasiswa Indonesia, bicara soal ilmu, bicara soal dunia.
Kami yakin, 400 ilmuwan the best of the best itu mau turun di musim panas mendatang. Ini akan membuat mahasiswa Indonesia bangga. Bayangkan kalau semua mahasiswa bisa bertemu Prof. Khoirul Anwar, Ken Soetanto, dekan non-Jepang pertama di Waseda University, Jepang, dan ratusan doktor lain. Pasti memberikan dampak luar biasa. Termasuk mendorong mahasiswa Lampung untuk belajar ke luar negeri. Kami di I-4 terus bekerja untuk itu.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 November 2011
[Perjalanan] Melihat Bawah Laut Pahawang
MENYAKSIKAN keindahan terumbu karang, ternyata tidak harus jauh-jauh ke Bunaken atau Raja Ampat. Pantai Teluk Lampung juga memiliki potensi terumbu karang yang tidak kalah menarik untuk dipandangi sebagai keindahan alam.
Terumbu karang yang layak dilihat ada di pesisir Pulau Pahawang, Kabupaten Pesawaran. Pulau berpenduduk ini dapat ditempuh selama kurang lebih 90 menit dari Bandar Lampung.
Perjalanan menuju pulau yang kaya dengan tumbuhan mangrove ini dapat dicapai melalui Dermaga Ketapang. Dari dermaga menuju pulau ditempuh dengan kapal sedang selama 40 menit. Perjalanan menuju pulau menjadi bagian dari wisata yang sangat menyenangkan. Apalagi jika perjalanan dilakukan sore hari menjelang matarai tengelam. Pemadangan sunset menjadi hal yang begitu menyenangkan untuk diabadikan dalam foto.
Selama perjalanan menuju Pahawang, pemandangan pesisi Teluk Lampung yang berbukit-bukit begitu memesona. Dataran tinggi nan hijau bak penyambut alam tanda selamat datang.
Pahawang diapit dua pulau: Pulau Kelagian dan Pulau Lelangga. Sebelum melihat Pahawang, pemanangan Pulau Kelagian yang tidak kalah indah dapat dilihat dari atas kapal. Kelagian merupakan pulau tidak berpenghuni yang terlihat tenang dan damai. Ombak di Pahawang begitu kecil dan hampir tidak terasa. Hamparan pasir yang putih dan pantai yang lumayan bersih dan terawat. Yang menjadi keunikan di Pahawang adalah turumbu karang dan ikan yang masih terjaga. Dengan menggunakan alat-alat snorkling, keindahan kekayaan dan biota laut begitu dekat untuk dinikmati.
Menurut Buyung, pengelolan Mitra Wisata yang rutin memperkenalkan potensi bawah laut, di Pahawang ada beberapa spot menyelam yang indah untuk dilihat. Bahkan, ada satu spot yang memiliki keindangan terumbu karang berupa soft coral yang tidak kalah dengan Pualu Raja Ampat, Papua.
Keindahan terumbu karang dan ikan laut bisa dilihat hanya beberapa meter dari pinggir pantai. Kumpulan ikan warna-warni begitu dekat saat menyelami pantai Pahawang.
Beberapa jenis terumbu karang yang ada di pulau ini adalah karng jahe, karang kapur, karang otak, karang nanas, karang anemon, dan karang seroja. Jenis ikan yang masih ada di pulau, seperti ikan monyoyang hitam dan kuning, ikan batok biru, ikan tempala, dan ikan naso. Nama ikan dan terumbu karang ini yang biasa digunakan masyarakat Pahawang.
Salah seerang warga Pahawang yang biasa menyeleman, Sulaiman, mengungkapkan keberadaan terumbu karang dan ikan hiasa mulai banyak dibandingkan tahun 1990-an. Masyarakat sudah mulai sadar untuk tidak mengambil terumbu karang dan ikan hias. Penggunaan bom ikan yang menjadi penyebab rusaknya terumbu karang juga sudah dikurangi.
“Pelan-pelan ikan hias mulai banyak di pinggiran pantai. Ada beberpa ikan yang sempat hilang tapi kini muncul lagi seiring makin membaiknya kondisi pantai,” kata Sulaiman.
Menurut dia, ada beberapa jenis ikan hias yang memang sudah tidak ada lagi, seperti ikan brustun dan batman. Dahulu orang Pahawang mengambil ikan hias karena harganya cukup tinggi. Namun, kebiasaan itu sudah dikurangi kerena beberapa ikan dan karang dilindungi.
