Data Buku
Terasing di Negeri Sendiri: Kritik atas Pengabaian Hak-hak Konstitusional Masyarakat Hutan Register 45, Mesuji, Lampung.Oki Hajiansyah Wahab. Indepth Publishing, Bandar Lampung, Juni 2012. xxiv + 90 hlm.
MESUJI. Nama itu semakin akrab setelah ramai diberitakan pada Desember tahun lalu. Kabupaten di Lampung yang dimekarkan pada 29 Oktober 2008 itu seolah tak bisa dipisahkan dari sengketa lahan. Beragam versi muncul menanggapi sengketa lahan disana. Namun, satu hal yang pasti, konflik Mesuji menelan korban jiwa.
Tak bisa dipungkiri bahwa masyarakat yang tinggal di kawasan hutan cenderung tersisih di hadapan hukum, sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Mereka kerap terlibat konflik dengan perusahaan yang hak pengelolaannya diberikan negara. Mirisnya, hak-hak mereka sebagai warga negara acap terabaikan.
Inilah yang hendak disampaikan penulis buku ini, Oki Hajiansyah Wahab. Pria yang pernah menerima beasiswa kursus HAM itu mencoba menyentuh kemanusiaan kita. Melalui buku ini, ia memaparkan ketidakadilan dan diskriminasi yang dialami masyarakat di Kawasan Register 45, Mesuji, Lampung. Pengalamannya selama enam tahun mendampingi warga Moro-Moro di Kabupaten Mesuji membuktikan adanya pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara.
Misalnya, warga Moro-Moro tidak diberikan kartu tanda penduduk (KTP). Padahal, KTP merupakan "organ vital" untuk memperoleh dokumen kependudukan lainnya, seperti akta kelahiran. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, jumlah balita di Moro-Moro mencapai 478 jiwa dan 539 anak usia sekolah .
Masyarakat Moro-Moro telah menempuh berbagai usaha untuk mendapatkan KTP, mulai dari kantor lurah hingga istana negara telah mereka sambangi. Bahkan, mereka pernah menginap di depan Istana Negara. Namun, berbagai usaha itu tak jua mengetuk pintu nurani para elite negeri ini.
Sepintas, memang terlihat sepele persoalan KTP. Namun, tak dinyana hal tersebut berimplikasi dalam kehidupan masyarakat Moro-Moro. Karena sepotong kartu, mereka tidak bisa menikmati fasilitas kesehatan, pendidikan, dan fasilitas publik lainnya. Sebaliknya, desa tetangga Moro-Moro bisa menikmati semua itu. Ironis.
Oki mencontohkan kematian seorang bayi yang bernama Bili Chandra sebagai dampak minimnya fasilitas kesehatan di Moro-Moro. Anak petani itu meninggal setelah bertahan hidup selama 58 hari (hlm. 40). Seandainya, pemerintah menyediakan fasilitas kesehatan di Moro-Moro, barangkali Bili masih bisa bernapas lebih panjang. Seharusnya, negara mesti memberikan sarana dan prasarana kesehatan bagi warganya sebagaimana diatur konstitusi kita.
Dari segi politik, masyarakat Moro-Moro juga terkesan diasingkan. Mereka dilarang menggunakan hak politiknya pasca-Pemilu 2004. Buktinya, hak politik mereka dikebiri saat Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Mesuji 2011. Alasannya sederhana, masyarakat Moro-Moro dianggap sebagai penduduk ilegal karena tidak mempunyai KTP. Padahal, mereka juga tidak memiliki KTP ketika Pemilu 2004.
Dalam buku ini, Oki membandingkan perlakuan yang dialami masyarakat Moro-Moro dengan masyarakat Tanah Merah, Jakarta. Mantan jurnalis itu berpendapat, kendati keduanya mendiami konflik agraria, masyarakat Tanah Merah selalu terlibat dalam proses pemilu. Selain itu, warga Tanah Merah masih mendapatkan akses layanan kesehatan dasar meski minimalis (Hlm. 60). Dari perbandingan tersebut, dapat diajukan pertanyaan: apakah hak-hak warga negara dapat dikurangi hanya karena bertempat tinggal di tempat konflik?
