Oleh Jauhari Zailani
KAWASAN Industri Maritim (KIM) yang dibangun di atas tanah 3.500 hektare akan dibangun industri galangan kapal, industri penunjang minyak dan gas, seperti ric dan jak up. Kalau rencana terwujud, Kotaagung bisa menjadi kota pelabuhan di Indonesia, menyusul dan melengkapi pelabuhan milik Pertamina dengan batu bara, minyak, dan gas.
Pembangunan Kotaagung sebagai pelabuhan membangkitkan kenangan pada kebesaran Pelabuhan Krui, mengingatkan pada Pelabuhan Putihdoh dan Pelabuhan Tulangbawang. Melengkapi pelabuhan batu bara di Tarahan, Pelabuhan Internasional Samudra, Panjang. Teluk Kiluan akan kian berkilau dengan keberadaan KIM di Kotaagung, keberadaan pangkalan armada barat di Teluk Ratai kian relevan.
Bukan main. Menggetarkan jiwa. Tapi kemudian, terbayang sisi yang lain, dan ini yang menggelayut dalam benak: segala riuh rendahnya pembangunan dengan kelipatan efeknya, bisakah masyarakat Lampung memanfaatkan peluang itu, atau akankah menjadi penonton saja?
Lampung dan Air
Secara antropologi, lingkungan fisik dan sosial yang membentuk watak, karakter, dan budaya manusia penghuninya. Gunung Krakatau yang berada di Selat Sunda menandai bahwa Lampung bergunung dan berair. Ada beberapa gunung berapi yang aktif, yaitu Gunung Rajabasa, Gunung Betung, Gunung Tanggamus, dan tentu saja Bukit Barisan Selatan serta bukit yang membentang dan menghiasi kota memantek bumi. Di kaki Gunung Pesagi, bermula kerajaan Sekala Brak. Legendanya, ratusan ribu tahun yang lalu, di atas bukit itu bermukim pengungsi dari ompung yang mengungsi dari Danau Toba.
Alkisah, dimulai ketika Danau Toba masih berupa Gunung Berapi. Suatu masa, gunung berapi tersebut meletus, terjadilah esksodus manusia yang mengungsi ke segala arah angin. Di antara keluarga Tapanuli yang mengungsi, ada empat saudara yang menyelamatkan diri. Salah seorang dari mereka adalah Ompung Silamponga.
Pengungsi ini menaiki rakit dari pantai di Tanah Tapanuli, tetapi terdampar di pesisir Krui, Lampung Barat. Dari pantai Krui, Si Ompung melanjutkan perjalanan menuju dataran tinggi yang disebut Sekala Brak di kaki Gunung Pesagi.
Penghuni gunung itu diyakini sebagai salah satu teori yang dapat menjelaskan cikal bakal dan nenek moyang orang Lampung. Karena perkembangan penduduk dan berbagai sebab telah terjadi migrasi warga Sekala Brak, dengan menelusuri Way Kanan, Way Abung, dan Way Tulangbawang dan beranak pinak menjadi kelompok budaya tersendiri.
Kelompok lain menelusuri sepanjang pantai Lampung Barat mulai dari Kotaagung, Pesawaran, Putihdoh, Canti Kalianda, Labuhanmaringgai, hingga Cikoneng Banten. Sekelompok yang lain lagi, menelusuri aliran sungai dan menetap di Komering dan Kayuagung, Sumatera Selatan.
