Oleh Beni Setia
WUJUD sampul kumpalan cerpen Isbedy Stiawan Z.S. ini, Perempuan di Rumah Panggung (Siger Publiser, Lampung: 2013), unik. Seorang wanita, dengan dandanan modern, bersendiri menunggu di puncak tangga, menatap ke kejauhan. Warna kusam kersang berjamur mengesankan kelampauan, keterbiarkanan, kontras dengan kostum yang kekinian. Alhasil, terhembus saran, itu nostalgia.
Hanya satu kata: menunggu—ada harapan, dan tak kunjung datangnya apa yang diangankan itu. Sebuah situasi waiting for Godot, waiting for God, dan akhirnya satu nasib baik seperti yang diangankan. Suatu penantian yang teramat mengingkari seperti dalam cerpen Perempuan di Rumah Panggung, misalnya. Atau pada cerpen-cerpen Bujang Lapok, Karena Ibu dan Ambulan Menyeruak Kampung. Satu absurditas penantian via kalimat pembukaan frustatif: ”Menunggumu sekadar singgah di rumah panggung, sepertinya aku sedang menanti bulan penuh pada malam ke lima belas”—lambang sesuatu yang diyakini pasti tapi secara matematis mustahil karena kepenuhan ada di malam ke empat belas.
Puncaknya ada pada angan paling berpengharapan tapi sekaligus paling tragis—pada cerpen Sukma Hilang dalam Kabut. Yang setting modern dalam kumpulan itu, kafe—sebagai tempat bersantai, menghibur diri, serta melepaskan duka tanpa sempat ber-curhat di era indvidualisme kota—: mengesankan menunggu (cerpen Pengunjung Kafe Diggers Tiap Malam Minggu). Lebih tepatnya: aku yang ingin tahu itu tapi tak mendapat tahu, karenanya menunggu akhir semua itu dengan datang serta datang lagi tanpa memperoleh kepastian. Karena itu ada rasa ingin tahu—dalam taraf nan kepo—yang tak terpuaskan sehingga kepenasaranan membesar. Tapi penasaran—demi tuntas tandasnya sebuah cerita utuh—akan apa? Mengapa?
***
PADA status Facebook saat mengantar keponakan menikah di Bengkulu, Isbedy Stiawan Z.S. mengungkapkan dua hal. Pertama, alam pesisir serta habitat hutan lindung di Lampung Selatan yang mengagumkan—perjalanan daratnya nyaris menyusuri garis pesisir. Kedua, itimitas Bengkulu yang membuatnya tercengang.—sebetulnya saya pun tercengang pada keguyuban desa. Misalnya, semua penduduk kampung menyumbang yang punya hajat dengan makanan jadi—bukan uang dalam amplop atau bahan mentah seperti di Jawa masa lalu—sehingga pesta yang terjadi justru pesta (orang) kampung. Lalu, wakil tamu diundang untuk sarapan di rumah orang yang ditunjuk jadi si wakil kampung—bukan disediakan yang punya hajat di rumah yang dipinjam buat menginap.
Itu sisi positif dari adat, dari keguyuban kampung dan puak—bukan tempat lari dari kejahatan, mengharapkan perlindungan di kampung serta puak sehingga banyak penjahat yang bersembunyi dari kejaran polisi. Dan insting untuk menemukan locus genial itu yang sebenarnya sedang dicari dan dieksplorasi oleh Isbedy Stiawan Z.S.—tak heran kalau kumpulan cerpen ini bisa terbit dengan dukungan dari Pemerintah Kabupaten Tulangbawang Barat, dari kepedulian dan sumbangsih bupati dan wakil bupati Tulangbawang Barat, Bachtiar Basri dan Umar Ahmad. Dan tampaknya juga tersikait dengan fakta keluarga baru dengan sosok Fitri Angraini Rofar sebagai juri bicara adat yang tak diketahui—Isbedy lahir dan besar melulu di Tanjungkarang.
Dan dari pusaran itu pula terlahir kumpulan sajak Dongeng Adelia. Hal-hal yang bersikaitan dengan khazanah lokal itu pula yang menyebabkan beberapa cerpen dalam kumpulan Perempuan di Rumah Panggung ini dipenuhi oleh mitos dan catatan kaki, keterangan tentang adat (masyakarat) di Tulangbawang Barat—setidaknya dalam wilayah perkawinan dan percintaan yang khas Tulangbawang. Di titik ini—selain fakta dibacakan ulang pengalaman traumatik Mohammad Saleh saat terjadi bencana letusan Krakatau, c.q. Syair Lampung Karam, dua malam sebelum launching kumpulan puisi Diro Aritonang, Dendang Krakatau—: Isbedy menemukan ide kreativitas kedua.
Sesuatu yang membuat Lampung itu tidak hanya terungkapkan realitas lautnya—sebagai diksi sufistik dalam puisi-puisi yang ditulisnya.
