Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda
DI Pulau Jawa, Sulawesi, dan di tempat-tempat lain hanya Raja saja yang boleh dianggap sebagai keturunan dewa atau makhluk-makhluk langit yang turun ke bumi. Berbeda halnya dengan di Lampung. Semua orang Lampung mempunyai cikal-bakal yang tinggi.
Menurut cerita, nenek-moyang orang Lampung adalah seekor naga atau ular yang terbang dan akhirnya mendarat di ujung selatan Pulau Sumatera. Ia menetaskan beberapa butir telur. Setiap butir telur itu menjadi nenek-moyang salah satu marga. Legenda kedua tentang asal-mula orang Lampung mengisahkan tentang seorang lelaki yang tinggal di daratan Asia. Ia bernama Walli-Ollah. Ia berlayar di atas sebuah kapal yang terbuat dari kain berwarna putih. Namanya dan kain putih yang menjadi kapalnya menunjukkan kesaktiannya. Setelah berpetualang ke mana-mana, ia akhirnya mendarat di Pulau Sumatera, di sebelah utara Lampung.
Di tempat itu, makhluk halus bernama Radja Prie memberinya nama Radja Jsihandan. Ia kemudian menikahi dua orang perempuan. Istri yang pertama melahirkan seorang anak lelaki. Istri yang kedua dihamili oleh Radja Prie dan melahirkan seorang anak perempuan (yang dianggap sebagai anak sendiri oleh Radja Jsihandan). Sewaktu anak lelaki itu mandi di sebuah sungai. Saking asyiknya ia berenang dan bermain air, ia sama sekali tak memperhatikan lingkungan sekitarnya. Seekor ular berenang mendekatinya dan mematuknya. Anak malang itu tewas seketika. Supaya tidak terjadi lagi peristiwa nahas seperti itu, Radja Jsihandan memasang kubu yang terbuat dari pohon arang atau ruyung di dekat sungai itu. Tempat itu kemudian dikenal dengan nama Paggar Ruyung.
Pada suatu malam, ketika anak yang perempuan sedang tidur, ia dihamili oleh makhluk halus. Walaupun ia akhirnya melahirkan seorang anak lelaki, kemarahan Radja Jsihandan tak dapat ditahan lagi. Direnggutnya bayi lelaki itu dari tangan ibundanya. Sekuat tenaganya, Radja Jsihandan membuang bayi itu ke laut. Pada saat itu, seekor elang—yang mungkin memang diutus oleh makhluk halus yang menjadi ayahanda bayi itu—menukik dan memungut bayi itu dari atas ombak yang mengombang-ambingkannya.
Elang itu terbang ke puncak sebuah gunung. Dengan hati-hati, ia meletakkan bayi itu di tanah, di bawah sebuah pohon. Entah bagaimana, bayi lelaki itu bertahan hidup di sana. Ia bernama Sabatang. Setelah berpuasa, bersemedi dan melakukan entah apa lagi, Sabatang menjadi terkenal dengan nama Nachoda Radeen Pahawang.
Ia berkelana. Di tengah laut, ia bertemu dan bertempur dengan kapal jongkong China. Entah berapa lama ia menggempur armada pedagang-pedagang China itu. Akhirnya, ia berhasil menaklukkan mereka. Kapal jongkong yang terbesar terbalik dan menjadi Pulau Bangka. Konon, namanya sampai termasyhur ke Pulau Jawa.
Di ujung petualangannya, ia tiba di tempat asalnya. Ia tidak membuka rahasia asal-usulnya kepada siapa pun di tempat itu. Karena ia sudah menjadi terkenal sebagai lelaki yang perkasa, ia diizinkan menikah dengan seorang gadis cantik, yang sebetulnya saudara sepupunya sendiri. Gadis itu adalah salah seorang cucu kakeknya. Istrinya itu melahirkan 7 orang anak. Keenam anak yang pertama tidak mendapatkan keturunan, kecuali anak bungsu yang bernama Si Lampung. Setelah dewasa, Si Lampung lebih dikenal dengan nama Oempoe Serinting.
