Oleh Kristian Adi Putra
ARGUMENTASI tentang kepunahan bahasa Lampung dimulai tahun 1994 oleh Asim Gunarwan, guru besar linguistik dari Universitas Indonesia. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa telah terjadi pergeseran pilihan penggunaan bahasa dalam keluarga bersuku Lampung yang tinggal di Bandar Lampung.
Dari anggota keluarga dalam rentang usia di atas 41 tahun, ditemukan bahwa bahasa Lampung masih digunakan secara konsisten. Namun, ketika melihat rentang usia 21?40 tahun, terlihat bahwa penggunaan bahasa Lampung dan bahasa Indonesia berimbang di tingkat rumah. Sementara itu, pada rentang usia di bawah 20 tahun, bahasa Indonesia tampak lebih mendominasi. Dengan hasil temuan ini, Asim Gunarwan memprediksi bahwa dalam 75?100 tahun semenjak penelitiannya dilakukan, bahasa Lampung terancam punah.
Pada publikasi di jurnal Aksara tahun 2009, Hartati Hasan, dosen FKIP Universitas Lampung, memperkuat temuan Asim Gunarwan. Hartati Hasan mengungkapkan bahwa orang tua dalam keluarga bersuku Lampung memilih menggunakan bahasa Indonesia saat berkomunikasi dengan anak mereka di rumah. Konsekuensinya anak mereka tidak bisa berbahasa Lampung karena memang tidak menemukan lagi komunitas tempat mereka bisa menggunakan bahasa Lampung.
Dalam masyarakat yang sangat multikultural di Bandar Lampung, tentu saja bisa dipastikan bahwa komunikasi umumnya dilakukan dalam bahasa Indonesia, daripada bahasa daerah. Oleh karena itu, muncul prediksi kedua bahwa setidaknya dalam tiga generasi ke depan, apabila pola ini terus berlanjut, kepunahan bahasa Lampung ini benar-benar akan terjadi.
Bukan Bahasa Utama
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah pergeseran pilihan bahasa ini juga terjadi di daerah-daerah yang masih menjadi basis penggunaan bahasa Lampung, seperti Kotabumi, Talangpadang, Liwa, Tanggamus, Kalianda, dan lainnya.
Dari hasil penelitian Katubi pada tahun 2006, di daerah-daerah tersebut, ditemukan bahwa bahasa Lampung masih dipilih untuk digunakan dalam ranah keluarga dan lingkungan. Namun, pergeseran mulai tampak dalam ranah penggunaan bahasa yang lebih tinggi, yaitu dalam ranah pendidikan, agama, acara-acara adat, dan perdagangan, Bahasa Lampung tidak lagi menjadi pilihan utama.
Kekhawatiran yang kemudian muncul adalah apabila pada saatnya nanti bahasa Indonesia mulai secara bertahap digunakan dalam ranah rumah dan lingkungan akibat meluasnya persebaran penduduk nonsuku Lampung di Lampung, seperti halnya yang telah terjadi di Bandar Lampung. Apabila bahasa Indonesia mulai digunakan di tingkat rumah dan lingkungan, sudah bisa dipastikan bahwa kepunahan bahasa Lampung tinggal menunggu waktu.
Membumikan Bahasa Lampung
Oleh karena itu, kemudian beralasan apabila usaha-usaha pemertahanan bahasa Lampung sudah menjadi bahan diskusi yang panjang karena layak untuk kembali diangkat. Salah satu usaha yang telah dilakukan pemerintah adalah dengan dikeluarkannya rujukan penggunaan bahasa daerah untuk membantu siswa bisa berbahasa Indonesia saat di kelas I?III SD, dan diberikannya mata pelajaran Bahasa Daerah Lampung dua jam pelajaran dalam satu minggu mulai kelas IV SD?kelas IX SMP.
Pemerintah juga merekomendasikan penetapan satu hari berbahasa daerah di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintahan. Penggunaan istilah-istilah dan aksara dalam bahasa Lampung dalam papan pelang institusi, baik sekolah maupun kantor pemerintahan, juga terlihat, seperti ?desa? yang diganti dengan istilah ?pekon? dan ?kepala desa? yang diganti dengan ?kepala pekon.? Namun, apakah usaha-usaha tersebut sudah menunjukkan hasilnya dan hambatan-hambatan apa yang ditemui dalam penerapan program tersebut, menarik untuk dilihat lebih jauh.
