KEPULAN asap tebal yang membubung tinggi dari sumber air panas Suoh, Lampung Barat, menjadi pesona khas dari atas Dusun Sukamarga. Keindahan ini tidak sendiri, bertemankan hamparan sawah, danau, dan pegunungan ilalang.
Pemandangan paling indah di Suoh dinikmati saat menjelang fajar. Ketika semua orang masih meringkuk dalam selimut dan mentari bersiap keluar dari peraduan. Panorama indah ini menjadi oasis di tengah gegap gempita masalah yang tak kunjung usai.
Satu tim Lampung Post yang terdiri dari Rinda, Kosim, dan Ikhsan melakukan perjalanan pekan lalu. Mereka didampingi Ahim, Padli, Bintar, dan Ali yang merupakan masyarakat sekitar.
Untuk menikmati pemandangan ini, kami menempuh perjalanan yang memacu adrenalin pada Sabtu (10-3) dini hari. Ada dua jalur yang bisa dipilih, yaitu jalur Sekincau—Suoh dan Kotaagung—Suoh. Namun, kami memilih jalur Kotaagung—Suoh karena jalannya sudah lebih baik dibandingkan jalur Sekincau.
Jalur ini memang tidak separah dulu, tetapi tetap mendebarkan. Jalan tanah merah dengan tanjakan, turunan, dan tikungan tajam membuat mobil beberapa kali terperosok lumpur basah. Memasuki Pekon Gunungdoh, kiri-kanan jalan gelap, tidak telihat rumah warga, rerimbunan pepohonan membuat bulu kuduk merinding.
Sempat terlintas apakah ada makhluk mistis yang akan menyapa kami? Ternyata di kegelapan hutan, hanya seekor induk babi bersama enam anaknya yang menampakkan diri. Keasyikan mereka mencari makan terganggu oleh lampu mobil. Keluarga babi ini langsung kocar-kacir masuk kebun kopi di seberang jalan.
Dua titik rawan, Rajabasa dan Gunungdoh, Tanggamus, juga kami lewati dengan penuh ketegangan. Tak pelak, saat pulang di siang hari berikutnya, kami dipalak preman setempat.
Kami sampai di puncak Suoh, Dusun Sukamarga, tepat sekitar pukul 05.00. Perjalanan melelahkan ini akhirnya terbayarkan. Dari badan pegunungan Cibitung ini, panorama Suoh memberi energi positif. Kepulan asap sumber air panas ibarat tungku jarangan besar yang sedang menanak air. Asap tebal tak henti-hentinya membubung tinggi ke udara.
Air panas Suoh ini merupakan sumber panas bumi terbesar di Lampung. Beberapa tahun terakhir sumber panas bumi ini mulai dilirik investor. Pemerintah Lampung ingin mengembangkan gas bumi menjadi sumber tenaga listrik.
Kami penasaran, apakah di keramikan, begitu masyarakat sekitar menyebutnya, sudah ada yang berubah? Masyarakat menyebut keramikan karena tanah yang disirami air belerang itu mengeras dan berwarna kuning seperti keramik.
Bahkan daun-daun, dahan, dan serangga yang jatuh di sana berubah menjadi karang-karang putih. Seperti formalin, kandungan air di lokasi ini bisa mengawetkan makhluk mati yang jatuh di sekitarnya.
Kami memutuskan mengunjungi lokasi menggunakan ojek khusus. Ojek ini menggunakan sok khusus sehingga mampu melewati jalan licin, tanjakan, dan turunan tajam.
Dari perkampungan penduduk, kami berkendara sekitar satu jam. Ada empat sepeda motor yang bergerak menuju lokasi. Kami diantar oleh Pak Emed, warga setempat. Sebenarnya jarak lokasi tidak terlalu jauh, tapi jalan buruk membuat waktu tempuh menjadi lama. “Maaf ini Mbak, jalannya buruk, motornya ya cuma gini,” kata Pak Emed yang memboncengkan saya. Mungkin dia agak risi karena jalan sepeda motor kerap membuat tubuh tergoncang hebat.
“Enggak apa-apa Pak, sudah biasa,” ujar saya singkat membayangkan setiap hari naik sepeda motor butut berangkat kerja. Tidak jauh beda, setiap melewati jalan berlubang atau polisi tidur, badan saya bergoncang dengan kuat.
Perjalanan menggunakan sepeda motor harus berakhir di persawahan. Selanjutnya kami berjalan kaki sekitar 2 kilometer menyusuri pematang sawah. Dari sini bau belerang mulai menyengat. Berhektare-hektare sawah yang ditanami padi masih hijau. Tanah vulkanik merupakan berkah bagi masyarakat Sukamarga. Tanaman tumbuh sangat subur.
“Kok belum ada yang dibangun ya Pak? Kan katanya mau dijadikan sumber listrik?” Tanya saya kepada Pak Emed. Padahal, saya membayangkan di sekitar sumber panas bumi ini sudah ada patok-patok atau fondasi bangunan.
“Belumlah Mbak, mereka kan baru survei aja ke sini,” kata Pak Emed. Pantas saja, enam tahun lalu saya ke sini, tidak ada yang berubah, kecuali daerah keramikan-nya yang semakin luas. (RINDA MULYANI/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Maret 2012
No comments:
Post a Comment