Oleh Hisna Cahaya
Bismillah itu permulaan kalam/Dengan nama Tuhan semesta alam. Akan tersebut putri pilihan. Cucu pertuan di Tanjung Iran/Kata orang empunya cerita/Akan riwayat putri mahkota/Parasnya elok tiada bertara/Kabarnya mahsyur segenap Negara/Si Dayang Rindu konon namanya/Paras seperti bidadari indera/Menghilangkan akal budi bicara/Umurnya puncak ranum remaja.
LAMPU padam. Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung temaram. Suara pencerita muncul dari pengeras suara, membacakan pengantar kisah pembuka fragmen pertama pertunjukan The Song of Dajang Rindoe (Travelling Back to the Source) Komunitas Berkat Yakin (Kober) 2 Desember 2012.
Rebana, gambus, dan gitar klasik Lampung menjadi pengiring tari pembuka. Gerakan Sembilan penari begitu halus, bahkan sangat halus, seperti tarian klasik Jawa ?alusan?. Beberapa menit kemudian penonton dikejutkan dengan suara alat musik yang makin menggelegar dengan tempo yang makin cepat. Para penari semakin lincah menunjukkan beberapa gerakan silat. Gerakannya begitu cepat, tepat, dan memikat.
Alkisah, Dayang Rindu adalah puteri mahkota Kerajaan Tanjung Iran. Kecantikannya tersohor ke segenap negara. Kriya Niru?adik Pangiran Riya?mendeskripsikan kecantikan Dayang Rindu di fragmen kedua dengan kata-kata begitu memesona. ?Begini cerita paras wajahnya, tak ada tanding di negeri Paduka. Kulitnya putih kuning pohon pisang. Tahi lalatnya jarang bak bintang bertaburan. Rambutnya panjang menyapu gelombang, mengkilat bak sutra pemikat. Wajahnya elok bulan purnama. Pipinya ranum bak buah mangga. Waktu tersenyum bagaikan bunga.?
Dayang Rindu yang disebut-sebut sebagai muli rebah penontong itu, telah dijodohkan dengan Ki Bayi Radin, anak Batin Pasak di Rambang. Keduanya telah mengikat janji. Namun, jauh panggang dari api. Harapan duduk di pelaminan tak pernah terealisasi. Utusan Pangiran Riya keburu datang. Membawa segala sesembahan untuk meminang.
Pinangan Pangiran Riya nyatanya ditolak Wayang Semu, ayahanda Dayang Rindu. Temenggung Itam?adik Pangiran Riya?yang diutus untuk meminang, naik pitam. Dia menantang perang. Wayang semu gelisah sekaligus marah. Tanpa pamit, Dia tinggalkan pertemuan.
Rombongan bertopeng hitam menggiring Dayang Rindu ke kapal Temenggung Itam. Sementara, Ki Bayi Metik berteriak sombong menantang pasukan Tanjung Iran. Hal ini menyulut amarah warga Tanjung Iran. Kriya Canang?kakek Dayang Rindu?maju. Dia menghunus senjata. Pecah perang saat itu juga.
Perang berakhir. Ayah, kakak, dan kekasih Dayang Rindu gugur. Pasukan Temenggung Itam menang. Dayang Rindu dibawa ke Palembang.
Pangiran Riya bahagia. Pujaan hati telah sampai padanya. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Pengakuan cintanya ditolak Dayang Rindu. Terlebih, Singa Ralang?paman Dayang Rindu?datang menuntut balas. Dia berteriak lantang menantang Pangiran Riya dan para kongsinya. Pangiran Riya yang ketakutan lantas terduduk sambil memegangi payung kerajaan. Mereka pun bertanding perang. Pangiran Riya dan pasukannya gugur saat itu juga.
Singa Ralang meninggalkan medan pertempuran. Dayang Rindu kembali ke Tanjung Iran. Tak lama lampu perlahan meredup diiringi pembacaan narasi penutup. Kehancuran di Tanjung Iran. Kehancuran di Tanah Palembang. Memang bagitu adatnya perang. Manusia binasa bak pisang ditebang.
***
The Song of Dajang Rindoe (Travelling Back to the Source) sudah keempat kali dipentaskan. Pada pentas kali ini, sedikit berbeda. Setidaknya dua orang pemain melenggak-lenggokkan tangan di panggung beberapa kali seperti ikan yang berenang di lautan. Namun, saya mengernyitkan dahi melihat adegan ini. Mengapa menyeberang laut? Bukankah Lampung dan Palembang berada di satu tempat, Pulau Sumatera? Terlebih, Lampung dan Palembang lebih tepat disebut bertetangga darat ketimbang laut. Saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya Kerajaan Tanjung Iran berada di wilayah Lampung yang mana?