***
BILA Udo Z. Karzi, Asarpin Aslami, dan Fitri Yani relatif menghidupkan Lampung, dengan sadar memilih mengungkapkan Lampung, dengan tekanan pada pemakaian kreatif di bahasa Lampung dalam puisi dan cerpen yang mereka tulis dan terbitkan—ketiganya memenangkan (Hadiah) Sastra Rancage, secara konotatif bermakna ”kreatif” dalam bahasa Sunda—; maka Isbedy mengambil jalur lain. Cerita-cerita rekaan itu, yang mengoplos fakta dan fiksi, merupakan sumbangan budaya—setidaknya merupakan satu upaya buat mengawetkan budaya lokal Lampung. Dan, bersama tulisan dan tinjauan kritis ihwal Lampung—salah satunya tentang keberadaan Kerajaan Sekala Brak (?) misalnya—merupakan sumbangan intelektual muda Lampung tentang khazanah budaya Lampung.
Di titik ini, selain sangat mendesaknya tuntutan, supaya jajaran pemda Lampung sigap mengakomodasi ekspresi seni-budaya modern di Lampung, dari generasi muda perkotaan Lampung, kita juga ternyata membutuhkan semacam ”batu jarak” dari masa lalu. Julangan prasasti yang dengan amat gampang ditemukan, dibaca, dipelajari, serta dimaknai oleh generasi kini dan mendatang, sehingga kesadaran dan kebanggaan akan Lampung tertular dan menjadi tenaga kreatif untuk membangun Lampung. Semoga di masa depan itu tidak hanya diurus oleh politikus dan partai yang selama ini hanya sibuk mengurus kekuasaan di satu sisi dan prioritas pembangunan dengan ber-visi dan misi Partai sebagai landasan pokoknya.
Menyedihkan sekali—karya kreatif faktual si Muhammad Saleh, Syair Lampung Karam, ditemukan di rak filologi Leiden sekitar 100 tahun setelah terbit, dan barulah Lampung tahu akan adanya sastra fakta yang mengerikan—, padahal kita bisa memulai semua itu dari titik penghargaan pada seni dan pengetahuan yang ada di Lampung ini. Eksistensi Hadiah—panggillah—Mohammad Saleh kuasa jadi penanda untuk seni serta pengetahuan yang meramu mitos, sejarah, fakta riil, dan kelenturan dari fiksi sebagai media (bahasa) ungkap, hingga tak cuma seniman yang dihargai tapi juga intelektual dari kampus. Mudah-mudahan ada celah agar tak terjadi ironi: justru orang Sunda nan menghargai bahasa dan budaya kreatif Lampung. n
Beni Setia, Pengarang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 September 2014
WUJUD sampul kumpalan cerpen Isbedy Stiawan Z.S. ini, Perempuan di Rumah Panggung (Siger Publiser, Lampung: 2013), unik. Seorang wanita, dengan dandanan modern, bersendiri menunggu di puncak tangga, menatap ke kejauhan. Warna kusam kersang berjamur mengesankan kelampauan, keterbiarkanan, kontras dengan kostum yang kekinian. Alhasil, terhembus saran, itu nostalgia.
Hanya satu kata: menunggu—ada harapan, dan tak kunjung datangnya apa yang diangankan itu. Sebuah situasi waiting for Godot, waiting for God, dan akhirnya satu nasib baik seperti yang diangankan. Suatu penantian yang teramat mengingkari seperti dalam cerpen Perempuan di Rumah Panggung, misalnya. Atau pada cerpen-cerpen Bujang Lapok, Karena Ibu dan Ambulan Menyeruak Kampung. Satu absurditas penantian via kalimat pembukaan frustatif: ”Menunggumu sekadar singgah di rumah panggung, sepertinya aku sedang menanti bulan penuh pada malam ke lima belas”—lambang sesuatu yang diyakini pasti tapi secara matematis mustahil karena kepenuhan ada di malam ke empat belas.
Puncaknya ada pada angan paling berpengharapan tapi sekaligus paling tragis—pada cerpen Sukma Hilang dalam Kabut. Yang setting modern dalam kumpulan itu, kafe—sebagai tempat bersantai, menghibur diri, serta melepaskan duka tanpa sempat ber-curhat di era indvidualisme kota—: mengesankan menunggu (cerpen Pengunjung Kafe Diggers Tiap Malam Minggu). Lebih tepatnya: aku yang ingin tahu itu tapi tak mendapat tahu, karenanya menunggu akhir semua itu dengan datang serta datang lagi tanpa memperoleh kepastian. Karena itu ada rasa ingin tahu—dalam taraf nan kepo—yang tak terpuaskan sehingga kepenasaranan membesar. Tapi penasaran—demi tuntas tandasnya sebuah cerita utuh—akan apa? Mengapa?