Orang Lampung begitu akrab dengan air, sungai, dan laut. Dunia air adalah dunia maritim. Artefak jejak langkah budaya Lampung itu, kini masih amat tampak nyata dan jelas. Betapa Lampung identik dengan air (sungai dan laut), ditandai dengan nama wilayah yang identik dengan sungainya. Kabupaten Way Kanan diambil dari nama sungai Way Kanan, Way Tulangbawang menjadi Kabupaten Tulangbawang, Way Mesuji menjadi Kabupaten Mesuji, Way Abung, Way Seputih, Way Sekampung, Way Semangka, Way Semong, Way Galih, dan seterusnya. Lebih khusus lagi jika nama desa dan kecamatan yang mengambil nama sungainya: Way Abung, Way Lunik, Way Pengubuan, Way Besai, Way Lima, Way Halim, Way Dadi, Way Kandis, Way Srengsem, Way Lunik, Way Pidada, Way Kuala, Way Bakung, Way Kunyit, Way Kupang, Way Kuripan, Way Halim, Way Kandis, dan seterusnya.
Selain air, alam Lampung menghasilkan rempah yang dihasilkan oleh alam dari hutan dan gunung. Ada beberapa gunung berapi yang aktif, yaitu Gunung Rajabasa di daerah Kalianda, Lampung Selatan, Gunung Betung di perbatasan Bandar Lampung dan Pesawaran, dan Gunung Tanggamus, Kabupaten Tanggamus. Di samping gunung berapi, Bukit Barisan yang membentang dari Sumatera Utara berujung di Lampung yang menjadi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Pada berbagai sudut kota, untuk menyebut contoh, di Bandar Lampung terdapat gunung (bukit) sebagai penghias kota, seperti Gunung Koga, Gunung Sulah, Bukit Camang, Bukit Klutum, Bukit Sukabumi, dan Bukit Kunyit, Gunung Betung, dan lain-lain.
Secara tradisional, Lampung memiliki alat transportasi yang disebut jung. Jung membawa orang Lampung bermigrasi atau berdagang hasil hutan dan gunung, seperti lada, kopi, cengkih, dan damar dengan dunia luar. Karena itu, di samping dengan alam, orang Lampung berinteraksi dengan kelompok besar masyarakat pendatang dari nusantara maupun mancanegara.
Sebelum ada pesawat terbang, kereta api, dan mobil sebagai transportasi persentuhan orang Lampung dengan budaya global tentu saja kapal. Jung adalah kapal Lampung. Budaya air dengan jung itulah yang menghubungkan Lampung dengan kebudayaan global sejak zaman purba. Kerajaan-kerajaan nusantara, seperti Kerajaan Sriwijaya, Pagar Uyung, Majapahit, dan Banten, Malaka. Begitu juga India, Tiongkok, Mesir, dan Eropa.
Lampung dan 'Jung'
Dua puluh lima tahun yang lalu, kakak saya mengunjungi adiknya yang tinggal di Lampung. Dia ke Pasar Bambu Kuning membeli sebuah rajutan untuk hiasan dinding. Suvenir itu kini dipajang di ruang tamunya di Yogyakarta. Saya juga melihat jung sebagai hiasan dinding berada di ruang tunggu VIP Bandara Radin Inten.
Guna membuat tulisan ini saya melongok ke Museum Lampung. Saya menyaksikan sebuah perayaan (dalam diri saya) tentang jung. Apakah ini yang saya cari? Apakah saya telah menemukan jawaban? Artefak ini jelas dan nyata, bahkan secara demonstratif terpampang secara mencolok di pagar, dinding pagar, dinding depan kantor museum, ornamen penghias dinding museum, ornamen tiang museum, ornamen bubungan atap, dan seterusnya.
Melihat memang memerlukan pikiran, tidak sekadar dengan mata. Karena itu, pikiran ini terus bertanya dan perlu jawaban. Apakah jung ini memiliki hubungan dengan kawasan maritim di Tanggamus? Kalau belum, dapatkah terhubung?
Perjalanan pikiran pun berlanjut. Sepulang dari museum, melihat dan mengidentifikasi Jung yang telah menjadi hiasan pagar pada rumah-rumah mewah di Jalan Sultan Agung. Sampailah perjalanan di Taman Mini Lampung di PKOR Way Halim.
