Oleh Imelda*
ADA banyak alasan mengapa bahasa Lampung layak distandarisasikan. Alasan-alasan tersebut tentunya beragam, tergantung pada siapa yang mengungkapkan. Kini saya menyatakan bahwa alasan yang paling penting pembuatan standar bahasa Lampung ialah aktualisasi identitas ke-Lampung-an. Alasan minor lainnya ialah karena bahasa Lampung digembar-gemborkan akan punah. Tentu kita semua tidak senang apabila aset budaya ini tergerus zaman.
Pada tulisan ini saya hanya ingin memfokuskan alasan yang pertama. Bagi saya alasan itu sangat penting karena lewat bahasa, kekuatan politik orang Lampung, khususnya yang berdarah asli, dibawa ke dalam sebuah arena. Keikutserataan dalam arena politis ini, secara langsung atau tidak, memberikan ruang untuk mempertahankan eksistensinya di tengah-tengah keminoritasan, dalam arti jumlah.
Tulisan kedua mengenai standarisasi bahasa ini saya buat untuk menjawab dua tanggapan yang ditulis Saudara Fachruddin (http://fachruddin54.blogspot.com/2009/05/standardisasi-bahasa-lampung.html) dan Saudara Asarpin (Lampung Post, 12 Juni 2009). Tanggapan untuk keduanya tidak akan saya tulis terpisah, tetapi saya jawab secara simultan, karena ada substansi yang tampaknya kurang lebih sama.
Pertama saya ingin meluruskan bahwa seminar yang saya ikuti adalah seminar Revitalisasi Budaya Lampung (Unila, 14 Mei 2009). Hal lain yang menurut saya terdengar minor ialah bahwa saya memberikan tudingan bahwa "Dalam pengamatan Imelda dari jauh, ada sebagian orang Lampung mementingkan subetnis dan ego" (Asarpin; Lampost). Saya kira ini keliru karena apa yang saya tarik sebagai hipotesa adalah sesuatu yang tertangkap cukup jelas.
Ada perdebatan yang hangat di sana, saat saya bertanya mengenai identitas ke-Lampung-an, khususnya mengenai bahasa apa yang akan dipilih untuk mengaktualisasikan identitas tersebut. Sayang sekali pemberi tanggapan tidak hadir saat itu. Hal lain yang tidak kalah pentingnya ialah bahwa saya tidak mengamati dari jauh, karena saya lahir dan besar di dalam komunitas ini.
Sayang sekali saudara Asarpin mengabaikan perdebatan yang menjadi inti kerumitan realitas pengajaran bahasa Lampung ini. Kalau saya boleh mengatakan, ini adalah simpul yang perlu diurai apabila pengejawantahan pengajaran bahasa Lampung mau lebih baik.
Hal yang paling hangat adalah ketika ada usulan agar Lampung cadang yang diangkat sebagai bahasa standar. Saya tidak ingin mengatakan hal ini keliru, tetapi pandangan orang Lampung sendiri terhadap ragam ini yang keliru. Kekeliruan tersebut terwujud dalam sindiran, hinaan, atau sebutan cadang (rusak) yang menempel.
Hadirnya ragam campuran dialek a dan o itu merupakan sebuah realitas yang normal saja, karena ketika ada dua kelompok bertemu dalam suatu lokus tentu mereka tidak dapat mengelak untuk saling berkomunikasi. Bukankah ini sesuatu yang positif? Dengan kata lain, realitas yang terejawantah dalam bahasa mereka adalah sebuah fakta yang wajar dan marilah kita mulai memberikan pandangan yang positif juga dengan sebutan yang tidak merendahkan.
Pendapat yang saya paparkan tersebut tidak lantas menjadi dukungan terhadap penggunaan ragam tersebut sebagai bahasa standar, karena ada beberapa prasyarat yang perlu ditanyakan kembali. Prasyarat tersebut antara lain: (1) Apakah sudah ada generasi yang menggunakan bahasa ini sebagai bahasa pertama/mother tongue? (2) Apakah ada karya-karya seni (puisi, cerita-cerita rakyat, dll) yang berbahasa ini? (3) Apakah bahasa ini diapresiasi secara positif? dan (4) Apakah cukup mudah dipelajari?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu behubungan dengan keberlanjutan ragam ini di masa depan dan dari pertanyaan-pertanyaan tersebut yang sebenarnya menjaga kelangsungan ialah seberapa besar penerimaan masyarakat terhadap bahasa ini. Dengan kata lain, keputusan pemilihan bahasa standar dalah keputusan bersama yang melibatkan masyarakat sebenarnya, bukan birokrat.
Setakat di sini, saya melihat bahasa Lampung yang dikembangkan sejak beberapa tahun yang lalu tidak begitu berkesan baik. Bahkan, saya pernah mendengar dari seorang budayawan Lampung bahwa pengajaran bahasa ini hanya mampu mengajarkan anak-anak menulis aksara, bukan menggunakan bahasa. Dapat dikatakan bahwa bahasa tersebut tidak cukup memiliki nyawa untuk hidup dan "mengada" di dalam jiwa generasi muda Lampung.
Kenyataan tersebut tentu memprihatinkan dan juga menjadi sebuah tanda adanya ketidakberesan dalam proses standardisasi bahasa Lampung di masa Lalu. Salah satu contoh nyata ialah problematika penulisan bunyi r trill dalam ortografi, yang diangkat oleh Saudara Asarpin. Apakah bunyi tersebut ditulis r atau kh/gh? Sebagai linguis, saya lebih senang apabila ditulis dengan bunyi sejatinya, yaitu r.
Pertanyaan saya kemudian adalah apakah ketika mengucapkan khadu, maka bunyi k dan h yang keluar? Atau hanya suara yang mirip saja k dan h saja? Pertanyaan ini tentunya saya kembalikan kepada perannya karena bagi saya bunyi r tersebut sudah cukup jelas. Saya kira dalam ortografi orang Prancis yang bunyi r-nya mirip dengan kita, tidak ditulis dengan kh. Pula, ketika mereka membaca tidak ada kekeliruan pengucapan bunyi tersebut, karena mereka sadar teks bahasa apa yang mereka baca.
Demikian pula dengan pembaca teks Lampung, saya kira Udo Z. Karzi tidak akan keliru melantunkan ketika bertemu bunyi-bunyi r di dalam sajak-sajaknya.
* Imelda, Peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI
Sumber: Lampung Post, Rabu, 1 Juli 2009
No comments:
Post a Comment