Oleh Djadjat Sudradjat
DI negeri ini kata "diskusi" kerap memunculkan konotasi tak sedap. Ia sebuah forum tukar pikiran, dialog, perdebatan, ruang mencari solusi sebuah soal, yang mestinya menyehatkan. Tapi, kemudian dipahami sebagi aktivitas banyak bicara tapi hampa makna. Sebab, sejak lama diskusi memang tak bertemu tuju. Diskusi berpokok dan bersoal tapi tak mengubah suatu hal. Ia akan seperti sedia kala.
Suasana akan kembali gaduh pada diskusi selanjutnya. Tapi, justru karena problem tak pernah diurai, diskusi justru jadi penting. Setidaknya ia jadi ruang "katarsis". Ruang penglepasan. Kanal yang meletupkan seluruh kejengkelan rupa-rupa problem. (Bukankah ini jauh lebih baik dari anarkisme di ruang publik?)
Tetapi, memang, umumnya "tradisi" diskusi kita "dari kita untuk kita". Kita punya gagasan, kita yang mendiskusikan, kita yang mendengarkan. Kita pula yang frustrasi. "Kita" yang hanya bisa bicara. Wajar, setelah itu aneka gagasan, usulan, rekomendasi, "melayang-layang di udara", tak pernah jatuh ke "bumi". Atau bagi para elite negara, diskusi mungkin tak menarik, karena bukan "proyek" (?)
Karena itu, saya ingin mengapresiasi diskusi buku Dari Oedin ke Ridho, yang digelar atas kerja sama Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hak Asasi Manusia Universitas Lampung, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung, dan Lampung Post, Rabu (17/9). "Ini baru diskusi. Ini diskusi baru." Baru karena diskusi digelar lesehan di kantin Lampung Post yang bersahaja tapi dihadiri hampir seluruh elite Lampung. AJI yang selama ini terkesan berjarak dengan sesuatu yang berbau pemerintah juga tak "alergi".
Mereka yang hadir, antara lain Gubernur Lampung Mohammad Ridho Ficardo, Wakil Gubernur Bachtiar Basri, Kapolda Lampung Brigjen Heru Winarko, para akademisi, anggota DPD, para kepala dinas provinsi, seniman, dan beberapa aktivis. Buku yang merupakan kumpulan tulisan terpisah yang pernah dimuat Lampung Post, memang berupa harapan perubahan untuk Lampung di bawah gubernur baru yang muda belia itu.
Di ruang diskusi, berbagai unek-unek seperti tradisi rolling pejabat dibuka dan Gubernur santai menjawab. "Setiap pemimpin baru pasti ingin pemerintahannya berlari cepat. Ini memang tak bisa menyenangkan semua pihak. Sudah pasti tak bisa dihindari subjektivitas," jawab Ridho jujur.
Tentang wakil gubernurnya yang lebih senior dan lebih berpengalaman, bahkan Ridho lebih terus terang. Ia mengaku lebih banyak belajar. Bachtiar memang punya jam terbang tinggi di pemerintahan.
"Ada hal-hal yang menurut saya benar setelah dikoreksi Pak Wagub ternyata salah," kata Ridho disambut tawa hadirin. Ringan dan cair. Sebuah sekat telah dibuka.
Kado "harapan" pada gubernur baru itu, diterbitkan secara patungan sebagai kado 100 hari pemerintahan Ridho-Bachtiar. Inilah tradisi swadaya dan sebagai partisipasi publik, yang mesti dimaknai secara kreatif dan produktif oleh Gubernur. Inilah pintu masuk untuk mendekatkan elite dan rakyatnya. Untuk menghasilkan pemerintahan yang memuliakan publiknya. Bukan hanya memuliakan para pejabatnya.
Bukankah terpilihnya Joko Widodo sebagai presiden membuktikan pusat keterpukauan publik pada pemimpin kelas priyayi dan kesatria tampan telah usai? Ia telah digantikan dengan sosok ndeso dan bersahaja yang dekat dengan rakyat? DKI Jakarta juga punya model Ahok yang tegas dan kerap menyelesaikan persoalan cukup lewat pesan pendek dari warganya.
Ridho-Bachtiar sebagai pemimpin Lampung, tak bisa terlalu jauh berjarak dari model Jokowi dan Ahok dalam keseriusan mengurus publik. Sebab, rakyat Lampung akan dengan mudah membandingkannya. Kekuasaan yang kaku, berjarak, berbelit, antikritik, tertutup, menghamba pada kekuatan modal, pasti akan menjadi musuh publik. Dan, Ridho bisa memanfaatkan ruang diskusi yang cair seperti tempo hari, untuk lebih membuka sekat lagi, untuk menguatkan dan mengefektifkan pemerintahannya. Demi publik, demi Lampung.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 September 2014
No comments:
Post a Comment