Sayangnya, Oki tidak membahas hak-hak masyarakat Moro-Moro dari segi ekonomi dan budaya. Padahal, mereka juga cenderung tersisih. Dalam penentuan harga, misalnya. Masyarakat Moro-Moro nyaris tidak mempunyai posisi tawar untuk menentukan harga singkong. Maklum, sebagian besar warga disana merupakan petani singkong. Mereka hanya bisa “manggut” dengan harga relatif murah yang ditawarkan perusahaan.
Begitu juga dengan keberadaan mereka dalam kebudayaan. Masyarakat yang menempati kawasan hutan tersebut hampir tidak pernah berpartisipasi. Semua itu terjadi karena negara tidak mengakui mereka sebagai penduduk.
Buku ini akan semakin lengkap bila Oki mengulas bagaimana masyarakat Moro-Moro yang sama sekali belum pernah menikmati listrik. Padahal, di seberang desa mereka berdiri kokoh tiang listrik.
Secara keseluruhan pesan yang disampaikan buku ini dapat ditangkap secara jelas, yakni hilangnya hak-hak konstitusional masyarakat di Kawasan Register 45, Mesuji, Lampung. Memang, tinggal di tempat konflik memberikan rasa khawatir. Sebab, ancaman penggusuran, intimidasi, dan kriminalisasi setiap saat bisa datang. Namun, bukan berarti hak-hak mereka sebagai warga negara dikurangi. Hingga kini, masyarakat Moro-Moro masih terus berjuang. Mereka tidak menyerah meski suara mereka tidak didengarkan.
Netty Afrida, pembaca buku, mahasiswa Jurusan Sosiologi Unila
Sumber: Lampung Post, Minggu, 1 Juli 2012
Terasing di Negeri Sendiri: Kritik atas Pengabaian Hak-hak Konstitusional Masyarakat Hutan Register 45, Mesuji, Lampung.Oki Hajiansyah Wahab. Indepth Publishing, Bandar Lampung, Juni 2012. xxiv + 90 hlm.
MESUJI. Nama itu semakin akrab setelah ramai diberitakan pada Desember tahun lalu. Kabupaten di Lampung yang dimekarkan pada 29 Oktober 2008 itu seolah tak bisa dipisahkan dari sengketa lahan. Beragam versi muncul menanggapi sengketa lahan disana. Namun, satu hal yang pasti, konflik Mesuji menelan korban jiwa.
Tak bisa dipungkiri bahwa masyarakat yang tinggal di kawasan hutan cenderung tersisih di hadapan hukum, sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Mereka kerap terlibat konflik dengan perusahaan yang hak pengelolaannya diberikan negara. Mirisnya, hak-hak mereka sebagai warga negara acap terabaikan.
Inilah yang hendak disampaikan penulis buku ini, Oki Hajiansyah Wahab. Pria yang pernah menerima beasiswa kursus HAM itu mencoba menyentuh kemanusiaan kita. Melalui buku ini, ia memaparkan ketidakadilan dan diskriminasi yang dialami masyarakat di Kawasan Register 45, Mesuji, Lampung. Pengalamannya selama enam tahun mendampingi warga Moro-Moro di Kabupaten Mesuji membuktikan adanya pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara.
Misalnya, warga Moro-Moro tidak diberikan kartu tanda penduduk (KTP). Padahal, KTP merupakan "organ vital" untuk memperoleh dokumen kependudukan lainnya, seperti akta kelahiran. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, jumlah balita di Moro-Moro mencapai 478 jiwa dan 539 anak usia sekolah .