Si Lampung atau Oempoe Serinting diberkahi dengan sejumlah anak, cucu dan cicit yang jumlahnya semakin lama semakin banyak. Anak dan keturunannya menyebar ke arah selatan dan membangun permukiman-permukiman di daerah yang kini dikenal dengan nama Lampung. Kepala keluarga pertama yang mendirikan dan tinggal di suatu daerah menjadi kepala boeai. Masing-masing kesatuan kekerabatan itu—yang kesemuanya merupakan keturunan Si Lampung—diberi nama sesuai dengan nama pendirinya.
JHT sendiri mengenal sekitar 40 boeai, akan tetapi ia menduga jumlahnya lebih banyak lagi. Setiap orang Lampung mengetahui boeai asalnya. Urutan migrasi ke selatan dari anak-anak Si Lampung tampaknya merupakan faktor penentu hak atas wilayah-wilayah tertentu. Boeai yang pertama kali datang memiliki hak utama atas daerah itu.
Tidak diketahui kapan persisnya terjadi migrasi ke bagian selatan Pulau Sumatera. Tidak pula diketahui kapan persisnya kurun waktu kehidupan Si Lampung dan anak-keturunannya. Kepada JHT, kepala boeai Soebing bercerita bahwa ia memiliki bukti-bukti dirinya merupakan kepala adat yang kesembilan belas. Seandainya pernyataannya dianggap benar dan seandainya diasumsikan masa kepemimpinan setiap kepala adat memimpin sekitar 30 tahun, maka Si Lampung hidup kira-kira 550 tahun sebelum JHT menulis artikelnya—sekitar pada 1280.
Petualangan Sebatang, ayahanda Si Lampung, diperkirakan terjadi ketika kerajaan Majapahit berkuasa di Pulau Jawa (di antara 1221—1400 di kalender Jawa). Kalau 1310 (pertengahan rentang waktu kerajaan Majapahit) diambil sebagai titik tolak dan diasumsikan cucu-cucunya 40 tahun kemudian mulai berpindah ke Lampung, maka migrasi itu terjadi sekitar 1430. n
Acuan Kepustakaan:JHT Nederlandsche Hermes: Tijdschrift voor Koophandel, Zeevaart, Nijverheid, Wetenschap en Kunst No 7, 1830 (Amsterdam: M. Westerman).
Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 September 2014
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda
DI Pulau Jawa, Sulawesi, dan di tempat-tempat lain hanya Raja saja yang boleh dianggap sebagai keturunan dewa atau makhluk-makhluk langit yang turun ke bumi. Berbeda halnya dengan di Lampung. Semua orang Lampung mempunyai cikal-bakal yang tinggi.
Tapis Naga. (http://megabordir.blogspot.com) |
Di tempat itu, makhluk halus bernama Radja Prie memberinya nama Radja Jsihandan. Ia kemudian menikahi dua orang perempuan. Istri yang pertama melahirkan seorang anak lelaki. Istri yang kedua dihamili oleh Radja Prie dan melahirkan seorang anak perempuan (yang dianggap sebagai anak sendiri oleh Radja Jsihandan). Sewaktu anak lelaki itu mandi di sebuah sungai. Saking asyiknya ia berenang dan bermain air, ia sama sekali tak memperhatikan lingkungan sekitarnya. Seekor ular berenang mendekatinya dan mematuknya. Anak malang itu tewas seketika. Supaya tidak terjadi lagi peristiwa nahas seperti itu, Radja Jsihandan memasang kubu yang terbuat dari pohon arang atau ruyung di dekat sungai itu. Tempat itu kemudian dikenal dengan nama Paggar Ruyung.
Pada suatu malam, ketika anak yang perempuan sedang tidur, ia dihamili oleh makhluk halus. Walaupun ia akhirnya melahirkan seorang anak lelaki, kemarahan Radja Jsihandan tak dapat ditahan lagi. Direnggutnya bayi lelaki itu dari tangan ibundanya. Sekuat tenaganya, Radja Jsihandan membuang bayi itu ke laut. Pada saat itu, seekor elang—yang mungkin memang diutus oleh makhluk halus yang menjadi ayahanda bayi itu—menukik dan memungut bayi itu dari atas ombak yang mengombang-ambingkannya.