Terlepas dari berbagai adegan, dialog-dialog yang ditampilkan pada pementasan ini sangat menarik. Meskipun, komposisi panggung yang ditampilkan tak mungkin bisa diabaikan. Soal keindahan koreografi tari, penataan cahaya, komposisi musik etnik Lampung?rebana, gambus, gitar klasik Lampung, dan kerapian mengganti properti panggung, patut diacungi jempol.
Dialog berbunyi bagaikan puisi. Sebagian besar rangkaian kata dibuat berirama sama. Hal ini menjadi sebuah kelebihan sekaligus kewajaran. Kelebihan karena naskah adaptasi manuskrip karya Van der Tuuk ini benar-benar mencerminkan kehidupan budaya Melayu yang kental dengan puisi lama atau pantun.
Kerinduan penonton akan pantun di zaman melayu lama seolah dipuaskan. Seperti sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Tidak sekadar melihat pertunjukan drama, tapi juga seni Lampung dalam bertutur kata (warahan). Bukan sekadar menonton tari, tapi juga menikmati keindahan puisi. Ari Pahala Hutabarat, sutradaranya, paham benar cara mengaplikasi keindahan puisi dan drama dalam sebuah kolaborasi.
Sayang, Dayang Rindu diperangkan tanpa dialog yang diucapkan secara langsung. Sosoknya pun tidak diperankan satu orang. Bahkan, saat bercakap dengan Ki Bayi Radin di fragmen ketiga, sosok Dayang rindu tidak berada di hadapan. Setiap dialog yang seharusnya diucapkan Dayang Rindu, diwakili oleh suara seorang perempuan di balik pengeras suara. Dayang Rindu yang bermain ?bisu?.
Saya kira eksplorasi akan lebih menarik bila Dayang Rindu memiliki wujud. Penonton dapat melihat derita dan luka dari ekspresi dan intonasi tokoh utama yang kehilangan sanak saudara, kekasih tercinta, juga kemerdekaannya. Hal ini bisa terwujud sekiranya Dayang Rindu tidak ?semu? dan tidak ?bisu?. N
Hisna Cahaya, official website Unila, pembelajar, peserta Workshop Menulis Esai dan Berita Seni AJI Bandar Lampung-Dewan Kesenian Lampung, 1?3 Desember 2012
Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 Desember 2012
Bismillah itu permulaan kalam/Dengan nama Tuhan semesta alam. Akan tersebut putri pilihan. Cucu pertuan di Tanjung Iran/Kata orang empunya cerita/Akan riwayat putri mahkota/Parasnya elok tiada bertara/Kabarnya mahsyur segenap Negara/Si Dayang Rindu konon namanya/Paras seperti bidadari indera/Menghilangkan akal budi bicara/Umurnya puncak ranum remaja.
LAMPU padam. Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung temaram. Suara pencerita muncul dari pengeras suara, membacakan pengantar kisah pembuka fragmen pertama pertunjukan The Song of Dajang Rindoe (Travelling Back to the Source) Komunitas Berkat Yakin (Kober) 2 Desember 2012.
Rebana, gambus, dan gitar klasik Lampung menjadi pengiring tari pembuka. Gerakan Sembilan penari begitu halus, bahkan sangat halus, seperti tarian klasik Jawa ?alusan?. Beberapa menit kemudian penonton dikejutkan dengan suara alat musik yang makin menggelegar dengan tempo yang makin cepat. Para penari semakin lincah menunjukkan beberapa gerakan silat. Gerakannya begitu cepat, tepat, dan memikat.
Alkisah, Dayang Rindu adalah puteri mahkota Kerajaan Tanjung Iran. Kecantikannya tersohor ke segenap negara. Kriya Niru?adik Pangiran Riya?mendeskripsikan kecantikan Dayang Rindu di fragmen kedua dengan kata-kata begitu memesona. ?Begini cerita paras wajahnya, tak ada tanding di negeri Paduka. Kulitnya putih kuning pohon pisang. Tahi lalatnya jarang bak bintang bertaburan. Rambutnya panjang menyapu gelombang, mengkilat bak sutra pemikat. Wajahnya elok bulan purnama. Pipinya ranum bak buah mangga. Waktu tersenyum bagaikan bunga.?
Dayang Rindu yang disebut-sebut sebagai muli rebah penontong itu, telah dijodohkan dengan Ki Bayi Radin, anak Batin Pasak di Rambang. Keduanya telah mengikat janji. Namun, jauh panggang dari api. Harapan duduk di pelaminan tak pernah terealisasi. Utusan Pangiran Riya keburu datang. Membawa segala sesembahan untuk meminang.
