LAMPUNG memang untuk Indonesia. Mungkin kalimat ini berlebihan dan bombastis. Lampung seakan "menghidupi" Indonesia. Masak iya sih provinsi kecil menghidupi negara sebesar ini? Tapi, sejumlah fakta sangat mungkin membenarkan kalimat ini. Sejumlah komoditas asal Lampung "menguasai" pasar Indonesia.
Lampung tercatat sebagai produsen gula nasional terbesar. Menurut Ketua Bappeda Lampung Fahrizal Darminto, produksi gula Lampung mencapai 35 persen produksi nasional. Komoditas lain, produksi tapioka sebesar 60 persen produksi nasional, kopi robusta sebesar 85 persen produksi nasional.
Sementara produksi nanas kaleng sebesar 26 persen pemasok kebutuhan dunia, ekspor udang ke Amerika terbesar dari Indonesia. Sekitar 150 ribu ekor ternak dari Lampung dipasok ke wilayah Banten, Jabodetabek, dan beberapa provinsi di Sumatera.
Produksi jagung Lampung merupakan 11,22 persen produksi jagung nasional dan 53,66 persen di Sumatera. Sebanyak 24,43% produksi singkong nasional (81,95% di Sumatera).
Khusus gula, volumenya mencapai 750�800 ribu ton per tahun. Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri Dinas Perindusrian dan Perdagangan Lampung Deddy Syailendra mengatakan produksi gula tersebut dihasilkan oleh sejumlah pabrik gula dalam skala besar milik swasta dan BUMN. Pabrik-pabrik gula tersebut adalah Gunung Madu Plantations (GMP), Gula Putih Mataram (Sugars Group) di Lampung Tengah, Sweet Indo Lampung, Indo Lampung Perkasa (Sugars Group) di Tulangbawang, dan Bungamayang (PTPN VII) di Lampung Utara.
"Kalangan produsen ini juga berencana melakukan ekspansi dan membuka lahan baru. Mereka menggunakan sistem inti plasma atau mengambil alih lahan milik swasta atau masyarakat yang menganggur dengan sistem sewa tanah," kata Deddy ketika berkunjung ke Bandar Lampung, Juni tahun lalu.
Apalagi, ujarnya, sejumlah kabupaten masih memiliki peluang dan prospek untuk mengembangkan lahan tanaman tebu untuk gula, di antaranya daerah Blambangan Umpu dan Gedungpakuon (Way Kanan), Mesuji, Menggala (Tulangbawang), Lampung Timur, dan Lampung Tengah.
Deddy menambahkan sebuah perusahaan yang merupakan anak perusahaan GMP telah mengembangkan tanaman tebu di Pakuonratu. Meskipun lahannya kini sebagian diklaim masyarakat. Tebu tersebut dikirim ke Lampung Tengah untuk digiling. Gula asal Lampung menjadi konsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia kecuali Papua, dengan kisaran harga mencapai Rp10 ribu�Rp12 ribu per kilogram.
Menurut Fahrizal, pertumbuhan ekonomi Lampung terus naik dari tahun ke tahun termasuk antara 2007 dan 2009, saat di mana ekonomi dunia mengalami krisis. Pada 2007, pertumbuhan ekonomi Lampung sebesar 3,76%, meningkat menjadi 4,76% pada 2008, dan pada 2009 menjadi 5,07%. PDRB meningkat, IPM meningkat, NTP juga meningkat, sementara kemiskinan menurun.
"Keunggulan Lampung tersebut sesungguhnya berkontribusi besar terhadap penerimaan devisa negara," ujar Fahrizal. Hal ini membuktikan Provinsi Lampung tangguh terhadap guncangan ekonomi global.
Dalam kaitan itu, kata dia, adalah sangat pantas bila Provinsi Lampung diprioritaskan dalam pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik sebagai kompensasi devisa yang diterima oleh negara.
"Kami juga mengusulkan untuk memperoleh dana bagi hasil perkebunan, juga dana bagi hasil migas dan pertambangan karena Provinsi Lampung oleh pipa gas dan jalur angkutan batu bara," kata dia.
Berbagai komoditas yang memasok sebagian besar produksi nasional ini memang diproduksi di Lampung. Pertanian dipastikan menjadi urat nadi utama pencarian rakyat Lampung, khususnya di perdesaan.
Dalam catatan Bappeda, sekitar 60 persen mata pencarian bersumber dari pertanian. Persentase ini jauh lebih besar dibanding sektor lain seperti perdagangan dan jasa. Namun, share bidang pertanian terhadap PDRB Lampung hanya 34 persen. Kondisi ini terbalik dengan sektor lain. Fakta ini menunjukkan pertanian yang lebih besar belum memberikan banyak kontribusi bagi kehidupan ekonomi dan pembangunan Lampung.
Untuk mengatasi hal itu, pihaknya akan mendayagunakan agar pertanian mampu lebih memberikan kontribusi bagi kehidupan ekonomi rakyat. Pihaknya akan melakukan banyak cara mulai dari perbaikan sistem, teknologi, bantuan modal, dan sebagainya. Jadi, bukan dengan meminimalisasi sektor pertanian dan menggantikannya dengan sektor jasa dan perdagangan.
Di sini, peran investor cukup besar jika mereka berinvestasi di bidang pertanian/perkebunan dengan mendepankan kearifan lokal, termasuk kemungkinan previlese harga jual komoditas kepada rakyat yang lebih rendah dibandingkan dengan dijual bukan pada warga Lampung. (IYAR JARKASIH/HESMA ERYANI)
Sumber: Lampung Post, Senin, 16 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment