Oleh Meza Swastika
FIRDAUS gelar Minak Paksi Negara seperti antusias bercerita tentang budaya bedawak (bersih desa) di Desa Bumiagung Marga, Lampung Utara, tempatnya tinggal. Ia bahkan tak peduli pulsa dari sambungan telepon selulernya sudah tersedot banyak.
Berkali-kali pula ia menyebut tradisi bedawak sudah ada sejak turun-temurun. "Siapa pun harus ikut. Bukan cuma orang Lampung, melainkan semua yang tinggal dan peduli di desa ini," katanya.
Padahal, siapa sangka desa yang dikenal “seram” dan pernah menorehkan cerita seram tentang perselisihan dengan aparat ini memiliki tradisi budaya yang masih mereka pegang teguh.
Bedawak, menurut Firdaus yang juga tokoh pemuda Bumiagung Marga, adalah kegiatan bersih-bersih biasa. Yakni, untuk menjaga agar lingkungan tetap layak ditinggali sekaligus mencegah dari musibah banjir. "Dari zaman dulu sampai sekarang, yang namanya banjir atau tanah longsor tidak pernah mampir ke desa kami.”
Ia tak tahu pasti siapa yang memulai tradisi ini, tetapi yang jelas semua dikoordinasi oleh kepala desa setempat. "Kalau dulu, zaman buyut-buyut kami, biasanya kepala marga yang mengoordinasi warga untuk ikut bedawak.”
Setelah perintah ini dikeluarkan, tak terkecuali siapa pun akan ikut bedawak dengan membawa berbagai perlengkapan, seperti cangkul, arit atau peralatan lain. "Yang ibu-ibu akan menyiapkan makanan ringan dan teh kopinya.”
Ia mengakui tradisi itu memang kini tak terlalu rutin dilakukan, bedawak hanya dilakukan ketika pamong desa memandang perlu dilakukan saat kondisi lingkungan desa perlu dibersihkan secara bergotong royong.
"Kalau sekarang diistilahkan seperti bergotong royong, aliran sungai dibersihkan, jalan-jalan desa dibersihkan dari semak belukar.”
Tradisi bedawak ini juga dianggapnya manjur untuk menghilangkan sekat-sekat kasta dalam masyarakat adat Lampung di sini karena semuanya ikut turun langsung membersihkan seluruh desa.
"Dari yang pejabat sampai yang petani ikut semua tanpa terkecuali karena desa ini milik bersama, jadi kebersihan desa menjadi tanggung jawab bersama,” kata dia.
Ia menyebut dahulu orang-orang Lampung di daerahnya memiliki kesadaran akan lingkungan yang bersih yang sangat tinggi. Kebiasaan ini pula yang membuat pekarangan sekitar rumah-rumah panggung di sini bersih dari sampah.
Demikian halnya dengan hutan di sekitar desa pun tetap rimbun karena ketika itu meski mereka membuat rumah dengan bahan baku utama kayu, mereka tetap menjaga agar hutan tetap rimbun dengan menanam pohon-pohon pengganti untuk anak keturunan mereka.
Tradisi-tradisi yang penuh dengan nuansa kearifan lokal seperti ini kini mulai luntur, khususnya di masyarakat perkotaan yang tak lagi mengenal tradisi-tradisi akan pentingnya kebersihan lingkungan.
Muhamad Ikhsan, wakil ketua MPAL Bandar Lampung, menyebut pada prinsipnya masyarakat Lampung cinta akan kebersihan. Tetapi lama-kelamaan karena pemikiran yang serbamodern, akhirnya tradisi itu perlahan mulai hilang.
Ia berharap Pemkot Bandar Lampung terus menggalakkan program Jumat Bersih agar Kota Bandar Lampung tetap terjaga kebersihannya seperti dulu. "Tugu Adipura itu jangan cuma jadi simbol saja, tapi harus bisa kita bawa kembali ke Bandar Lampung ini.” (M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Januari 2014
FIRDAUS gelar Minak Paksi Negara seperti antusias bercerita tentang budaya bedawak (bersih desa) di Desa Bumiagung Marga, Lampung Utara, tempatnya tinggal. Ia bahkan tak peduli pulsa dari sambungan telepon selulernya sudah tersedot banyak.
