DI penggal akhir bulan, tepatnya Selasa, 27 Maret 2012, Lampung kehilangan salah satu putra terbaiknya. Budayawan Lampung, Havizi Hasan, dipanggil Sang Khalik. Almarhum mewariskan sejumlah karya untuk Sang Bumi Ruwai Jurai.
DIALOG SENI. Seniman Havizi Hasan (tengah) semasa hidup bersama sastrawan Asaroedin Malik Zulqornain Ch. (kanan) dan pewawancara Don Peci (kiri) dalam sebuah dialog kesenian di sebuah televisi lokal Lampung. ISTIMEWA
Pernikahannya dengan Halimah pada April 1970 memberinya anak-anak, yaitu Listan Feri, Desfian Nurliza, Pipia Lilik, Elysa, Filia Anami, Rizka Firdaus, dan Pita Hidayat, meninggal di RS Urip Sumoharjo, Bandar Lampung, karena mengidap penyakit jantung dikebumikan di tanah kelahirannya, Kedondong.
Pria kelahiran Kedondong, 16 Juli 1945 ini dikenal sebagai seniman tradisi yang paripurna. Kiprahnya di dunia kesenian tak diragukan lagi. Darah seni memang mengalir dari sang Ayah seniman yang menguasai musik dan sastra tradisional Lampung. Ayahnya Hasan Basri mengajar musik dan sastra berkeliling daerah, antara lain Cukuhbalak, Kotaagung, dan Kalianda.
Anak pertama dari 10 bersaudara pasangan Hasan Basri dan Siti Mardiah ini setamat SMEA justru tertarik jadi guru. Pada 1967, Havizi Hasan mulai mengabdi di SDN 1 Kedondong sambil menyelesaikan pendidikan di sekolah guru atas (SGA). Kemudian pada 1974 dipercaya menjadi kepala SD Sinar hingga 1976. Dan selanjutnya kariernya meningkat jadi penilik sekolah hingga 1983.
Pada 1983, karena konsistensinya di bidang kebudayaan ditarik ke Taman Budaya Lampung sebagai penilik kebudayaan di Kecamatan Telukbetung Selatan dan kemudian alih tugas ke Tanjungkarang Timur. Tahun 1985 dipercaya sebagai Kasi Peningkatan Mutu di Taman Budaya Lampung.
Selain aktif berkiprah di bidang kesenian, Havizi Hasan juga tetap mengabdikan diri di dunia pendidikan. Di samping kesibukannya mengajar dan berkesenian, dia berhasil menyelesaikan pendidikan di PGSLP pada 1975. Terakhir, Havizi menyelesaikan gelar sarjana S-1 di STKIP PGRI Bandar Lampung.
Kiprah pengabdian Havizi di dunia pendidikan tercatat pernah mengajar di SMP Persiapan Kedondong, SMA Persiapan Kedondong, dan Sekolah Pertanian. Bidang studi yang jadi tanggung jawabnya adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Kesenian.
Pada 1983, dunia pendidikan ditinggalkannya dan Havizi mulai konsen di dunia kesenian yang mulai diakrabinya sejak 1958. Pada kurun waktu itu Havizi sudah memublikasikan karyanya berupa puisi, cerita, dan lagu di koran Lampung Jaya. Salah satu lagu ciptaannya yang hingga kini populer adalah lagu Udia.
Sejak tahun 1979 Havizi mulai terlibat dalam dunia tari. Dari sentuhan tangan dinginnya terlahir tari Mapak, Tari Bedana, Pencak Khakot, Tari Keser dan Tari Mayang. Selain itu, sejak 1978 Havizi Hasan juga melakukan penelitian tentang sastra lisan daerah Lampung.
Aktivitasnya juga nampak dalam setiap kegiatan festival musik, menyanyi dan tari.Selain menjadi juri, dia juga terlibat sebagai narasumber dalam berbagai sarasehan dan workshop seni tradisi Lampung.
Pada tahun 1988 Havizi menggarap musik beduk Lampung yang ditampilkan di MTQ Nasional yang digelar di Lampung. Di sela-sela kesibukannya Havizi juga menulis beberpa deskripsi tari antara lain; tari Samroh, tari Bedana dan Kulintang.
Almarhum juga tertarik mendalami budaya Lampung, alasannya simpel, karena pertama, dirinya adalah orang Lampung. Kedua, dia hidup di lingkungan seniman. Ketiga, inilah hal yang terpenting karena dia ingin menumbuhkembangkan warisan budaya Lampung.
