SUOH menjadi nama yang fenomenal di Lampung. Daerah dengan ketinggian 1.200 dpl (dari permukaan laut) di wilayah Lampung Barat ini menyebarkan pesona keindahan alam luar biasa. Namun, untuk mencapainya, membutuhkan perjuangan yang luar biasa.
Salah satu objek yang luar biasa itu adalah sumber panas bumi di Suoh. Lokasi ini dijaga oleh pemuda kampung. Tempat spektakuler ini ramai dikunjungi pada hari libur dan Lebaran. Mereka memasang kayu-kayu pembatas area yang tidak boleh diinjak.
“Kalau lubang-lubang kecil seperti ini diinjak akan menyembur air panas, kaki bisa melepuh,” kata Alkodri, pemuda kampung yang sering memandu para pengunjung.
Dia menceritakan suatu saat ada pengunjung yang melepuh tubuhnya karena melanggar batas yang sudah dipasang. “Sudah dikasih tahu agar jangan mendekat ke sana, tapi dia tidak mau mendengar. Akhirnya tercebur ke air panas itu, ya melepuh,” kata Kodri.
Untungnya, pemuda itu sempat ditolong dan ditarik warga setempat. “Tapi saya tidak tahu bagaimana nasibnya sekarang,” kata dia.
Di lokasi ini ada satu tempat yang menjadi favorit pasangan memadu cinta, yaitu hutan konservasi di belakang sumber air panas. Saat memasuki hutan, di salah satu pohon terdapat papan yang bertuliskan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Banyak bekas manusia di sini, mulai dari ukiran nama di dahan-dahan pohon sampai sampah makanan yang menumpuk.
Lokasi panas bumi ini ternyata tidak hanya di bagian depan saja. Di belakang hutan TNBBS itu juga terdapat kawah dengan air yang menggelegak. Bahkan danau kecil yang ada di samping lokasi itu berasap. “Ini masih luas ke belakang Mbak, di balik hutan sama ada sungai air panas yang bisa digunakan untuk mandi. Saya sering mengantar pengunjung ke sana,” ujar Alkodri.
Sebagian besar lokasi panas bumi sudah kami sambangi. Jarum jam menunjukkan pukul 15.00, kami tak ingin menyia-nyiakan waktu. Saat ditawarkan mandi di Danau Lebar kami langsung menyambutnya dengan gembira. Jalan setapak tanah kembali kami susuri.
Saya dan Pak Emed sampai duluan di bukit atas danau, menyusul rombongan yang lain. Saat saya melangkah turun, Pak Emed melarang saya. “Sebentar Mbak, saya lihat dulu, biasanya penguasa danau keluar sore-sore begini,” ujarnya.
“Oh, iya Pak,” jawab saya.
Terlintas mitos tentang makhluk gaib penunggu danau.
“Memangnya penguasa danaunya itu apa, Pak?” tanya saya penasaran.
“Buaya,” katanya.
“Buaya beneran apa jadi-jadian,” kejar saya. “Buaya benaran, Mbak,” kata Pak Emed.
Srrrr, nyali saya langsung menciut. Apalagi, kata Pak Emed, dia sering melihat buaya-buaya itu berdiam di pinggir danau pada sore hari.
Pak Emed mengisahkan dulu Danau Lebar ini menjadi tempat favorit nelayan mencari ikan. Dalam satu hari nelayan bisa menangkap 5 kuintal ikan jenis gabus, nila, betok, udang, dan kepor (sejenis ikan tawas). Warga pinggir danau serta para pengunjung juga suka berenang di danau. Namun, danau ini mendadak sepi sejak buaya-buaya di danau bekas rawa ini sering muncul ke permukaan. Apalagi, dua warga sudah menjadi korban.
“Pernah ada yang mancing di tengah danau, tiba-tiba menghilang, perahunya ditemukan dalam keadaan terbalik,” kisah Pak Emed.
Cerita ini bukan bualan belaka, warga sering menemukan telur buaya di dalam tanah pinggiran danau. Bahkan, beberapa warga mengambil telur itu untuk ditetaskan.
“Mau telur buaya, Mbak? Kalau masih ada sih, kemarin ada yang dapat 20 butir, dia mau netasin telur itu, tapi enggak netas-netas,” kata Pak Emed.
“Hehe, enggak lah, buat apa, Pak,” ujar saya.
Setelah mengamati pinggir danau dari kejauhan, saya, Ikhsan, dan Pak Emed turun ke bibir danau. Sementara rombongan yang lain memilih duduk di atas bukit menikmati pemandangan danau dari kejauhan.
Sesampainya di bawah, Pak Emed memapas semak yang tumbuh subur di pinggiran danau.
“Udah Pak, di sini aja,” ujar saya khawatir.
Kami masih berbincang tentang Danau Lebar ini sambil menunggu Ikhsan selesai mengambil beberapa angle foto. Kresek…semak berbunyi seolah ada hewan melata yang berjalan. Ups, saya kaget, ternyata hanya seekor kadal yang keluar dari semak-semak.
“Saya pikir buaya,” ujar saya spontan.
Ikhsan dan Pak Emed tertawa melihat muka saya yang pucat pasi.
“Cuma kadal Mbak, kalau buaya kan malah seru, kita ambil fotonya,” ujar Ikhsan berkelakar.
Sekitar 10 menit, kami berlalu dari bibir danau itu.
Di daerah ini ada tiga danau yang terbentuk sejak musibah gempa Liwa 1994, selain Danau Lebar, ada Danau Minyak dan Danau Asam. Danau Asam lah yang sekarang menjadi lokasi favorit untuk mandi dan berenang. Di danau ini, kami pun menceburkan diri. Pijakan kaki di tanah dasar danau membuat air cepat keruh. Brrrr, dingin juga mandi di danau pada sore hari.
Danau Asam menjadi ujung perjalanan sore hari itu. Kami kembali ke rumah warga tempat menginap semalam. Sesampai di rumah, kami disambut dengan menu satai ayam kampung. Hmmm, nikmat! Lelah, lapar, tuntas sudah! (RINDA MULYANI/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Maret 2012
No comments:
Post a Comment