Pinangan Pangiran Riya nyatanya ditolak Wayang Semu, ayahanda Dayang Rindu. Temenggung Itam?adik Pangiran Riya?yang diutus untuk meminang, naik pitam. Dia menantang perang. Wayang semu gelisah sekaligus marah. Tanpa pamit, Dia tinggalkan pertemuan.
Rombongan bertopeng hitam menggiring Dayang Rindu ke kapal Temenggung Itam. Sementara, Ki Bayi Metik berteriak sombong menantang pasukan Tanjung Iran. Hal ini menyulut amarah warga Tanjung Iran. Kriya Canang?kakek Dayang Rindu?maju. Dia menghunus senjata. Pecah perang saat itu juga.
Perang berakhir. Ayah, kakak, dan kekasih Dayang Rindu gugur. Pasukan Temenggung Itam menang. Dayang Rindu dibawa ke Palembang.
Pangiran Riya bahagia. Pujaan hati telah sampai padanya. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Pengakuan cintanya ditolak Dayang Rindu. Terlebih, Singa Ralang?paman Dayang Rindu?datang menuntut balas. Dia berteriak lantang menantang Pangiran Riya dan para kongsinya. Pangiran Riya yang ketakutan lantas terduduk sambil memegangi payung kerajaan. Mereka pun bertanding perang. Pangiran Riya dan pasukannya gugur saat itu juga.
Singa Ralang meninggalkan medan pertempuran. Dayang Rindu kembali ke Tanjung Iran. Tak lama lampu perlahan meredup diiringi pembacaan narasi penutup. Kehancuran di Tanjung Iran. Kehancuran di Tanah Palembang. Memang bagitu adatnya perang. Manusia binasa bak pisang ditebang.
***
The Song of Dajang Rindoe (Travelling Back to the Source) sudah keempat kali dipentaskan. Pada pentas kali ini, sedikit berbeda. Setidaknya dua orang pemain melenggak-lenggokkan tangan di panggung beberapa kali seperti ikan yang berenang di lautan. Namun, saya mengernyitkan dahi melihat adegan ini. Mengapa menyeberang laut? Bukankah Lampung dan Palembang berada di satu tempat, Pulau Sumatera? Terlebih, Lampung dan Palembang lebih tepat disebut bertetangga darat ketimbang laut. Saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya Kerajaan Tanjung Iran berada di wilayah Lampung yang mana?
Terlepas dari berbagai adegan, dialog-dialog yang ditampilkan pada pementasan ini sangat menarik. Meskipun, komposisi panggung yang ditampilkan tak mungkin bisa diabaikan. Soal keindahan koreografi tari, penataan cahaya, komposisi musik etnik Lampung?rebana, gambus, gitar klasik Lampung, dan kerapian mengganti properti panggung, patut diacungi jempol.
Dialog berbunyi bagaikan puisi. Sebagian besar rangkaian kata dibuat berirama sama. Hal ini menjadi sebuah kelebihan sekaligus kewajaran. Kelebihan karena naskah adaptasi manuskrip karya Van der Tuuk ini benar-benar mencerminkan kehidupan budaya Melayu yang kental dengan puisi lama atau pantun.
Kerinduan penonton akan pantun di zaman melayu lama seolah dipuaskan. Seperti sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Tidak sekadar melihat pertunjukan drama, tapi juga seni Lampung dalam bertutur kata (warahan). Bukan sekadar menonton tari, tapi juga menikmati keindahan puisi. Ari Pahala Hutabarat, sutradaranya, paham benar cara mengaplikasi keindahan puisi dan drama dalam sebuah kolaborasi.
Sayang, Dayang Rindu diperangkan tanpa dialog yang diucapkan secara langsung. Sosoknya pun tidak diperankan satu orang. Bahkan, saat bercakap dengan Ki Bayi Radin di fragmen ketiga, sosok Dayang rindu tidak berada di hadapan. Setiap dialog yang seharusnya diucapkan Dayang Rindu, diwakili oleh suara seorang perempuan di balik pengeras suara. Dayang Rindu yang bermain ?bisu?.
Saya kira eksplorasi akan lebih menarik bila Dayang Rindu memiliki wujud. Penonton dapat melihat derita dan luka dari ekspresi dan intonasi tokoh utama yang kehilangan sanak saudara, kekasih tercinta, juga kemerdekaannya. Hal ini bisa terwujud sekiranya Dayang Rindu tidak ?semu? dan tidak ?bisu?. N
Hisna Cahaya, official website Unila, pembelajar, peserta Workshop Menulis Esai dan Berita Seni AJI Bandar Lampung-Dewan Kesenian Lampung, 1?3 Desember 2012
Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 Desember 2012
No comments:
Post a Comment