***
PADA status Facebook saat mengantar keponakan menikah di Bengkulu, Isbedy Stiawan Z.S. mengungkapkan dua hal. Pertama, alam pesisir serta habitat hutan lindung di Lampung Selatan yang mengagumkan—perjalanan daratnya nyaris menyusuri garis pesisir. Kedua, itimitas Bengkulu yang membuatnya tercengang.—sebetulnya saya pun tercengang pada keguyuban desa. Misalnya, semua penduduk kampung menyumbang yang punya hajat dengan makanan jadi—bukan uang dalam amplop atau bahan mentah seperti di Jawa masa lalu—sehingga pesta yang terjadi justru pesta (orang) kampung. Lalu, wakil tamu diundang untuk sarapan di rumah orang yang ditunjuk jadi si wakil kampung—bukan disediakan yang punya hajat di rumah yang dipinjam buat menginap.
Itu sisi positif dari adat, dari keguyuban kampung dan puak—bukan tempat lari dari kejahatan, mengharapkan perlindungan di kampung serta puak sehingga banyak penjahat yang bersembunyi dari kejaran polisi. Dan insting untuk menemukan locus genial itu yang sebenarnya sedang dicari dan dieksplorasi oleh Isbedy Stiawan Z.S.—tak heran kalau kumpulan cerpen ini bisa terbit dengan dukungan dari Pemerintah Kabupaten Tulangbawang Barat, dari kepedulian dan sumbangsih bupati dan wakil bupati Tulangbawang Barat, Bachtiar Basri dan Umar Ahmad. Dan tampaknya juga tersikait dengan fakta keluarga baru dengan sosok Fitri Angraini Rofar sebagai juri bicara adat yang tak diketahui—Isbedy lahir dan besar melulu di Tanjungkarang.
Dan dari pusaran itu pula terlahir kumpulan sajak Dongeng Adelia. Hal-hal yang bersikaitan dengan khazanah lokal itu pula yang menyebabkan beberapa cerpen dalam kumpulan Perempuan di Rumah Panggung ini dipenuhi oleh mitos dan catatan kaki, keterangan tentang adat (masyakarat) di Tulangbawang Barat—setidaknya dalam wilayah perkawinan dan percintaan yang khas Tulangbawang. Di titik ini—selain fakta dibacakan ulang pengalaman traumatik Mohammad Saleh saat terjadi bencana letusan Krakatau, c.q. Syair Lampung Karam, dua malam sebelum launching kumpulan puisi Diro Aritonang, Dendang Krakatau—: Isbedy menemukan ide kreativitas kedua.
Sesuatu yang membuat Lampung itu tidak hanya terungkapkan realitas lautnya—sebagai diksi sufistik dalam puisi-puisi yang ditulisnya.
***
BILA Udo Z. Karzi, Asarpin Aslami, dan Fitri Yani relatif menghidupkan Lampung, dengan sadar memilih mengungkapkan Lampung, dengan tekanan pada pemakaian kreatif di bahasa Lampung dalam puisi dan cerpen yang mereka tulis dan terbitkan—ketiganya memenangkan (Hadiah) Sastra Rancage, secara konotatif bermakna ”kreatif” dalam bahasa Sunda—; maka Isbedy mengambil jalur lain. Cerita-cerita rekaan itu, yang mengoplos fakta dan fiksi, merupakan sumbangan budaya—setidaknya merupakan satu upaya buat mengawetkan budaya lokal Lampung. Dan, bersama tulisan dan tinjauan kritis ihwal Lampung—salah satunya tentang keberadaan Kerajaan Sekala Brak (?) misalnya—merupakan sumbangan intelektual muda Lampung tentang khazanah budaya Lampung.
Di titik ini, selain sangat mendesaknya tuntutan, supaya jajaran pemda Lampung sigap mengakomodasi ekspresi seni-budaya modern di Lampung, dari generasi muda perkotaan Lampung, kita juga ternyata membutuhkan semacam ”batu jarak” dari masa lalu. Julangan prasasti yang dengan amat gampang ditemukan, dibaca, dipelajari, serta dimaknai oleh generasi kini dan mendatang, sehingga kesadaran dan kebanggaan akan Lampung tertular dan menjadi tenaga kreatif untuk membangun Lampung. Semoga di masa depan itu tidak hanya diurus oleh politikus dan partai yang selama ini hanya sibuk mengurus kekuasaan di satu sisi dan prioritas pembangunan dengan ber-visi dan misi Partai sebagai landasan pokoknya.
Menyedihkan sekali—karya kreatif faktual si Muhammad Saleh, Syair Lampung Karam, ditemukan di rak filologi Leiden sekitar 100 tahun setelah terbit, dan barulah Lampung tahu akan adanya sastra fakta yang mengerikan—, padahal kita bisa memulai semua itu dari titik penghargaan pada seni dan pengetahuan yang ada di Lampung ini. Eksistensi Hadiah—panggillah—Mohammad Saleh kuasa jadi penanda untuk seni serta pengetahuan yang meramu mitos, sejarah, fakta riil, dan kelenturan dari fiksi sebagai media (bahasa) ungkap, hingga tak cuma seniman yang dihargai tapi juga intelektual dari kampus. Mudah-mudahan ada celah agar tak terjadi ironi: justru orang Sunda nan menghargai bahasa dan budaya kreatif Lampung. n
Beni Setia, Pengarang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 September 2014
No comments:
Post a Comment