Oleh Meza Swastika
DUA pakar sosiologi itu manggut-manggut saat Sutiyo, dosen Stisopol Dharma Wacana Metro, menyampaikan presentasinya, bulan lalu. Di aula Universitas Terbuka, Thamrin Amal Tomagola dan Yudi Latif, keduanya sosiolog, melakukan uji klarifikasi atas tulisan Sutiyo yang ditetapkan sebagai juara III lomba karya tulis Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) 2013.
Statement Sutiyo dinilai kontradiktif. Ia menyebut entrepreneurship dalam kepemimpinan pemerintahan adalah efek dari kegagalan parpol untuk memproduksi pemimpin politik yang benar-benar berlatar belakang politikus. Ia bahkan menyebut Jokowi bukanlah produk partai politik yang memiliki latar belakang politikus. "Jokowi itu juga dari kalangan pengusaha. Pengusaha mebel," kata Sutiyo.
Ia melihat pengusaha dalam parpol tak selamanya hebat. Yang jadi akar masalah justru terletak pada kegagalan pelaksanaan fungsi partai politik sebagai fungsi rekrutmen politik.
"Pak Thamrin Amal Tomagola bahkan membenarkan dan menambahkan bahwa kelemahan pengusaha yang menjadi pemimpin adalah berpikir terlalu cepat dalam mengambil keputusan yang terburu-buru sehingga kurang menghitung dampak sistemik yang muncul di masa datang," kata dia mengutip sang penguji. Sutiyo meraih juara III lomba Apkasi dengan tulisan berjudul Menegakkan Kewibawaan Otonomi Daerah dari Kooptasi Politik Pragmatis. Ia menambahkan ketika itu kedua sosiolog ini tak menolak pandangannya. "Karena memang itu realitas yang sudah lama menggejala, padahal pandangan saya ini adalah tesis yang saya buat tiga tahun yang lalu.?
Ia mengumpamakan kaderisasi parpol terhadap pemimpin layaknya pemain bola Lionel Messi dan klub sepak bola Spanyol, Barcelona. "Messi itu direkrut sejak dini walau banyak kriteria yang seharusnya tak layak seperti tinggi badan yang tidak ideal, tapi Barcelona melihat adanya potensi besar yang ada pada Messi.?
Sutiyo yang pernah menabur puluhan karya tulis di berbagai media lokal dan nasional serta meraih beragam penghargaan terkait karya tulisnya ini konsisten dengan masalah politik dan pemerintahan.
Ia yang pernah ikut praktik kerja lapangan di Lampung Post pada 1999 ini juga pernah menjadi copy editor sejumlah buku, termasuk buku Komunitas Gelembung Sabun karya Khaidir Asmuni yang juga mantan wartawan Lampung Post ini mengaku prihatin terhadap kondisi perpolitikan bangsa.
Namun, sikap prihatinnya itu dirasa selamanya tak akan pernah tersalurkan jika tak ia tuangkan dalam karya-karya tulis melalui pemikiran ideal berdasar pandangan-pandangan yang realistis. "Menulis itu seperti roh kedua buat saya, ada sisi lain dan kepuasan batin tersendiri saat menuangkan gagasan melalui sebuah karya tulis.?
Karena itu, banyak karya Sutiyo menjadi incaran media mainstream seperti media nasional, di tingkat lokal opini-opininya yang bernas seperti tak pernah absen termasuk di Lampung Post. Kali lain, pada 2006 ia pernah membuat sebuah karya penelitian yang menyoal kualitas birokrasi; studi terhadap implementasi penyebab dan solusi dari rendahnya kualitas birokrasi yang diterbitkan di jurnal Wacana Publik.
Menjelang Pemilu 2014, Sutiyo mengaku sudah prihatin sejak 2011 lalu karena ia merasakan banyak calon-calon pemimpin yang muncul memiliki latar belakang pengusaha. Sikap parpol yang cenderung menganggap pengusaha lebih layak menjadi pemimpin dianggapnya bukan sebagai bentuk sikap simbiosis mutualisme, melainkan perselingkuhan kekuasaan pragmatis. "Padahal parpol dibuat dan didanai oleh negara untuk masyarakat.?
Sutiyo mengaku tertarik menyoroti masalah ini, termasuk melemparnya sebagai bahasan dalam seminar nasional itu karena ia melihat krisis kepemimpinan yang semakin menjadi-jadi. "Parpol gagal memainkan perannya, solusinya adalah akademisi harus mulai turun gunung dan mengawal model rekrutmen parpol. Bahkan melakukan upaya sistemik dengan membuat undang-undang tata cara kerja rekrutmen parpol yang lebih kapabel dan manusiawi dan ini sangat mungkin karena parpol adalah anak kandung negara," kata dia. (M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 1 Desember 2013
DUA pakar sosiologi itu manggut-manggut saat Sutiyo, dosen Stisopol Dharma Wacana Metro, menyampaikan presentasinya, bulan lalu. Di aula Universitas Terbuka, Thamrin Amal Tomagola dan Yudi Latif, keduanya sosiolog, melakukan uji klarifikasi atas tulisan Sutiyo yang ditetapkan sebagai juara III lomba karya tulis Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) 2013.
