Oleh Iwan Nurdaya-Djafar
WARTAWAN adalah orang yang berkubang di tengah banjir informasi, bahkan jauh sebelum apa yang dinamai Era Informasi itu hadir melalui teknologi informasi – terutama – internet. Bukankah wartawan adalah orang yang justru memburu – alih-alih menunggu – informasi, bahkan jika perlu melalui investigasi yang penuh risiko. Era Informasi itu sendiri muncul sebagai gelombang ketiga (1970-2000) di dalam sejarah peradaban umat manusia, menyusul era pertanian sebagai gelombang pertama (800 sM-1500 M) dan era industri sebagai gelombang kedua (1500 M-1970 M) seperti dicatat Alvin Toffler dalam The Third Wave (Gelombang Ketiga).
Heri Wardoyo, penulis kumpulan kolom Acropolis: Kerajaan Nalar (Laras Bahasa, Mei 2013) adalah wartawan/jurnalis, yang tak pelak berkubang pula di tengah banjir informasi. Soalnya adalah, di tengah banjir informasi itu, apakah sang wartawan melulu tenggelam dengan menulis berita berdasarkan fakta belaka, atau justru berhasil berenang mengarungi banjir informasi dengan melakukan refleksi berupa tulisan kolom, artikel, dan bahkan novel seperti dilakoni Mochtar Lubis, Mahbub Djunaedi, dan Bur Rasuanto.
Heri memilih yang kedua dengan menulis kolom. Melalui pilihan ini, Heri menolak untuk lupa, memilih untuk ingat, atas pelbagai peristiwa; termasuk menjaga hal-hal yang telah jelas dan menjadi pengetahuan umum agar tidak bias oleh banjir informasi (hlm. 1). Demikianlah Heri mengingatkan kita melalui 122 kolom yang ditulisnya, bukan saja terhadap soal-soal ‘orang besar’ (somebody) yang dikira penting seperti muncul dalam kolom “Tommy” (hlm. 23-24), tapi juga soal-soal ‘orang kecil’ (nobody) yang dikira remeh sebagaimana mencuat dalam kolom “Sudarti,” (hlm. 9-10) “Kelimun,” (hlm. 19-20) dan “Vui (hlm. 25-26).”
Di dalam menentukan penting-tidaknya berita, tanpa segan Heri melontarkan otokritik kepada sesama wartawan dalam kolom bertajuk “Sudarti” yang bertutur tentang seorang pedagang sayuran berusia 35 tahun yang tewas setelah dadanya ditusuk penodong di Jalan Pisang, Pasirgintung, Bandarlampung. “Berdasarkan terma dan ‘keyakinan’ jurnalisme, ini berita kecil … Apalah artinya seorang Sudarti yang nobody di pelataran negeri ini … Singkat kata, berita kematian ibu dari beberapa anak ini cuma menjadi one day news. Besok, beribu peristiwa hadir dan kami, kaum pewarta, menyeleksinya cermat-cermat sembari menelisik mana yang layak diberitakan mana yang harus dilewatkan.” (hlm. 9)
Kolom, menurut Emha Ainun Nadjib dalam pengantarnya bertajuk “Menemukan Manusia Esei” bisa bermuatan ‘kalimat-kalimat kedalaman hidup’ yang tidak bisa engkau ungkapkan melalui tajuk rencana, berlebihan kalau features menguraikannya, tak cukup ruang bila pojok menyentilnya, juga tak cukup wacana jika artikel ilmiah mencoba mengarunginya, apalagi straight news. Itulah gunanya buku ini. (hlm. xviii)
2
Hari-hari ini, kita tengah menunggu (lagi) penaikan harga BBM. Dua belas setengah tahun lalu, persisnya 18 Januari 2001, Heri menulis kolom “Skenario BBM.” (hlm. 11-12) Heri menulis, “Minyak tanah langka di tengah rencana kenaikan BBM yang terus ditunda. Dua lelucon muncul: karena harga terus melambung, minyak tanah tak lagi ekonomis jika dioplos dengan bensin. Lelucon kedua, situasi kalut yang menciptakan kelangkaan ini merupakan cerminan kondisi politik kita.”
Agaknya sejarah berulang. Pemerintah tetap tidak becus mengurus BBM. Antrean memanjang. Secara resmi, harga BBM mendua. Secara tidak resmi, harga BBM di eceran, solar misalnya, bisa meniga atau bahkan mengempat. Acapkali BBM malah raib dipermainkan para spekulan. Penaikan harga BBM bukan lagi persoalan ekonomi yang berasumsi ceteris paribus (dalam keadaan yang sama), tapi sarat kepentingan politis yang dulu dikemas dengan Jaring Pengaman Sosial dan kini subsidi kenaikan BBM. Di balik itu semua, bukan mustahil dimaksudkan untuk mendulang suara!