Menyelam menyaksikan ikan warna-warni dan beragam terumbu karang menjadi bagian dari wisata ke Pahawang. Laut yang tenang pemandangan pulau yang begitu indah membuat suasana menyelam begitu nikmat.
Keindahan ikan dan karang membuat mata tidak akan bosan untuk menyaksikan dan memandanginya. Namun, hati-hati bagi pemula karena karang di Pahawang tajam. Tangan atau kaki yang tergores akan menjadi hal biasa saat menyelam.
Keindahan lain yang bisa dinikmati adalah hutan mangrove yang begitu luas. Pulau memiliki mangrove seluas 1.402 ha. Pahawang memiliki 22 jenis mangrove dan di antaranya menjadi spesies khas yang hanya ada di Pulau berpenghuni ratusan kepala keluarga ini. Masyarakat Pahawang sangat ramah dalam menyambut tamu yang datang.
Senyum tulus dan sapaan akrab akan diterima setiap wisatawan yang masuk ke pulau. Beberapa warga yang tinggal adalah orang Lampung. Rumah-rumah sudah bergaya modern. Hampir semua rumah memiliki panel surya atau solar cell yang menjadi alat penyerah energi matahari untuk diubah menjadi listrik. Energi listrik yang dipakai warga sebagai berasal dari cahaya matahari. Namun, beberapa tetap menggunakan genset untuk mencukupi kebutuhan listrik.
Berdasar cerita yang berkembang di warga sekitar, nama “pahawang” memiliki dua versi. Nama diambil dari orang yang pertama kali tinggal di Pahawang. Ia dikenal dengan sebutan Mpok Hawang. Tidak ada yang tahu dari mana dia berasal tapi kuburan Mpok Hawang dipercaya masyarakat masih ada di hutan dalam pulau.
Versi kedua, orang yang tinggal di Pahawang adalah mereka yang berasal dari pesisir Pesawaran. Semua suplai makanan di Pahawang diambil dari pesisir. Pemberian suplai makanan dari pesisir ke pulau disebut pahaw yang merupakan bahasa Lampung. Lambat laun puhaw berkembang menjadi pahawang.
Terlepas mana kebenaran nama Pahawang, pulau ini menyimpan keindahan alam dan kekayaan laut yang luar biasa tapi belum banyak dikenal. Pemerintah pun belum mempromosikan Pahawang sebagai salah satu tujuan wisata Lampung. Keindahan laut Pahawang masih dikalahkan dengan Lombok, Bunaken, dan Raja Ampat. Kapan Pahawang akan dikenal dan menjadi destinasi wisata baru? (PADLI RAMDAN/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 November 2011
Terumbu karang yang layak dilihat ada di pesisir Pulau Pahawang, Kabupaten Pesawaran. Pulau berpenduduk ini dapat ditempuh selama kurang lebih 90 menit dari Bandar Lampung.
Perjalanan menuju pulau yang kaya dengan tumbuhan mangrove ini dapat dicapai melalui Dermaga Ketapang. Dari dermaga menuju pulau ditempuh dengan kapal sedang selama 40 menit. Perjalanan menuju pulau menjadi bagian dari wisata yang sangat menyenangkan. Apalagi jika perjalanan dilakukan sore hari menjelang matarai tengelam. Pemadangan sunset menjadi hal yang begitu menyenangkan untuk diabadikan dalam foto.
Selama perjalanan menuju Pahawang, pemandangan pesisi Teluk Lampung yang berbukit-bukit begitu memesona. Dataran tinggi nan hijau bak penyambut alam tanda selamat datang.
Pahawang diapit dua pulau: Pulau Kelagian dan Pulau Lelangga. Sebelum melihat Pahawang, pemanangan Pulau Kelagian yang tidak kalah indah dapat dilihat dari atas kapal. Kelagian merupakan pulau tidak berpenghuni yang terlihat tenang dan damai. Ombak di Pahawang begitu kecil dan hampir tidak terasa. Hamparan pasir yang putih dan pantai yang lumayan bersih dan terawat. Yang menjadi keunikan di Pahawang adalah turumbu karang dan ikan yang masih terjaga. Dengan menggunakan alat-alat snorkling, keindahan kekayaan dan biota laut begitu dekat untuk dinikmati.
