Oleh Meza Swastika
Kota Bandar Lampung yang dibelah oleh banyak sungai sesungguhnya bisa terhindar dari bahaya banjir. Sayang, masyarakat membuang sampah dan membuat aliran sungai sempit.
SAMPAH di salah satu aliran Sungai (Way) Awi itu menggunung. Beberapa warga dengan santainya melempar tiga plastik berisi sampah ke aliran sungai itu, kemudian berlalu begitu saja.
Sukardi, salah seorang warga yang tinggal di bantaran Way Awi, tak jauh dari Pasar Bambu Kuning sudah terbiasa melihat pemandangan itu. "Ini belum seberapa. Kalau mau lihat sampah segunung di buang ke kali ini, tunggu nanti sore. Sampah-sampah dari Pasar Bambu Kuning dan Gintung dibuang ke sini," katanya.
Karena itu, Kardi seolah sudah tak lagi peduli dengan warga dan pedagang yang membuang sampah sembarangan ke sungai itu. Sebaliknya, ia justru khawatir jika ia menegur mereka, alamat ia bisa dimusuhi.
Padahal, aliran Way Awi membentang dan mengalir di daerah-daerah perkotaan di Bandar Lampung hingga bermuara ke Way Lunik dan Way Galih menuju laut. Karena itu, tak heran jika tiap musim hujan, daerah-daerah yang menjadi perlintasan sungai ini selalu menjadi langganan banjir.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lampung Budi Harto sudah berkali-kali mengimbau masyarakat untuk bersiaga menghadapi bencana banjir dan tanah longsor.
Ia bahkan menyebut di wilayah Lampung terdapat beberapa daerah yang langganan banjir bandang dan tanah longsor.
Ada delapan daerah rawan bencana, yakni Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Barat, Pesisir Barat, Lampung Selatan, Tanggamus, Tulangbawang, Tulangbawang Barat, dan Pesawaran. Ia menghimbau kepada masyarakat waspada jika terjadi cuaca ekstrem seperti hujan dengan intensitas yang cukup tinggi termasuk disertai angin kencang.
Namun, perilaku masyarakat terhadap lingkungan, menurutnya, masih sangat rendah. Aliran sungai dijadikan sebagai tempat sampah raksasa. Aktivitas pembalakan liar sampai perubahan fungsi lahan yang semula sebagai daerah tangkapan air justru dijadikan kawasan permukiman sehingga terjadi degradasi fungsi.
"Banyak permukiman padat yang juga tak mengindahkan fungsi drainase dan membuang sampah di aliran-aliran sungai, termasuk di Bandar Lampung. Semakin padatnya permukiman dan pusat niaga membuat masyarakat tak memperhatikan bencana yang mungkin terjadi.”
Di sisi lain, Stasiun Klimatologi Lampung merilis jika Januari—Februari adalah puncak musim hujan dengan tingkat curah hujan di atas normal. Potensi banjir, menurut Kepala Stasiun Goeroeh Tjiptanto, tak hanya terjadi di daerah, tetapi juga di Kota Bandar Lampung karena banyak kawasan yang telah berubah fungsi seperti permukiman padat dan buruknya drainase di beberapa daerah di Kota Bandar Lampung.
"Banyak drainase yang dipenuhi sampah sehingga ketika musim hujan drainase tidak berfungsi dengan baik dan akhirnya air meluap,” kata dia.
Jika volume hujan cukup tinggi, bukan tak mungkin jalan-jalan protokol seperti Jalan Kartini dan beberapa daerah seperti Gedongair dan Telukbetung akan digenangi air. "Di daerah-daerah ini, fungsi drainasenya terbilang kurang baik, termasuk juga aliran sungai yang juga berubah fungsi sebagai tempat untuk membuang sampah.”
Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Lampung Sugiono bahkan sejak jauh-jauh hari sudah mengimbau kepada masyarakat yang tinggal di daerah aliran sungai untuk mewaspadai banjir.
Penataan drainase, terutama pada daerah permukiman, juga sudah mulai perlu dibenahi. "Seharusnya perbaikan drainase tidak dilakukan setelah musibah baru terjadi, tetapi sebelum musibah terjadi, termasuk saat musim hujan seperti saat ini, karena hujan seperti ini kan memang sudah rutin periodenya,” kata dia.
Hendrawan, aktivis lingkungan yang juga mantan direktur Walhi Lampung, menyebut hampir semua aliran sungai di Kota Bandar Lampung kondisinya sangat memprihatinkan. Selain karena pencemaran, sebab lain adalah karena perilaku masyarakat yang selalu membuang sampah di aliran sungai sehingga membuat badan sungai menjadi dangkal dan ketika musim hujan menjadi meluap hingga ke permukiman-permukiman warga.
Selain itu, degradasi hutan di Gunung Betung untuk perkebunan dan ilegal logging membuat Kota Bandar Lampung semakin terancam dengan musibah banjir. "Hulu sungai sudah rusak, bantaran sungai juga digerus untuk permukiman akibatnya potensi musibah semakin besar," kata dia.