Berkali-kali pula ia menyebut tradisi bedawak sudah ada sejak turun-temurun. "Siapa pun harus ikut. Bukan cuma orang Lampung, melainkan semua yang tinggal dan peduli di desa ini," katanya.
Padahal, siapa sangka desa yang dikenal “seram” dan pernah menorehkan cerita seram tentang perselisihan dengan aparat ini memiliki tradisi budaya yang masih mereka pegang teguh.
Bedawak, menurut Firdaus yang juga tokoh pemuda Bumiagung Marga, adalah kegiatan bersih-bersih biasa. Yakni, untuk menjaga agar lingkungan tetap layak ditinggali sekaligus mencegah dari musibah banjir. "Dari zaman dulu sampai sekarang, yang namanya banjir atau tanah longsor tidak pernah mampir ke desa kami.”
Ia tak tahu pasti siapa yang memulai tradisi ini, tetapi yang jelas semua dikoordinasi oleh kepala desa setempat. "Kalau dulu, zaman buyut-buyut kami, biasanya kepala marga yang mengoordinasi warga untuk ikut bedawak.”
Setelah perintah ini dikeluarkan, tak terkecuali siapa pun akan ikut bedawak dengan membawa berbagai perlengkapan, seperti cangkul, arit atau peralatan lain. "Yang ibu-ibu akan menyiapkan makanan ringan dan teh kopinya.”
Ia mengakui tradisi itu memang kini tak terlalu rutin dilakukan, bedawak hanya dilakukan ketika pamong desa memandang perlu dilakukan saat kondisi lingkungan desa perlu dibersihkan secara bergotong royong.
"Kalau sekarang diistilahkan seperti bergotong royong, aliran sungai dibersihkan, jalan-jalan desa dibersihkan dari semak belukar.”
Tradisi bedawak ini juga dianggapnya manjur untuk menghilangkan sekat-sekat kasta dalam masyarakat adat Lampung di sini karena semuanya ikut turun langsung membersihkan seluruh desa.
"Dari yang pejabat sampai yang petani ikut semua tanpa terkecuali karena desa ini milik bersama, jadi kebersihan desa menjadi tanggung jawab bersama,” kata dia.
Ia menyebut dahulu orang-orang Lampung di daerahnya memiliki kesadaran akan lingkungan yang bersih yang sangat tinggi. Kebiasaan ini pula yang membuat pekarangan sekitar rumah-rumah panggung di sini bersih dari sampah.
Demikian halnya dengan hutan di sekitar desa pun tetap rimbun karena ketika itu meski mereka membuat rumah dengan bahan baku utama kayu, mereka tetap menjaga agar hutan tetap rimbun dengan menanam pohon-pohon pengganti untuk anak keturunan mereka.
Tradisi-tradisi yang penuh dengan nuansa kearifan lokal seperti ini kini mulai luntur, khususnya di masyarakat perkotaan yang tak lagi mengenal tradisi-tradisi akan pentingnya kebersihan lingkungan.
Muhamad Ikhsan, wakil ketua MPAL Bandar Lampung, menyebut pada prinsipnya masyarakat Lampung cinta akan kebersihan. Tetapi lama-kelamaan karena pemikiran yang serbamodern, akhirnya tradisi itu perlahan mulai hilang.
Ia berharap Pemkot Bandar Lampung terus menggalakkan program Jumat Bersih agar Kota Bandar Lampung tetap terjaga kebersihannya seperti dulu. "Tugu Adipura itu jangan cuma jadi simbol saja, tapi harus bisa kita bawa kembali ke Bandar Lampung ini.” (M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Januari 2014
No comments:
Post a Comment