Jauhari Zailani, Pengamat dan penggiat sosial, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Februari 2013
KAWASAN Industri Maritim (KIM) yang dibangun di atas tanah 3.500 hektare akan dibangun industri galangan kapal, industri penunjang minyak dan gas, seperti ric dan jak up. Kalau rencana terwujud, Kotaagung bisa menjadi kota pelabuhan di Indonesia, menyusul dan melengkapi pelabuhan milik Pertamina dengan batu bara, minyak, dan gas.
Pembangunan Kotaagung sebagai pelabuhan membangkitkan kenangan pada kebesaran Pelabuhan Krui, mengingatkan pada Pelabuhan Putihdoh dan Pelabuhan Tulangbawang. Melengkapi pelabuhan batu bara di Tarahan, Pelabuhan Internasional Samudra, Panjang. Teluk Kiluan akan kian berkilau dengan keberadaan KIM di Kotaagung, keberadaan pangkalan armada barat di Teluk Ratai kian relevan.
Bukan main. Menggetarkan jiwa. Tapi kemudian, terbayang sisi yang lain, dan ini yang menggelayut dalam benak: segala riuh rendahnya pembangunan dengan kelipatan efeknya, bisakah masyarakat Lampung memanfaatkan peluang itu, atau akankah menjadi penonton saja?
Lampung dan Air
Secara antropologi, lingkungan fisik dan sosial yang membentuk watak, karakter, dan budaya manusia penghuninya. Gunung Krakatau yang berada di Selat Sunda menandai bahwa Lampung bergunung dan berair. Ada beberapa gunung berapi yang aktif, yaitu Gunung Rajabasa, Gunung Betung, Gunung Tanggamus, dan tentu saja Bukit Barisan Selatan serta bukit yang membentang dan menghiasi kota memantek bumi. Di kaki Gunung Pesagi, bermula kerajaan Sekala Brak. Legendanya, ratusan ribu tahun yang lalu, di atas bukit itu bermukim pengungsi dari ompung yang mengungsi dari Danau Toba.
Alkisah, dimulai ketika Danau Toba masih berupa Gunung Berapi. Suatu masa, gunung berapi tersebut meletus, terjadilah esksodus manusia yang mengungsi ke segala arah angin. Di antara keluarga Tapanuli yang mengungsi, ada empat saudara yang menyelamatkan diri. Salah seorang dari mereka adalah Ompung Silamponga.
Pengungsi ini menaiki rakit dari pantai di Tanah Tapanuli, tetapi terdampar di pesisir Krui, Lampung Barat. Dari pantai Krui, Si Ompung melanjutkan perjalanan menuju dataran tinggi yang disebut Sekala Brak di kaki Gunung Pesagi.
Penghuni gunung itu diyakini sebagai salah satu teori yang dapat menjelaskan cikal bakal dan nenek moyang orang Lampung. Karena perkembangan penduduk dan berbagai sebab telah terjadi migrasi warga Sekala Brak, dengan menelusuri Way Kanan, Way Abung, dan Way Tulangbawang dan beranak pinak menjadi kelompok budaya tersendiri.
Kelompok lain menelusuri sepanjang pantai Lampung Barat mulai dari Kotaagung, Pesawaran, Putihdoh, Canti Kalianda, Labuhanmaringgai, hingga Cikoneng Banten. Sekelompok yang lain lagi, menelusuri aliran sungai dan menetap di Komering dan Kayuagung, Sumatera Selatan.