Menurut Buyung, pengelolan Mitra Wisata yang rutin memperkenalkan potensi bawah laut, di Pahawang ada beberapa spot menyelam yang indah untuk dilihat. Bahkan, ada satu spot yang memiliki keindangan terumbu karang berupa soft coral yang tidak kalah dengan Pualu Raja Ampat, Papua.
Keindahan terumbu karang dan ikan laut bisa dilihat hanya beberapa meter dari pinggir pantai. Kumpulan ikan warna-warni begitu dekat saat menyelami pantai Pahawang.
Beberapa jenis terumbu karang yang ada di pulau ini adalah karng jahe, karang kapur, karang otak, karang nanas, karang anemon, dan karang seroja. Jenis ikan yang masih ada di pulau, seperti ikan monyoyang hitam dan kuning, ikan batok biru, ikan tempala, dan ikan naso. Nama ikan dan terumbu karang ini yang biasa digunakan masyarakat Pahawang.
Salah seerang warga Pahawang yang biasa menyeleman, Sulaiman, mengungkapkan keberadaan terumbu karang dan ikan hiasa mulai banyak dibandingkan tahun 1990-an. Masyarakat sudah mulai sadar untuk tidak mengambil terumbu karang dan ikan hias. Penggunaan bom ikan yang menjadi penyebab rusaknya terumbu karang juga sudah dikurangi.
“Pelan-pelan ikan hias mulai banyak di pinggiran pantai. Ada beberpa ikan yang sempat hilang tapi kini muncul lagi seiring makin membaiknya kondisi pantai,” kata Sulaiman.
Menurut dia, ada beberapa jenis ikan hias yang memang sudah tidak ada lagi, seperti ikan brustun dan batman. Dahulu orang Pahawang mengambil ikan hias karena harganya cukup tinggi. Namun, kebiasaan itu sudah dikurangi kerena beberapa ikan dan karang dilindungi.
Menyelam menyaksikan ikan warna-warni dan beragam terumbu karang menjadi bagian dari wisata ke Pahawang. Laut yang tenang pemandangan pulau yang begitu indah membuat suasana menyelam begitu nikmat.
Keindahan ikan dan karang membuat mata tidak akan bosan untuk menyaksikan dan memandanginya. Namun, hati-hati bagi pemula karena karang di Pahawang tajam. Tangan atau kaki yang tergores akan menjadi hal biasa saat menyelam.
Keindahan lain yang bisa dinikmati adalah hutan mangrove yang begitu luas. Pulau memiliki mangrove seluas 1.402 ha. Pahawang memiliki 22 jenis mangrove dan di antaranya menjadi spesies khas yang hanya ada di Pulau berpenghuni ratusan kepala keluarga ini. Masyarakat Pahawang sangat ramah dalam menyambut tamu yang datang.
Senyum tulus dan sapaan akrab akan diterima setiap wisatawan yang masuk ke pulau. Beberapa warga yang tinggal adalah orang Lampung. Rumah-rumah sudah bergaya modern. Hampir semua rumah memiliki panel surya atau solar cell yang menjadi alat penyerah energi matahari untuk diubah menjadi listrik. Energi listrik yang dipakai warga sebagai berasal dari cahaya matahari. Namun, beberapa tetap menggunakan genset untuk mencukupi kebutuhan listrik.
Berdasar cerita yang berkembang di warga sekitar, nama “pahawang” memiliki dua versi. Nama diambil dari orang yang pertama kali tinggal di Pahawang. Ia dikenal dengan sebutan Mpok Hawang. Tidak ada yang tahu dari mana dia berasal tapi kuburan Mpok Hawang dipercaya masyarakat masih ada di hutan dalam pulau.
Versi kedua, orang yang tinggal di Pahawang adalah mereka yang berasal dari pesisir Pesawaran. Semua suplai makanan di Pahawang diambil dari pesisir. Pemberian suplai makanan dari pesisir ke pulau disebut pahaw yang merupakan bahasa Lampung. Lambat laun puhaw berkembang menjadi pahawang.
Terlepas mana kebenaran nama Pahawang, pulau ini menyimpan keindahan alam dan kekayaan laut yang luar biasa tapi belum banyak dikenal. Pemerintah pun belum mempromosikan Pahawang sebagai salah satu tujuan wisata Lampung. Keindahan laut Pahawang masih dikalahkan dengan Lombok, Bunaken, dan Raja Ampat. Kapan Pahawang akan dikenal dan menjadi destinasi wisata baru? (PADLI RAMDAN/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 November 2011