3
Kolom-kolom Heri bernada reflektif, sarat permenungan, baik orisinal maupun kutipan. Bacaan Heri luas, mulai dari Socrates, Nietzsche, Hegel, Marx, Kant, Milan Kundera, Francis Fukuyama, Thomas Khun, David McCleland, George Orwell, Bertrand Russel, Clifford Geertz, Kahlil Gibran, Mochtar Lubis, Arief Budiman, Chairil Anwar, dan entah siapa lagi. Dengan segenap permenungan itu, saya setuju dengan endorsement Nasrullah Yusuf yang menyebut buku ini mencerdaskan. Tapi juga saya setuju dengan penilaian Sugeng P. Haryanto bahwa buku ini terasa ndakik-ndakik dan filosofis.
Yang belum disebutkan oleh para penulis endorsement dan kata pengantar adalah bahwa kolom-kolom Heri bernilai sastrawi. Penuturannya bukan saja mendalam tetapi juga indah. Pada bagian-bagian tertentu, lazimnya di penghujung kolom, malah bak kata-kata mutiara, misalnya: Tuhan Maha Mengetahui setiap gerak batin kita (hlm. 14), Tahta dewa tidak di langit, tapi di sela jerit-tangis dan tawa-bahagia rakyat (hlm. 18); Hukum dan keadilan memang seperti sepupu jauh; dan di sini, keduanya bahkan tak saling menyapa (hlm. 24).
Yang terasa kurang dalam kolom-kolom Heri adalah pendayagunaan humor. Padahal humor juga efektif sebagai kritik. Kritik sosial yang disampaikan secara tertulis sering menimbulkan bencana. Lain hal kalau itu disajikan dalam bentuk humor. Protes sosial dalam humor tidak mungkin ditanggapi secara serius, karena yang menyuarakannya sama sekali tidak bertanggungjawab. Tanggungjawabnya sudah diambil kolektif dan dengan demikian kolektif yang bertanggungjawab.
Padahal dalam esei pertama bertajuk “Lupa” (hlm. 1-2) Heri justru membukanya dengan mengutip The Book of Laughter and Forgetting karya Milan Kundera. Namun, sayangnya, Heri hanya mengingatkan forgetting, namun melupakan laughter (tawa).
Emha Ainun Nadjib, Mahbub Djunaedi, Sutjipto Wirosardjono, Romo Mangun, Umar Kayam, dan M. Sobari kerap menyodokkan humor di dalam kolom-kolomnya; dan dengan begitu pembaca tercerdaskan sekaligus terhibur. Agaknya Heri perlu juga mendayagunakan kekuatan humor di dalam kolom-kolomnya. Bukankah begitu, bapak Wakil Bupati: Waduh Sikile, Buka Paha Tinggi-tinggi sih ... n
Iwan Nurdaya-Djafar, Budayawan
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 8 Juni 2013
WARTAWAN adalah orang yang berkubang di tengah banjir informasi, bahkan jauh sebelum apa yang dinamai Era Informasi itu hadir melalui teknologi informasi – terutama – internet. Bukankah wartawan adalah orang yang justru memburu – alih-alih menunggu – informasi, bahkan jika perlu melalui investigasi yang penuh risiko. Era Informasi itu sendiri muncul sebagai gelombang ketiga (1970-2000) di dalam sejarah peradaban umat manusia, menyusul era pertanian sebagai gelombang pertama (800 sM-1500 M) dan era industri sebagai gelombang kedua (1500 M-1970 M) seperti dicatat Alvin Toffler dalam The Third Wave (Gelombang Ketiga).
Heri Wardoyo, penulis kumpulan kolom Acropolis: Kerajaan Nalar (Laras Bahasa, Mei 2013) adalah wartawan/jurnalis, yang tak pelak berkubang pula di tengah banjir informasi. Soalnya adalah, di tengah banjir informasi itu, apakah sang wartawan melulu tenggelam dengan menulis berita berdasarkan fakta belaka, atau justru berhasil berenang mengarungi banjir informasi dengan melakukan refleksi berupa tulisan kolom, artikel, dan bahkan novel seperti dilakoni Mochtar Lubis, Mahbub Djunaedi, dan Bur Rasuanto.
Heri memilih yang kedua dengan menulis kolom. Melalui pilihan ini, Heri menolak untuk lupa, memilih untuk ingat, atas pelbagai peristiwa; termasuk menjaga hal-hal yang telah jelas dan menjadi pengetahuan umum agar tidak bias oleh banjir informasi (hlm. 1). Demikianlah Heri mengingatkan kita melalui 122 kolom yang ditulisnya, bukan saja terhadap soal-soal ‘orang besar’ (somebody) yang dikira penting seperti muncul dalam kolom “Tommy” (hlm. 23-24), tapi juga soal-soal ‘orang kecil’ (nobody) yang dikira remeh sebagaimana mencuat dalam kolom “Sudarti,” (hlm. 9-10) “Kelimun,” (hlm. 19-20) dan “Vui (hlm. 25-26).”