Hendrawan berharap pemerintah bersikap tegas terhadap warga maupun pengusaha yang tidak mengindahkan lingkungan sehingga menyebabkan musibah banjir kerap terjadi di Kota Bandar Lampung. "Kita tentu tidak ingin terjadi lagi banjir besar seperti yang terjadi beberapa tahun yang lalu di Bandar Lampung.”
Selain itu, Pemerintah Kota Bandar Lampung, menurutnya, perlu juga merealisasikan ruang terbuka hijau di Kota Bandar Lampung. Selain berfungsi sebagai ruang hijau, ruang terbuka ini juga bisa menjadi sebagai daerah tangkapan air.
Ruang terbuka hijau, katanya, mutlak menjadi kebutuhan untuk daerah perkotaan, termasuk Kota Bandar Lampung, karena memiliki fungsi yang amat banyak.
"Kami kerap melakukan aksi, termasuk di taman kota Way Halim sebagai ruang terbuka hijau, karena selama ini kebutuhan ruang terbuka hijau yang diatur dalam RTRW Kota Bandar Lampung adalah 30 persen, sementara ruang terbuka hijau di Bandar Lampung ini masih belum memenuhi 30 persen,” kata Hendrawan.
Prinsip Budaya Bersih
Muhamad Ikhsan gelar Raja Asal Marga mengaku prihatin dengan kondisi kebersihan Kota Bandar Lampung saat ini. Prinsip-prinsip kebersihan lingkungan yang pernah menjadi junjungan masyarakat Lampung kini kian hilang, tak ada lagi kesadaran akan hidup dan lingkungan yang bersih.
"Kalau dulu, ada warga yang buang sampah di kali saja dikenai denda. Sekarang, hampir semua orang buang sampah di kali, di pinggir jalan, semaunya saja. Menebang pohon saja kalau tidak ngeganti dengan tanaman baru bisa kena denda.”
Meski memiliki kecenderungan masyarakat nomaden, kata Ikhsan, masyarakat Lampung telah mengenal pentingnya keberlangsungan lingkungan. Ia mencontohkan betapa masyarakat Lampung begitu memuliakan pohon kayu ara yang dianggap sebagai simbol dari pentingnya keberlangsungan lingkungan.
Prinsip budaya bersih di masyarakat Lampung yang masih dianut di daerah-daerah yang masih memegang teguh budaya Lampung.
Ia berharap Wali Kota Bandar Lampung Herman H.N. terus menggalakkan program Jumat Bersih untuk menjaga lingkungan dari musibah-musibah seperti banjir. "Bila perlu diatur dalam perda agar masyarakat tidak lagi membuang sampah sembarangan." (M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Januari 2014
Kota Bandar Lampung yang dibelah oleh banyak sungai sesungguhnya bisa terhindar dari bahaya banjir. Sayang, masyarakat membuang sampah dan membuat aliran sungai sempit.
SAMPAH di salah satu aliran Sungai (Way) Awi itu menggunung. Beberapa warga dengan santainya melempar tiga plastik berisi sampah ke aliran sungai itu, kemudian berlalu begitu saja.
Sukardi, salah seorang warga yang tinggal di bantaran Way Awi, tak jauh dari Pasar Bambu Kuning sudah terbiasa melihat pemandangan itu. "Ini belum seberapa. Kalau mau lihat sampah segunung di buang ke kali ini, tunggu nanti sore. Sampah-sampah dari Pasar Bambu Kuning dan Gintung dibuang ke sini," katanya.
Karena itu, Kardi seolah sudah tak lagi peduli dengan warga dan pedagang yang membuang sampah sembarangan ke sungai itu. Sebaliknya, ia justru khawatir jika ia menegur mereka, alamat ia bisa dimusuhi.
Padahal, aliran Way Awi membentang dan mengalir di daerah-daerah perkotaan di Bandar Lampung hingga bermuara ke Way Lunik dan Way Galih menuju laut. Karena itu, tak heran jika tiap musim hujan, daerah-daerah yang menjadi perlintasan sungai ini selalu menjadi langganan banjir.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lampung Budi Harto sudah berkali-kali mengimbau masyarakat untuk bersiaga menghadapi bencana banjir dan tanah longsor.
Ia bahkan menyebut di wilayah Lampung terdapat beberapa daerah yang langganan banjir bandang dan tanah longsor.
Ada delapan daerah rawan bencana, yakni Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Barat, Pesisir Barat, Lampung Selatan, Tanggamus, Tulangbawang, Tulangbawang Barat, dan Pesawaran. Ia menghimbau kepada masyarakat waspada jika terjadi cuaca ekstrem seperti hujan dengan intensitas yang cukup tinggi termasuk disertai angin kencang.
Namun, perilaku masyarakat terhadap lingkungan, menurutnya, masih sangat rendah. Aliran sungai dijadikan sebagai tempat sampah raksasa. Aktivitas pembalakan liar sampai perubahan fungsi lahan yang semula sebagai daerah tangkapan air justru dijadikan kawasan permukiman sehingga terjadi degradasi fungsi.
"Banyak permukiman padat yang juga tak mengindahkan fungsi drainase dan membuang sampah di aliran-aliran sungai, termasuk di Bandar Lampung. Semakin padatnya permukiman dan pusat niaga membuat masyarakat tak memperhatikan bencana yang mungkin terjadi.”