Masyarakat Moro-Moro telah menempuh berbagai usaha untuk mendapatkan KTP, mulai dari kantor lurah hingga istana negara telah mereka sambangi. Bahkan, mereka pernah menginap di depan Istana Negara. Namun, berbagai usaha itu tak jua mengetuk pintu nurani para elite negeri ini.
Sepintas, memang terlihat sepele persoalan KTP. Namun, tak dinyana hal tersebut berimplikasi dalam kehidupan masyarakat Moro-Moro. Karena sepotong kartu, mereka tidak bisa menikmati fasilitas kesehatan, pendidikan, dan fasilitas publik lainnya. Sebaliknya, desa tetangga Moro-Moro bisa menikmati semua itu. Ironis.
Oki mencontohkan kematian seorang bayi yang bernama Bili Chandra sebagai dampak minimnya fasilitas kesehatan di Moro-Moro. Anak petani itu meninggal setelah bertahan hidup selama 58 hari (hlm. 40). Seandainya, pemerintah menyediakan fasilitas kesehatan di Moro-Moro, barangkali Bili masih bisa bernapas lebih panjang. Seharusnya, negara mesti memberikan sarana dan prasarana kesehatan bagi warganya sebagaimana diatur konstitusi kita.
Dari segi politik, masyarakat Moro-Moro juga terkesan diasingkan. Mereka dilarang menggunakan hak politiknya pasca-Pemilu 2004. Buktinya, hak politik mereka dikebiri saat Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Mesuji 2011. Alasannya sederhana, masyarakat Moro-Moro dianggap sebagai penduduk ilegal karena tidak mempunyai KTP. Padahal, mereka juga tidak memiliki KTP ketika Pemilu 2004.
Dalam buku ini, Oki membandingkan perlakuan yang dialami masyarakat Moro-Moro dengan masyarakat Tanah Merah, Jakarta. Mantan jurnalis itu berpendapat, kendati keduanya mendiami konflik agraria, masyarakat Tanah Merah selalu terlibat dalam proses pemilu. Selain itu, warga Tanah Merah masih mendapatkan akses layanan kesehatan dasar meski minimalis (Hlm. 60). Dari perbandingan tersebut, dapat diajukan pertanyaan: apakah hak-hak warga negara dapat dikurangi hanya karena bertempat tinggal di tempat konflik?
Sayangnya, Oki tidak membahas hak-hak masyarakat Moro-Moro dari segi ekonomi dan budaya. Padahal, mereka juga cenderung tersisih. Dalam penentuan harga, misalnya. Masyarakat Moro-Moro nyaris tidak mempunyai posisi tawar untuk menentukan harga singkong. Maklum, sebagian besar warga disana merupakan petani singkong. Mereka hanya bisa “manggut” dengan harga relatif murah yang ditawarkan perusahaan.
Begitu juga dengan keberadaan mereka dalam kebudayaan. Masyarakat yang menempati kawasan hutan tersebut hampir tidak pernah berpartisipasi. Semua itu terjadi karena negara tidak mengakui mereka sebagai penduduk.
Buku ini akan semakin lengkap bila Oki mengulas bagaimana masyarakat Moro-Moro yang sama sekali belum pernah menikmati listrik. Padahal, di seberang desa mereka berdiri kokoh tiang listrik.
Secara keseluruhan pesan yang disampaikan buku ini dapat ditangkap secara jelas, yakni hilangnya hak-hak konstitusional masyarakat di Kawasan Register 45, Mesuji, Lampung. Memang, tinggal di tempat konflik memberikan rasa khawatir. Sebab, ancaman penggusuran, intimidasi, dan kriminalisasi setiap saat bisa datang. Namun, bukan berarti hak-hak mereka sebagai warga negara dikurangi. Hingga kini, masyarakat Moro-Moro masih terus berjuang. Mereka tidak menyerah meski suara mereka tidak didengarkan.
Netty Afrida, pembaca buku, mahasiswa Jurusan Sosiologi Unila
Sumber: Lampung Post, Minggu, 1 Juli 2012
No comments:
Post a Comment