Menurut almarhum, budaya Lampung sulit berkembang karena ada beberapa kendala. Pertama dari internal, karena apresiasi orang Lampung masih rendah. Kedua, sifat orang Lampung masih tertutup; dan ketiga, kesenian Lampung dianggap belum bermutu.
Solusinya, menurut dia, antara lain harus meningkatkan kualitas kesenian sehingga pantas dan layak tonton. Semua itu tentunya harus dibarengi dengan meningkatkan apresiasi masyarakatnya. Selain itu, perlu memotivasi seniman Lampung hingga mau membuka diri untuk selalu belajar. Pengembangan kesenian harus sesuai dengan perkembangan zaman sehingga harus ikhlas kalau ada inovasi dan kreasi baru. Untuk itu perlu adanya kerja sama dalam upaya menggali, mengelola, mengembangkan, dan melestarikan seni budaya.
Suatu kali dalam sebuah diskusi almarhum Havizi berujar, perlu wadah pengkajian budaya Lampung. Kalau di Jawa ada Lembaga Javanologi, di Lampung perlu ada lembaga sejenis. Tetapi lembaga ini harus berbicara teknis, bukan hanya sekadar paguyuban.
Wadah semacam Lampung Sai, masih kata almarhum, boleh-boleh saja. Selama lembaga itu konsisten terhadap tujuan untuk menggali, mengelola, menumbuhkembangkan, dan melestarikan seni dan budaya Lampung. Ia menambahkan, sebaiknya biarkan ragam budaya yang ada di Lampung bertumbuh kembang dengan warnanya masing-masing. Baru nantinya saat tampil di pentas nasional, hanya ada satu Lampung yang tampil. Jadi, tidak ada lagi Lampung Abung, Lampung Pubian, Lampung Pepadun atau lainnya.
Saat ini di Lampung mulai diajarkan muatan lokal, antara lain bahasa Lampung. Tetapi perkembangan bahasa Lampung masih memprihatinkan, apalagi sastranya. Karena itu, perlu terus digalakkan dan disosialisasikan. Bahasa sangat memengaruhi seni budaya. Bahasa sebagai alat komunikasi sehingga kalau mau mengakrabi seni budaya Lampung perlu belajar bahasanya.
Almarhum Havizi menambahkan fungsi dan kedudukan sastra Lampung sangat penting. Masyarakat Lampung dalam kehidupan sehari-harinya sejak kelahiran hingga kematian diwarnai dengan sastra. Sastra berfungsi sebagai alat komunikasi, penyebaran informasi, dan juga sebagai media menyampaikan nasihat dan ajaran agama.
Almarhum juga pernah mengkritisi mengapa lagu Lampung belum memasyarakat. Pasalnya, hingga saat ini para pengarang lagu Lampung sudah banyak terpengaruh dengan lagu daerah lain sehingga roh kelampungannya tidak tampak. Ia juga menambahkan kalau lagu Lampung mau eksis harus punya ciri khas. Untuk itu tentunya, harus dipelajari dengan serius dan mendalam.
Almarhum juga pernah berujar seniman Lampung banyak yang enggan dan kurang serius menggali akar budaya dan kesenian tradisi yang dimiliki Lampung. Yang baru diangkat baru kulit-kulitnya saja, belum ada yang menggali hingga ke akar sehingga roh sebagai ciri khasnya belum muncul.
Menurut Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Hari Jayaningrat, konsistensi almarhum di dunia kesenian tak diragukan lagi. Dunia seni budaya menjadi pilihan hidupnya, maka sampai ajal menjemput almarhum tetap bersetia menjalaninya. Bahkan pada hari kematiannya, 27 Maret 2012, almarhum semestinya jadi juri dalam Lomba Musik Tradisi yang digelar Dinas Budaya Pariwisata Kabupaten Lampung Selatan di Kalianda.
"Tetapi karena beliau mendadak masuk rumah sakit tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai juri. Dunia seni dan budaya Lampung sangat kehilangan. Banyak seniman yang menganggap almarhum tidak hanya sebagai guru, tetapi sebagai orang tua yang selalu siap membimbing," ujar Hari.
Almarhum Havizi Hasan telah meninggalkan kita. Namun, karya dan pengabdiannya untuk Lampung akan terus dikenang. Beristirahatlah dalam damai, kau akan selalu dikenang. Selamat jalan, Puari.
