TERTANTANG dari satu pertanyaan, “Bisakah bahasa wayang diganti dengan bahasa Lampung?”, Sumarlan mengawali “kekurangkerjaannya”.
“Hung wilaheng sekaring bawono......, hung.....” Suluk sebagai pembuka pertunjukan wayang kulit itu mengalun lirih dengan nada basso. Tak heran, sebab intonasi hampir seluruh bahasa Jawa memang lembut.
Bayangkan jika karakter dialek orang Lampung yang cenderung tinggi bahkan agak “ngeden”—maaf, melantunkan ayat-ayat wayang. Lebih membuat penasaran lagi, dialog-dialog antarwayang itu menggunakan bahasa Lampung. Nah, itulah yang dilakukan Sumarlan (42). Ah, api ceritane niku, Lan? Nyo, caro?
Sumarlan menjadi fenomenal dengan “kelakuannya” mengganti bahasa Jawa dengan bahasa Lampung untuk memainkan lakon wayang yang ia mainkan. “Awalnya saya cuma iseng. Lalu, ingin mencoba. Ternyata memang sangat sulit, tetapi akhirnya bisa,” kata dia di Baradatu, Way Kanan, pekan lalu.
Kuatnya keinginan itu sesungguhnya dari berita soal wayang yang sudah mendunia. Seni wayang Jawa yang sudah merakyat sudah banyak yang melakonkan dalam bahasa Inggris, Jepang, Italia, Prancis, dan lainnya. “Jadi, mengapa tidak bisa pakai bahasa Lampung,” ujarnya.
Dengan modal motivasi, Sumarlan mencoba untuk membidani pertujukan seni wayang berbahasa Lampung. Dalam sebuah kesempatan, ia tampil perdana di Rumah Inspirasi Blambangan Umpu, awal Maret 2012, dengan menggunakan bahasa Lampung.
Bapak dua putri warga Kampung Tiuh Balak Pasar, Baradatu, Way Kanan, menuturkan wayang adalah seni pertunjukan yang telah berusia lebih dari setengah milenium. Karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi yang indah serta sangat berharga kini telah mendunia di beberapa negara, seperti Jepang, India, dan Belanda.
Kecintaannya serta rasa turut bertanggung jawab melestarikan budaya bangsa, maka dirinya mencoba memberikan warna tersendiri dengan menampilkan pertunjukan wayang menggunakan bahasa Lampung.
“Waktu itu, Pak Bustami Zainudin masih menjabat wakil bupati. Dia pernah bertanya sama saya, bisa enggak bahasa wayang diganti dengan bahasa Lampung?” kata dia menirukan.
Meskipun pertanyaan itu hanya dijawab dengan senyum, menjadi pikiran suami Dian Harning Suprapti ini. Ia merasa tertantang untuk berkarya dengan mencoba. Lalu, berlatih dan terus berlatih memainkan wayang dengan menggunakan bahasa Lampung. “Awalnya sulit sekali,” kata dia.
Menurutnya, pakem bahasa wayang menggunakan bahasa tinggi (kromo inggil) yang diubah menjadi sajak yang indah. Sementara, bahasa Lampung bukanlah merupakan sesuatu bagian yang asing bagi sang dalang. Bahkan, lingkungan warga pribumi itu telah menyatu menjadi bagian dari kehidupannya selama sebelas tahun bertugas sebagai seorang guru di Kecamatan Pakuanratu, Way Kanan.
Seiring dengan perkembanganya dan secara bertahap dengan sejumlah perbaikan, pertunjukan seni wayang dengan menggunakan bahasa Lampung sudah dapat disuguhkan. Dalam pertunjukan perdana itu, baru sebatas 60% menggunakan bahasa Lampung. “Saya gunakan bahasa Lampung baru sebatas dialog antartokoh-tokoh wayang saja,” kata dia.
Kepala SDN Tiuh Balak Pasar ini mengakui masih kesulitan dalam babak bagian suluk (deskripsi pembuka). Dalam babak itu sangat sulit mendiskripsikan keadaan umum cerita perwayangan. Di sisi lain, dia harus mengubah karakter suara, berganti intonasi, mengeluarkan guyonan, dan bahkan menyanyi.
Untuk menghidupkan suasana, iringan musik gamelan yang disajikan dalam sebuah pementasan, juga dikolaborasi dengan musik gitar tunggal melantunkan lagu Lampung. Gamelan dan gitar tunggal dimainkan secara bergantian.
“Waktu pementasan di Rumah Inspirasi, saya melakonkan judul Semar Boyong,” kata Sumarlan.
Dalam pergelaran perdana itu, kata dia, dihadiri Bupati Way kanan Bustami Zainudin, Kepala Dinas Pendidikan Gino Vanolie, serta hampir seluruh pejabat utama kabupaten setempat. Bahkan, dia mendapat dukungan, koreksi, dan saran untuk menampilkan sebuah pertunjukan wayang dengan bahasa Lampung dengan lebih sempurna.
Koreksi dan saran tersebut, kata dia, baginya sangat positif. Sebab, dengan semakin banyaknya masuk dan saran akan membuat dirinya lebih giat berlatih dalam mencapai kesempurnaan menyuguhkan wayang dengan berbahasa Lampung. “Dengan mendalang bahasa Lampung ini, belum berarti saya sudah mampu,” katanya.
Pria kelahiran Pacitan, Jawa Timur, 14 Oktober 1969 itu mengungkapkan dunia perwayangan yang digelutinya baru sekitar lebih kurang lima tahun. Kegiatan itu beranjak dari kondisi wilayah Kabupaten Way Kanan yang sepi dan sunyi dari aktivitas hiburan rakyat. Sementara keberadaan Sanggar Mukti Budoyo Radio Rapansa sangat berdekatan dengan rumah tinggalnya.
Suara gamelan yang acap terdengar di belakang rumahnya membuat Sumarlan semakin tertarik dalam seni budaya perwayangan. “Awalnya saya coba-coba memainkan wayang, sambil mendengarkan cerita pewayangan,” katanya. (MAT SALEH/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Maret 2012
No comments:
Post a Comment