Di sisi lain, Stasiun Klimatologi Lampung merilis jika Januari—Februari adalah puncak musim hujan dengan tingkat curah hujan di atas normal. Potensi banjir, menurut Kepala Stasiun Goeroeh Tjiptanto, tak hanya terjadi di daerah, tetapi juga di Kota Bandar Lampung karena banyak kawasan yang telah berubah fungsi seperti permukiman padat dan buruknya drainase di beberapa daerah di Kota Bandar Lampung.
"Banyak drainase yang dipenuhi sampah sehingga ketika musim hujan drainase tidak berfungsi dengan baik dan akhirnya air meluap,” kata dia.
Jika volume hujan cukup tinggi, bukan tak mungkin jalan-jalan protokol seperti Jalan Kartini dan beberapa daerah seperti Gedongair dan Telukbetung akan digenangi air. "Di daerah-daerah ini, fungsi drainasenya terbilang kurang baik, termasuk juga aliran sungai yang juga berubah fungsi sebagai tempat untuk membuang sampah.”
Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Lampung Sugiono bahkan sejak jauh-jauh hari sudah mengimbau kepada masyarakat yang tinggal di daerah aliran sungai untuk mewaspadai banjir.
Penataan drainase, terutama pada daerah permukiman, juga sudah mulai perlu dibenahi. "Seharusnya perbaikan drainase tidak dilakukan setelah musibah baru terjadi, tetapi sebelum musibah terjadi, termasuk saat musim hujan seperti saat ini, karena hujan seperti ini kan memang sudah rutin periodenya,” kata dia.
Hendrawan, aktivis lingkungan yang juga mantan direktur Walhi Lampung, menyebut hampir semua aliran sungai di Kota Bandar Lampung kondisinya sangat memprihatinkan. Selain karena pencemaran, sebab lain adalah karena perilaku masyarakat yang selalu membuang sampah di aliran sungai sehingga membuat badan sungai menjadi dangkal dan ketika musim hujan menjadi meluap hingga ke permukiman-permukiman warga.
Selain itu, degradasi hutan di Gunung Betung untuk perkebunan dan ilegal logging membuat Kota Bandar Lampung semakin terancam dengan musibah banjir. "Hulu sungai sudah rusak, bantaran sungai juga digerus untuk permukiman akibatnya potensi musibah semakin besar," kata dia.
Hendrawan berharap pemerintah bersikap tegas terhadap warga maupun pengusaha yang tidak mengindahkan lingkungan sehingga menyebabkan musibah banjir kerap terjadi di Kota Bandar Lampung. "Kita tentu tidak ingin terjadi lagi banjir besar seperti yang terjadi beberapa tahun yang lalu di Bandar Lampung.”
Selain itu, Pemerintah Kota Bandar Lampung, menurutnya, perlu juga merealisasikan ruang terbuka hijau di Kota Bandar Lampung. Selain berfungsi sebagai ruang hijau, ruang terbuka ini juga bisa menjadi sebagai daerah tangkapan air.
Ruang terbuka hijau, katanya, mutlak menjadi kebutuhan untuk daerah perkotaan, termasuk Kota Bandar Lampung, karena memiliki fungsi yang amat banyak.
"Kami kerap melakukan aksi, termasuk di taman kota Way Halim sebagai ruang terbuka hijau, karena selama ini kebutuhan ruang terbuka hijau yang diatur dalam RTRW Kota Bandar Lampung adalah 30 persen, sementara ruang terbuka hijau di Bandar Lampung ini masih belum memenuhi 30 persen,” kata Hendrawan.
Prinsip Budaya Bersih
Muhamad Ikhsan gelar Raja Asal Marga mengaku prihatin dengan kondisi kebersihan Kota Bandar Lampung saat ini. Prinsip-prinsip kebersihan lingkungan yang pernah menjadi junjungan masyarakat Lampung kini kian hilang, tak ada lagi kesadaran akan hidup dan lingkungan yang bersih.
"Kalau dulu, ada warga yang buang sampah di kali saja dikenai denda. Sekarang, hampir semua orang buang sampah di kali, di pinggir jalan, semaunya saja. Menebang pohon saja kalau tidak ngeganti dengan tanaman baru bisa kena denda.”
Meski memiliki kecenderungan masyarakat nomaden, kata Ikhsan, masyarakat Lampung telah mengenal pentingnya keberlangsungan lingkungan. Ia mencontohkan betapa masyarakat Lampung begitu memuliakan pohon kayu ara yang dianggap sebagai simbol dari pentingnya keberlangsungan lingkungan.
Prinsip budaya bersih di masyarakat Lampung yang masih dianut di daerah-daerah yang masih memegang teguh budaya Lampung.
Ia berharap Wali Kota Bandar Lampung Herman H.N. terus menggalakkan program Jumat Bersih untuk menjaga lingkungan dari musibah-musibah seperti banjir. "Bila perlu diatur dalam perda agar masyarakat tidak lagi membuang sampah sembarangan." (M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Januari 2014
No comments:
Post a Comment