Christian Heru Cahyo Saputro, Direktur Eksekutif Jung Foundation Lampung Heritage, Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 8 April 2012
DIALOG SENI. Seniman Havizi Hasan (tengah) semasa hidup bersama sastrawan Asaroedin Malik Zulqornain Ch. (kanan) dan pewawancara Don Peci (kiri) dalam sebuah dialog kesenian di sebuah televisi lokal Lampung. ISTIMEWA
Pernikahannya dengan Halimah pada April 1970 memberinya anak-anak, yaitu Listan Feri, Desfian Nurliza, Pipia Lilik, Elysa, Filia Anami, Rizka Firdaus, dan Pita Hidayat, meninggal di RS Urip Sumoharjo, Bandar Lampung, karena mengidap penyakit jantung dikebumikan di tanah kelahirannya, Kedondong.
Pria kelahiran Kedondong, 16 Juli 1945 ini dikenal sebagai seniman tradisi yang paripurna. Kiprahnya di dunia kesenian tak diragukan lagi. Darah seni memang mengalir dari sang Ayah seniman yang menguasai musik dan sastra tradisional Lampung. Ayahnya Hasan Basri mengajar musik dan sastra berkeliling daerah, antara lain Cukuhbalak, Kotaagung, dan Kalianda.
Anak pertama dari 10 bersaudara pasangan Hasan Basri dan Siti Mardiah ini setamat SMEA justru tertarik jadi guru. Pada 1967, Havizi Hasan mulai mengabdi di SDN 1 Kedondong sambil menyelesaikan pendidikan di sekolah guru atas (SGA). Kemudian pada 1974 dipercaya menjadi kepala SD Sinar hingga 1976. Dan selanjutnya kariernya meningkat jadi penilik sekolah hingga 1983.
Pada 1983, karena konsistensinya di bidang kebudayaan ditarik ke Taman Budaya Lampung sebagai penilik kebudayaan di Kecamatan Telukbetung Selatan dan kemudian alih tugas ke Tanjungkarang Timur. Tahun 1985 dipercaya sebagai Kasi Peningkatan Mutu di Taman Budaya Lampung.
Selain aktif berkiprah di bidang kesenian, Havizi Hasan juga tetap mengabdikan diri di dunia pendidikan. Di samping kesibukannya mengajar dan berkesenian, dia berhasil menyelesaikan pendidikan di PGSLP pada 1975. Terakhir, Havizi menyelesaikan gelar sarjana S-1 di STKIP PGRI Bandar Lampung.
Kiprah pengabdian Havizi di dunia pendidikan tercatat pernah mengajar di SMP Persiapan Kedondong, SMA Persiapan Kedondong, dan Sekolah Pertanian. Bidang studi yang jadi tanggung jawabnya adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Kesenian.
Pada 1983, dunia pendidikan ditinggalkannya dan Havizi mulai konsen di dunia kesenian yang mulai diakrabinya sejak 1958. Pada kurun waktu itu Havizi sudah memublikasikan karyanya berupa puisi, cerita, dan lagu di koran Lampung Jaya. Salah satu lagu ciptaannya yang hingga kini populer adalah lagu Udia.
Sejak tahun 1979 Havizi mulai terlibat dalam dunia tari. Dari sentuhan tangan dinginnya terlahir tari Mapak, Tari Bedana, Pencak Khakot, Tari Keser dan Tari Mayang. Selain itu, sejak 1978 Havizi Hasan juga melakukan penelitian tentang sastra lisan daerah Lampung.
Aktivitasnya juga nampak dalam setiap kegiatan festival musik, menyanyi dan tari.Selain menjadi juri, dia juga terlibat sebagai narasumber dalam berbagai sarasehan dan workshop seni tradisi Lampung.
Pada tahun 1988 Havizi menggarap musik beduk Lampung yang ditampilkan di MTQ Nasional yang digelar di Lampung. Di sela-sela kesibukannya Havizi juga menulis beberpa deskripsi tari antara lain; tari Samroh, tari Bedana dan Kulintang.
Almarhum juga tertarik mendalami budaya Lampung, alasannya simpel, karena pertama, dirinya adalah orang Lampung. Kedua, dia hidup di lingkungan seniman. Ketiga, inilah hal yang terpenting karena dia ingin menumbuhkembangkan warisan budaya Lampung.