Kita harus mengakui bahwa masyarakat bersuku Lampung saat ini adalah minoritas di Provinsi Lampung. Menurut data Kantor Bahasa Provinsi Lampung di tahun 2008, dikemukakan bahwa penutur bahasa Jawa di Provinsi Lampung berkisar pada angka 61,88%, bahasa Lampung 11,92%, bahasa Sunda 11,27%, dan suku-suku lainnya; seperti Bengkulu, Batak, Minang, dan Bugis 11,35%.
Oleh karena itu, definisi penggunaan bahasa daerah untuk membantu siswa kelas I?III SD bisa berbahasa Indonesia juga menjadi rancu. Bahasa daerah di sini kemudian tidak selalu harus diartikan bahasa Lampung. Apabila bahasa ibu seorang anak adalah mayoritas Jawa, guru juga akan sepertinya lebih mudah mengajarkan siswa di kelas I dengan bahasa Jawa daripada bahasa Lampung.
Begitu juga dengan siswa-siswa di daerah kota, misalkan, Bandar Lampung yang mayoritas bahasa ibunya adalah bahasa Indonesia. wajar apabila guru kemudian langsung menggunakan bahasa Indonesia saat mengajar di kelas I SD. Pemerintah, dalam hal ini, memang dituntut harus bersikap realistis dan humanis dalam membuat kebijakan, bahwa masyarakat non-Lampung pun berhak untuk belajar tentang bahasa dan budayanya sendiri. Penggunaan bahasa Lampung untuk mengajar siswa di kelas I?III pun idealnya dibatasi pada daerah-daerah yang memang masih menjadi basis penggunaan bahasa Lampung.
Media baik cetak maupun elektronik dan instansi-instansi pemerintah, seperti Kantor Bahasa, Dewan Kesenian Lampung, dan Dinas Pariwisata, juga dituntut lebih aktif berpartisipasi membantu promosi penggunaan bahasa Lampung. Tentu, biaya yang dibutuhkan untuk semua usaha ini tidaklah sedikit, tetapi kehilangan bahasa dan budaya juga sesuatu kerugian yang akan lebih kita sesali. Bila saat ini kita tidak memulai, kepunahan bahasa Lampung adalah sebuah keniscayaan yang pasti akan segera terjadi.
Kristian Adi Putra, Mahasiswa Pascasarjana Department of English Language and Linguistics, The University of Arizona
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 23 Februari 2013
ARGUMENTASI tentang kepunahan bahasa Lampung dimulai tahun 1994 oleh Asim Gunarwan, guru besar linguistik dari Universitas Indonesia. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa telah terjadi pergeseran pilihan penggunaan bahasa dalam keluarga bersuku Lampung yang tinggal di Bandar Lampung.
Dari anggota keluarga dalam rentang usia di atas 41 tahun, ditemukan bahwa bahasa Lampung masih digunakan secara konsisten. Namun, ketika melihat rentang usia 21?40 tahun, terlihat bahwa penggunaan bahasa Lampung dan bahasa Indonesia berimbang di tingkat rumah. Sementara itu, pada rentang usia di bawah 20 tahun, bahasa Indonesia tampak lebih mendominasi. Dengan hasil temuan ini, Asim Gunarwan memprediksi bahwa dalam 75?100 tahun semenjak penelitiannya dilakukan, bahasa Lampung terancam punah.
Pada publikasi di jurnal Aksara tahun 2009, Hartati Hasan, dosen FKIP Universitas Lampung, memperkuat temuan Asim Gunarwan. Hartati Hasan mengungkapkan bahwa orang tua dalam keluarga bersuku Lampung memilih menggunakan bahasa Indonesia saat berkomunikasi dengan anak mereka di rumah. Konsekuensinya anak mereka tidak bisa berbahasa Lampung karena memang tidak menemukan lagi komunitas tempat mereka bisa menggunakan bahasa Lampung.
Dalam masyarakat yang sangat multikultural di Bandar Lampung, tentu saja bisa dipastikan bahwa komunikasi umumnya dilakukan dalam bahasa Indonesia, daripada bahasa daerah. Oleh karena itu, muncul prediksi kedua bahwa setidaknya dalam tiga generasi ke depan, apabila pola ini terus berlanjut, kepunahan bahasa Lampung ini benar-benar akan terjadi.
Bukan Bahasa Utama
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah pergeseran pilihan bahasa ini juga terjadi di daerah-daerah yang masih menjadi basis penggunaan bahasa Lampung, seperti Kotabumi, Talangpadang, Liwa, Tanggamus, Kalianda, dan lainnya.