Orang Lampung begitu akrab dengan air, sungai, dan laut. Dunia air adalah dunia maritim. Artefak jejak langkah budaya Lampung itu, kini masih amat tampak nyata dan jelas. Betapa Lampung identik dengan air (sungai dan laut), ditandai dengan nama wilayah yang identik dengan sungainya. Kabupaten Way Kanan diambil dari nama sungai Way Kanan, Way Tulangbawang menjadi Kabupaten Tulangbawang, Way Mesuji menjadi Kabupaten Mesuji, Way Abung, Way Seputih, Way Sekampung, Way Semangka, Way Semong, Way Galih, dan seterusnya. Lebih khusus lagi jika nama desa dan kecamatan yang mengambil nama sungainya: Way Abung, Way Lunik, Way Pengubuan, Way Besai, Way Lima, Way Halim, Way Dadi, Way Kandis, Way Srengsem, Way Lunik, Way Pidada, Way Kuala, Way Bakung, Way Kunyit, Way Kupang, Way Kuripan, Way Halim, Way Kandis, dan seterusnya.
Selain air, alam Lampung menghasilkan rempah yang dihasilkan oleh alam dari hutan dan gunung. Ada beberapa gunung berapi yang aktif, yaitu Gunung Rajabasa di daerah Kalianda, Lampung Selatan, Gunung Betung di perbatasan Bandar Lampung dan Pesawaran, dan Gunung Tanggamus, Kabupaten Tanggamus. Di samping gunung berapi, Bukit Barisan yang membentang dari Sumatera Utara berujung di Lampung yang menjadi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Pada berbagai sudut kota, untuk menyebut contoh, di Bandar Lampung terdapat gunung (bukit) sebagai penghias kota, seperti Gunung Koga, Gunung Sulah, Bukit Camang, Bukit Klutum, Bukit Sukabumi, dan Bukit Kunyit, Gunung Betung, dan lain-lain.
Secara tradisional, Lampung memiliki alat transportasi yang disebut jung. Jung membawa orang Lampung bermigrasi atau berdagang hasil hutan dan gunung, seperti lada, kopi, cengkih, dan damar dengan dunia luar. Karena itu, di samping dengan alam, orang Lampung berinteraksi dengan kelompok besar masyarakat pendatang dari nusantara maupun mancanegara.
Sebelum ada pesawat terbang, kereta api, dan mobil sebagai transportasi persentuhan orang Lampung dengan budaya global tentu saja kapal. Jung adalah kapal Lampung. Budaya air dengan jung itulah yang menghubungkan Lampung dengan kebudayaan global sejak zaman purba. Kerajaan-kerajaan nusantara, seperti Kerajaan Sriwijaya, Pagar Uyung, Majapahit, dan Banten, Malaka. Begitu juga India, Tiongkok, Mesir, dan Eropa.
Lampung dan 'Jung'
Dua puluh lima tahun yang lalu, kakak saya mengunjungi adiknya yang tinggal di Lampung. Dia ke Pasar Bambu Kuning membeli sebuah rajutan untuk hiasan dinding. Suvenir itu kini dipajang di ruang tamunya di Yogyakarta. Saya juga melihat jung sebagai hiasan dinding berada di ruang tunggu VIP Bandara Radin Inten.
Guna membuat tulisan ini saya melongok ke Museum Lampung. Saya menyaksikan sebuah perayaan (dalam diri saya) tentang jung. Apakah ini yang saya cari? Apakah saya telah menemukan jawaban? Artefak ini jelas dan nyata, bahkan secara demonstratif terpampang secara mencolok di pagar, dinding pagar, dinding depan kantor museum, ornamen penghias dinding museum, ornamen tiang museum, ornamen bubungan atap, dan seterusnya.
Melihat memang memerlukan pikiran, tidak sekadar dengan mata. Karena itu, pikiran ini terus bertanya dan perlu jawaban. Apakah jung ini memiliki hubungan dengan kawasan maritim di Tanggamus? Kalau belum, dapatkah terhubung?
Perjalanan pikiran pun berlanjut. Sepulang dari museum, melihat dan mengidentifikasi Jung yang telah menjadi hiasan pagar pada rumah-rumah mewah di Jalan Sultan Agung. Sampailah perjalanan di Taman Mini Lampung di PKOR Way Halim.
Jauhari Zailani, Pengamat dan penggiat sosial, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Februari 2013
No comments:
Post a Comment