Di dalam menentukan penting-tidaknya berita, tanpa segan Heri melontarkan otokritik kepada sesama wartawan dalam kolom bertajuk “Sudarti” yang bertutur tentang seorang pedagang sayuran berusia 35 tahun yang tewas setelah dadanya ditusuk penodong di Jalan Pisang, Pasirgintung, Bandarlampung. “Berdasarkan terma dan ‘keyakinan’ jurnalisme, ini berita kecil … Apalah artinya seorang Sudarti yang nobody di pelataran negeri ini … Singkat kata, berita kematian ibu dari beberapa anak ini cuma menjadi one day news. Besok, beribu peristiwa hadir dan kami, kaum pewarta, menyeleksinya cermat-cermat sembari menelisik mana yang layak diberitakan mana yang harus dilewatkan.” (hlm. 9)
Kolom, menurut Emha Ainun Nadjib dalam pengantarnya bertajuk “Menemukan Manusia Esei” bisa bermuatan ‘kalimat-kalimat kedalaman hidup’ yang tidak bisa engkau ungkapkan melalui tajuk rencana, berlebihan kalau features menguraikannya, tak cukup ruang bila pojok menyentilnya, juga tak cukup wacana jika artikel ilmiah mencoba mengarunginya, apalagi straight news. Itulah gunanya buku ini. (hlm. xviii)
2
Hari-hari ini, kita tengah menunggu (lagi) penaikan harga BBM. Dua belas setengah tahun lalu, persisnya 18 Januari 2001, Heri menulis kolom “Skenario BBM.” (hlm. 11-12) Heri menulis, “Minyak tanah langka di tengah rencana kenaikan BBM yang terus ditunda. Dua lelucon muncul: karena harga terus melambung, minyak tanah tak lagi ekonomis jika dioplos dengan bensin. Lelucon kedua, situasi kalut yang menciptakan kelangkaan ini merupakan cerminan kondisi politik kita.”
Agaknya sejarah berulang. Pemerintah tetap tidak becus mengurus BBM. Antrean memanjang. Secara resmi, harga BBM mendua. Secara tidak resmi, harga BBM di eceran, solar misalnya, bisa meniga atau bahkan mengempat. Acapkali BBM malah raib dipermainkan para spekulan. Penaikan harga BBM bukan lagi persoalan ekonomi yang berasumsi ceteris paribus (dalam keadaan yang sama), tapi sarat kepentingan politis yang dulu dikemas dengan Jaring Pengaman Sosial dan kini subsidi kenaikan BBM. Di balik itu semua, bukan mustahil dimaksudkan untuk mendulang suara!
3
Kolom-kolom Heri bernada reflektif, sarat permenungan, baik orisinal maupun kutipan. Bacaan Heri luas, mulai dari Socrates, Nietzsche, Hegel, Marx, Kant, Milan Kundera, Francis Fukuyama, Thomas Khun, David McCleland, George Orwell, Bertrand Russel, Clifford Geertz, Kahlil Gibran, Mochtar Lubis, Arief Budiman, Chairil Anwar, dan entah siapa lagi. Dengan segenap permenungan itu, saya setuju dengan endorsement Nasrullah Yusuf yang menyebut buku ini mencerdaskan. Tapi juga saya setuju dengan penilaian Sugeng P. Haryanto bahwa buku ini terasa ndakik-ndakik dan filosofis.
Yang belum disebutkan oleh para penulis endorsement dan kata pengantar adalah bahwa kolom-kolom Heri bernilai sastrawi. Penuturannya bukan saja mendalam tetapi juga indah. Pada bagian-bagian tertentu, lazimnya di penghujung kolom, malah bak kata-kata mutiara, misalnya: Tuhan Maha Mengetahui setiap gerak batin kita (hlm. 14), Tahta dewa tidak di langit, tapi di sela jerit-tangis dan tawa-bahagia rakyat (hlm. 18); Hukum dan keadilan memang seperti sepupu jauh; dan di sini, keduanya bahkan tak saling menyapa (hlm. 24).
Yang terasa kurang dalam kolom-kolom Heri adalah pendayagunaan humor. Padahal humor juga efektif sebagai kritik. Kritik sosial yang disampaikan secara tertulis sering menimbulkan bencana. Lain hal kalau itu disajikan dalam bentuk humor. Protes sosial dalam humor tidak mungkin ditanggapi secara serius, karena yang menyuarakannya sama sekali tidak bertanggungjawab. Tanggungjawabnya sudah diambil kolektif dan dengan demikian kolektif yang bertanggungjawab.
Padahal dalam esei pertama bertajuk “Lupa” (hlm. 1-2) Heri justru membukanya dengan mengutip The Book of Laughter and Forgetting karya Milan Kundera. Namun, sayangnya, Heri hanya mengingatkan forgetting, namun melupakan laughter (tawa).
Emha Ainun Nadjib, Mahbub Djunaedi, Sutjipto Wirosardjono, Romo Mangun, Umar Kayam, dan M. Sobari kerap menyodokkan humor di dalam kolom-kolomnya; dan dengan begitu pembaca tercerdaskan sekaligus terhibur. Agaknya Heri perlu juga mendayagunakan kekuatan humor di dalam kolom-kolomnya. Bukankah begitu, bapak Wakil Bupati: Waduh Sikile, Buka Paha Tinggi-tinggi sih ... n
Iwan Nurdaya-Djafar, Budayawan
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 8 Juni 2013
No comments:
Post a Comment