Dari hasil penelitian Katubi pada tahun 2006, di daerah-daerah tersebut, ditemukan bahwa bahasa Lampung masih dipilih untuk digunakan dalam ranah keluarga dan lingkungan. Namun, pergeseran mulai tampak dalam ranah penggunaan bahasa yang lebih tinggi, yaitu dalam ranah pendidikan, agama, acara-acara adat, dan perdagangan, Bahasa Lampung tidak lagi menjadi pilihan utama.
Kekhawatiran yang kemudian muncul adalah apabila pada saatnya nanti bahasa Indonesia mulai secara bertahap digunakan dalam ranah rumah dan lingkungan akibat meluasnya persebaran penduduk nonsuku Lampung di Lampung, seperti halnya yang telah terjadi di Bandar Lampung. Apabila bahasa Indonesia mulai digunakan di tingkat rumah dan lingkungan, sudah bisa dipastikan bahwa kepunahan bahasa Lampung tinggal menunggu waktu.
Membumikan Bahasa Lampung
Oleh karena itu, kemudian beralasan apabila usaha-usaha pemertahanan bahasa Lampung sudah menjadi bahan diskusi yang panjang karena layak untuk kembali diangkat. Salah satu usaha yang telah dilakukan pemerintah adalah dengan dikeluarkannya rujukan penggunaan bahasa daerah untuk membantu siswa bisa berbahasa Indonesia saat di kelas I?III SD, dan diberikannya mata pelajaran Bahasa Daerah Lampung dua jam pelajaran dalam satu minggu mulai kelas IV SD?kelas IX SMP.
Pemerintah juga merekomendasikan penetapan satu hari berbahasa daerah di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintahan. Penggunaan istilah-istilah dan aksara dalam bahasa Lampung dalam papan pelang institusi, baik sekolah maupun kantor pemerintahan, juga terlihat, seperti ?desa? yang diganti dengan istilah ?pekon? dan ?kepala desa? yang diganti dengan ?kepala pekon.? Namun, apakah usaha-usaha tersebut sudah menunjukkan hasilnya dan hambatan-hambatan apa yang ditemui dalam penerapan program tersebut, menarik untuk dilihat lebih jauh.
Kita harus mengakui bahwa masyarakat bersuku Lampung saat ini adalah minoritas di Provinsi Lampung. Menurut data Kantor Bahasa Provinsi Lampung di tahun 2008, dikemukakan bahwa penutur bahasa Jawa di Provinsi Lampung berkisar pada angka 61,88%, bahasa Lampung 11,92%, bahasa Sunda 11,27%, dan suku-suku lainnya; seperti Bengkulu, Batak, Minang, dan Bugis 11,35%.
Oleh karena itu, definisi penggunaan bahasa daerah untuk membantu siswa kelas I?III SD bisa berbahasa Indonesia juga menjadi rancu. Bahasa daerah di sini kemudian tidak selalu harus diartikan bahasa Lampung. Apabila bahasa ibu seorang anak adalah mayoritas Jawa, guru juga akan sepertinya lebih mudah mengajarkan siswa di kelas I dengan bahasa Jawa daripada bahasa Lampung.
Begitu juga dengan siswa-siswa di daerah kota, misalkan, Bandar Lampung yang mayoritas bahasa ibunya adalah bahasa Indonesia. wajar apabila guru kemudian langsung menggunakan bahasa Indonesia saat mengajar di kelas I SD. Pemerintah, dalam hal ini, memang dituntut harus bersikap realistis dan humanis dalam membuat kebijakan, bahwa masyarakat non-Lampung pun berhak untuk belajar tentang bahasa dan budayanya sendiri. Penggunaan bahasa Lampung untuk mengajar siswa di kelas I?III pun idealnya dibatasi pada daerah-daerah yang memang masih menjadi basis penggunaan bahasa Lampung.
Media baik cetak maupun elektronik dan instansi-instansi pemerintah, seperti Kantor Bahasa, Dewan Kesenian Lampung, dan Dinas Pariwisata, juga dituntut lebih aktif berpartisipasi membantu promosi penggunaan bahasa Lampung. Tentu, biaya yang dibutuhkan untuk semua usaha ini tidaklah sedikit, tetapi kehilangan bahasa dan budaya juga sesuatu kerugian yang akan lebih kita sesali. Bila saat ini kita tidak memulai, kepunahan bahasa Lampung adalah sebuah keniscayaan yang pasti akan segera terjadi.
Kristian Adi Putra, Mahasiswa Pascasarjana Department of English Language and Linguistics, The University of Arizona
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 23 Februari 2013
No comments:
Post a Comment