Elang itu terbang ke puncak sebuah gunung. Dengan hati-hati, ia meletakkan bayi itu di tanah, di bawah sebuah pohon. Entah bagaimana, bayi lelaki itu bertahan hidup di sana. Ia bernama Sabatang. Setelah berpuasa, bersemedi dan melakukan entah apa lagi, Sabatang menjadi terkenal dengan nama Nachoda Radeen Pahawang.
Ia berkelana. Di tengah laut, ia bertemu dan bertempur dengan kapal jongkong China. Entah berapa lama ia menggempur armada pedagang-pedagang China itu. Akhirnya, ia berhasil menaklukkan mereka. Kapal jongkong yang terbesar terbalik dan menjadi Pulau Bangka. Konon, namanya sampai termasyhur ke Pulau Jawa.
Di ujung petualangannya, ia tiba di tempat asalnya. Ia tidak membuka rahasia asal-usulnya kepada siapa pun di tempat itu. Karena ia sudah menjadi terkenal sebagai lelaki yang perkasa, ia diizinkan menikah dengan seorang gadis cantik, yang sebetulnya saudara sepupunya sendiri. Gadis itu adalah salah seorang cucu kakeknya. Istrinya itu melahirkan 7 orang anak. Keenam anak yang pertama tidak mendapatkan keturunan, kecuali anak bungsu yang bernama Si Lampung. Setelah dewasa, Si Lampung lebih dikenal dengan nama Oempoe Serinting.
Si Lampung atau Oempoe Serinting diberkahi dengan sejumlah anak, cucu dan cicit yang jumlahnya semakin lama semakin banyak. Anak dan keturunannya menyebar ke arah selatan dan membangun permukiman-permukiman di daerah yang kini dikenal dengan nama Lampung. Kepala keluarga pertama yang mendirikan dan tinggal di suatu daerah menjadi kepala boeai. Masing-masing kesatuan kekerabatan itu—yang kesemuanya merupakan keturunan Si Lampung—diberi nama sesuai dengan nama pendirinya.
JHT sendiri mengenal sekitar 40 boeai, akan tetapi ia menduga jumlahnya lebih banyak lagi. Setiap orang Lampung mengetahui boeai asalnya. Urutan migrasi ke selatan dari anak-anak Si Lampung tampaknya merupakan faktor penentu hak atas wilayah-wilayah tertentu. Boeai yang pertama kali datang memiliki hak utama atas daerah itu.
Tidak diketahui kapan persisnya terjadi migrasi ke bagian selatan Pulau Sumatera. Tidak pula diketahui kapan persisnya kurun waktu kehidupan Si Lampung dan anak-keturunannya. Kepada JHT, kepala boeai Soebing bercerita bahwa ia memiliki bukti-bukti dirinya merupakan kepala adat yang kesembilan belas. Seandainya pernyataannya dianggap benar dan seandainya diasumsikan masa kepemimpinan setiap kepala adat memimpin sekitar 30 tahun, maka Si Lampung hidup kira-kira 550 tahun sebelum JHT menulis artikelnya—sekitar pada 1280.
Petualangan Sebatang, ayahanda Si Lampung, diperkirakan terjadi ketika kerajaan Majapahit berkuasa di Pulau Jawa (di antara 1221—1400 di kalender Jawa). Kalau 1310 (pertengahan rentang waktu kerajaan Majapahit) diambil sebagai titik tolak dan diasumsikan cucu-cucunya 40 tahun kemudian mulai berpindah ke Lampung, maka migrasi itu terjadi sekitar 1430. n
Acuan Kepustakaan:JHT Nederlandsche Hermes: Tijdschrift voor Koophandel, Zeevaart, Nijverheid, Wetenschap en Kunst No 7, 1830 (Amsterdam: M. Westerman).
Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 September 2014
No comments:
Post a Comment