Menurut almarhum, budaya Lampung sulit berkembang karena ada beberapa kendala. Pertama dari internal, karena apresiasi orang Lampung masih rendah. Kedua, sifat orang Lampung masih tertutup; dan ketiga, kesenian Lampung dianggap belum bermutu.
Solusinya, menurut dia, antara lain harus meningkatkan kualitas kesenian sehingga pantas dan layak tonton. Semua itu tentunya harus dibarengi dengan meningkatkan apresiasi masyarakatnya. Selain itu, perlu memotivasi seniman Lampung hingga mau membuka diri untuk selalu belajar. Pengembangan kesenian harus sesuai dengan perkembangan zaman sehingga harus ikhlas kalau ada inovasi dan kreasi baru. Untuk itu perlu adanya kerja sama dalam upaya menggali, mengelola, mengembangkan, dan melestarikan seni budaya.
Suatu kali dalam sebuah diskusi almarhum Havizi berujar, perlu wadah pengkajian budaya Lampung. Kalau di Jawa ada Lembaga Javanologi, di Lampung perlu ada lembaga sejenis. Tetapi lembaga ini harus berbicara teknis, bukan hanya sekadar paguyuban.
Wadah semacam Lampung Sai, masih kata almarhum, boleh-boleh saja. Selama lembaga itu konsisten terhadap tujuan untuk menggali, mengelola, menumbuhkembangkan, dan melestarikan seni dan budaya Lampung. Ia menambahkan, sebaiknya biarkan ragam budaya yang ada di Lampung bertumbuh kembang dengan warnanya masing-masing. Baru nantinya saat tampil di pentas nasional, hanya ada satu Lampung yang tampil. Jadi, tidak ada lagi Lampung Abung, Lampung Pubian, Lampung Pepadun atau lainnya.
Saat ini di Lampung mulai diajarkan muatan lokal, antara lain bahasa Lampung. Tetapi perkembangan bahasa Lampung masih memprihatinkan, apalagi sastranya. Karena itu, perlu terus digalakkan dan disosialisasikan. Bahasa sangat memengaruhi seni budaya. Bahasa sebagai alat komunikasi sehingga kalau mau mengakrabi seni budaya Lampung perlu belajar bahasanya.
Almarhum Havizi menambahkan fungsi dan kedudukan sastra Lampung sangat penting. Masyarakat Lampung dalam kehidupan sehari-harinya sejak kelahiran hingga kematian diwarnai dengan sastra. Sastra berfungsi sebagai alat komunikasi, penyebaran informasi, dan juga sebagai media menyampaikan nasihat dan ajaran agama.
Almarhum juga pernah mengkritisi mengapa lagu Lampung belum memasyarakat. Pasalnya, hingga saat ini para pengarang lagu Lampung sudah banyak terpengaruh dengan lagu daerah lain sehingga roh kelampungannya tidak tampak. Ia juga menambahkan kalau lagu Lampung mau eksis harus punya ciri khas. Untuk itu tentunya, harus dipelajari dengan serius dan mendalam.
Almarhum juga pernah berujar seniman Lampung banyak yang enggan dan kurang serius menggali akar budaya dan kesenian tradisi yang dimiliki Lampung. Yang baru diangkat baru kulit-kulitnya saja, belum ada yang menggali hingga ke akar sehingga roh sebagai ciri khasnya belum muncul.
Menurut Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Hari Jayaningrat, konsistensi almarhum di dunia kesenian tak diragukan lagi. Dunia seni budaya menjadi pilihan hidupnya, maka sampai ajal menjemput almarhum tetap bersetia menjalaninya. Bahkan pada hari kematiannya, 27 Maret 2012, almarhum semestinya jadi juri dalam Lomba Musik Tradisi yang digelar Dinas Budaya Pariwisata Kabupaten Lampung Selatan di Kalianda.
"Tetapi karena beliau mendadak masuk rumah sakit tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai juri. Dunia seni dan budaya Lampung sangat kehilangan. Banyak seniman yang menganggap almarhum tidak hanya sebagai guru, tetapi sebagai orang tua yang selalu siap membimbing," ujar Hari.
Almarhum Havizi Hasan telah meninggalkan kita. Namun, karya dan pengabdiannya untuk Lampung akan terus dikenang. Beristirahatlah dalam damai, kau akan selalu dikenang. Selamat jalan, Puari.
Christian Heru Cahyo Saputro, Direktur Eksekutif Jung Foundation Lampung Heritage, Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 8 April 2012
No comments:
Post a Comment