Statement Sutiyo dinilai kontradiktif. Ia menyebut entrepreneurship dalam kepemimpinan pemerintahan adalah efek dari kegagalan parpol untuk memproduksi pemimpin politik yang benar-benar berlatar belakang politikus. Ia bahkan menyebut Jokowi bukanlah produk partai politik yang memiliki latar belakang politikus. "Jokowi itu juga dari kalangan pengusaha. Pengusaha mebel," kata Sutiyo.
Ia melihat pengusaha dalam parpol tak selamanya hebat. Yang jadi akar masalah justru terletak pada kegagalan pelaksanaan fungsi partai politik sebagai fungsi rekrutmen politik.
"Pak Thamrin Amal Tomagola bahkan membenarkan dan menambahkan bahwa kelemahan pengusaha yang menjadi pemimpin adalah berpikir terlalu cepat dalam mengambil keputusan yang terburu-buru sehingga kurang menghitung dampak sistemik yang muncul di masa datang," kata dia mengutip sang penguji. Sutiyo meraih juara III lomba Apkasi dengan tulisan berjudul Menegakkan Kewibawaan Otonomi Daerah dari Kooptasi Politik Pragmatis. Ia menambahkan ketika itu kedua sosiolog ini tak menolak pandangannya. "Karena memang itu realitas yang sudah lama menggejala, padahal pandangan saya ini adalah tesis yang saya buat tiga tahun yang lalu.?
Ia mengumpamakan kaderisasi parpol terhadap pemimpin layaknya pemain bola Lionel Messi dan klub sepak bola Spanyol, Barcelona. "Messi itu direkrut sejak dini walau banyak kriteria yang seharusnya tak layak seperti tinggi badan yang tidak ideal, tapi Barcelona melihat adanya potensi besar yang ada pada Messi.?
Sutiyo yang pernah menabur puluhan karya tulis di berbagai media lokal dan nasional serta meraih beragam penghargaan terkait karya tulisnya ini konsisten dengan masalah politik dan pemerintahan.
Ia yang pernah ikut praktik kerja lapangan di Lampung Post pada 1999 ini juga pernah menjadi copy editor sejumlah buku, termasuk buku Komunitas Gelembung Sabun karya Khaidir Asmuni yang juga mantan wartawan Lampung Post ini mengaku prihatin terhadap kondisi perpolitikan bangsa.
Namun, sikap prihatinnya itu dirasa selamanya tak akan pernah tersalurkan jika tak ia tuangkan dalam karya-karya tulis melalui pemikiran ideal berdasar pandangan-pandangan yang realistis. "Menulis itu seperti roh kedua buat saya, ada sisi lain dan kepuasan batin tersendiri saat menuangkan gagasan melalui sebuah karya tulis.?
Karena itu, banyak karya Sutiyo menjadi incaran media mainstream seperti media nasional, di tingkat lokal opini-opininya yang bernas seperti tak pernah absen termasuk di Lampung Post. Kali lain, pada 2006 ia pernah membuat sebuah karya penelitian yang menyoal kualitas birokrasi; studi terhadap implementasi penyebab dan solusi dari rendahnya kualitas birokrasi yang diterbitkan di jurnal Wacana Publik.
Menjelang Pemilu 2014, Sutiyo mengaku sudah prihatin sejak 2011 lalu karena ia merasakan banyak calon-calon pemimpin yang muncul memiliki latar belakang pengusaha. Sikap parpol yang cenderung menganggap pengusaha lebih layak menjadi pemimpin dianggapnya bukan sebagai bentuk sikap simbiosis mutualisme, melainkan perselingkuhan kekuasaan pragmatis. "Padahal parpol dibuat dan didanai oleh negara untuk masyarakat.?
Sutiyo mengaku tertarik menyoroti masalah ini, termasuk melemparnya sebagai bahasan dalam seminar nasional itu karena ia melihat krisis kepemimpinan yang semakin menjadi-jadi. "Parpol gagal memainkan perannya, solusinya adalah akademisi harus mulai turun gunung dan mengawal model rekrutmen parpol. Bahkan melakukan upaya sistemik dengan membuat undang-undang tata cara kerja rekrutmen parpol yang lebih kapabel dan manusiawi dan ini sangat mungkin karena parpol adalah anak kandung negara," kata dia. (M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 1 Desember 2013
No comments:
Post a Comment