Oleh Ferika Okwa Romanto
Manuskrip kamus bahasa Lampung pertama karya Herman Neubronner van der Tuuk, akhirnya kembali ke Provinsi Lampung. Manuskrip ini diserahkan Kepala Erasmus Taalcentrum Kedubes Belanda Kees Groeneber pada kesempatan dialog dan diskusi 'Mengembalikan Harga Diri Lampung' yang digagas Lampung Peduli, di Hotel Emersia, Kamis (27/2).
Adalah enam pemuda yang memperjuangkan kembalinya salah satu kekayaan atau "harta karun" asli Lampung ini. Mereka adalah Oyos Saroso HN, Juperta Panji Utama, Irwan Wahyudi, Dede Safara, dan Daniel H Ganie.
"Meski karya sastra ini masih bentuk aslinya, berbahasa Belanda, saya berharap momen kembalinya naskah ini, ke depannya bisa dimanfaatkan sebaik mungkin. Sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat luas, khususnya ulun Lampung," ungkap Kees Groeneboer."
"Selain bermanfaat, kamus ini bahasa Indonesia pertama ini dapat dijadikan referensi sekaligus kajian akademis untuk menggali akar budaya Lampung yang lebih mendalam. Tentunya, dengan cara mempelajari, mengajarkannya, melestarikannya, sekaligus bertanggung jawab untuk mengembangkannya," sambungnya.
Hal senada diungkapkan Djadjat Sudradjat, salah satu pembicara dalam diskusi. Baginya kamus ini bukan sebatas barang yang dinilai secara fisik. Lebih dari itu, manuskrip ini merupakan salah satu warisan budaya Lampung yang patut dipelajari, dilestarikan, dikembangkan, hingga diwariskan serta ditularkan ke generasi selanjutnya.
"Secara luas, saya memandang bahwa manuskrip ini merupakan bukti nyata tentang kemajuan budaya orang Lampung sejak masa lampau. Bahkan, Lampung adalah salah satu dari sedikit suku yang memiliki memiliki aksara sendiri," ujar dia.
Farida Aryani, salah satu peserta dialog menyatakan, dengan kembalinya kamus ini sudah sewajarnya masyarakat Lampung menghargai dan mencintai budayanya. Salah satunya, dengan menggairahkan kembali berbahasa Lampung sejak saat ini.
Tanggung jawab dan kesadaran ini seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pemegang kebijakan. Selain itu, juga dibutuhkan spirit dan rasa memiliki dari masyarakat Lampung sendiri.
"Saya kira, langkah efektif untuk mengembalikan ruh dan nilai bahasa Lampung bisa dimulai dari dunia pendidikan. Salah satu langkah riilnya, mendorong pemerintah kembali membuka Jurusan Bahasa Lampung di kampus Unila," kata dosen FKIP Unila ini.
Penulis kamus Lampung, Junaiyah HM, mengungkapkan, melalui komitmen yang sudah terbangun ini bisa menjadi titik tolak kemajuan budaya Lampung. Budaya harus dijadikan hikmah, bukan dijadikan musibah. Salah satu pintu gerbangnya, melalui manuskrip kamus bahasa Lampung pertama ini.
H.N. van der Tuuk adalah ahli bahasa lapangan yang meneliti daerah Lampung pada tahun 1868-1869. Selain meneliti bahasa Lampung, pria yang lahir di Malaka ini juga mempelajari sejumlah bahasa daerah lainnya yang dibuktikan dengan manuskrip peninggalannya. Di antaranya, bahasa Melayu, Batak, Jawa, Sunda, Madura, Kawi, dan Bali. n
Sumber: Tribun Lampung, Jumat, 28 Februari 2014
Manuskrip kamus bahasa Lampung pertama karya Herman Neubronner van der Tuuk, akhirnya kembali ke Provinsi Lampung. Manuskrip ini diserahkan Kepala Erasmus Taalcentrum Kedubes Belanda Kees Groeneber pada kesempatan dialog dan diskusi 'Mengembalikan Harga Diri Lampung' yang digagas Lampung Peduli, di Hotel Emersia, Kamis (27/2).
Adalah enam pemuda yang memperjuangkan kembalinya salah satu kekayaan atau "harta karun" asli Lampung ini. Mereka adalah Oyos Saroso HN, Juperta Panji Utama, Irwan Wahyudi, Dede Safara, dan Daniel H Ganie.
"Meski karya sastra ini masih bentuk aslinya, berbahasa Belanda, saya berharap momen kembalinya naskah ini, ke depannya bisa dimanfaatkan sebaik mungkin. Sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat luas, khususnya ulun Lampung," ungkap Kees Groeneboer."
"Selain bermanfaat, kamus ini bahasa Indonesia pertama ini dapat dijadikan referensi sekaligus kajian akademis untuk menggali akar budaya Lampung yang lebih mendalam. Tentunya, dengan cara mempelajari, mengajarkannya, melestarikannya, sekaligus bertanggung jawab untuk mengembangkannya," sambungnya.
Hal senada diungkapkan Djadjat Sudradjat, salah satu pembicara dalam diskusi. Baginya kamus ini bukan sebatas barang yang dinilai secara fisik. Lebih dari itu, manuskrip ini merupakan salah satu warisan budaya Lampung yang patut dipelajari, dilestarikan, dikembangkan, hingga diwariskan serta ditularkan ke generasi selanjutnya.
"Secara luas, saya memandang bahwa manuskrip ini merupakan bukti nyata tentang kemajuan budaya orang Lampung sejak masa lampau. Bahkan, Lampung adalah salah satu dari sedikit suku yang memiliki memiliki aksara sendiri," ujar dia.
Farida Aryani, salah satu peserta dialog menyatakan, dengan kembalinya kamus ini sudah sewajarnya masyarakat Lampung menghargai dan mencintai budayanya. Salah satunya, dengan menggairahkan kembali berbahasa Lampung sejak saat ini.
Tanggung jawab dan kesadaran ini seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pemegang kebijakan. Selain itu, juga dibutuhkan spirit dan rasa memiliki dari masyarakat Lampung sendiri.
"Saya kira, langkah efektif untuk mengembalikan ruh dan nilai bahasa Lampung bisa dimulai dari dunia pendidikan. Salah satu langkah riilnya, mendorong pemerintah kembali membuka Jurusan Bahasa Lampung di kampus Unila," kata dosen FKIP Unila ini.
Penulis kamus Lampung, Junaiyah HM, mengungkapkan, melalui komitmen yang sudah terbangun ini bisa menjadi titik tolak kemajuan budaya Lampung. Budaya harus dijadikan hikmah, bukan dijadikan musibah. Salah satu pintu gerbangnya, melalui manuskrip kamus bahasa Lampung pertama ini.
H.N. van der Tuuk adalah ahli bahasa lapangan yang meneliti daerah Lampung pada tahun 1868-1869. Selain meneliti bahasa Lampung, pria yang lahir di Malaka ini juga mempelajari sejumlah bahasa daerah lainnya yang dibuktikan dengan manuskrip peninggalannya. Di antaranya, bahasa Melayu, Batak, Jawa, Sunda, Madura, Kawi, dan Bali. n
Sumber: Tribun Lampung, Jumat, 28 Februari 2014
No comments:
Post a Comment