BANDAR LAMPUNG--Nilai rapor Sinta Bella, siswa kelas 7 salah satu MTs di Bandar Lampung, untuk bahasa Lampung membanggakan. Tidak pernah kurang dari 8, bahkan saat ulangan nilainya selalu 10.
"Kalau mengerjakan ulangan saya bisa, karena sejak kelas 1 saya belajar berbagai istilah dalam bahasa Lampung mulai dari kata benda hingga kata kerja," kata Sinta, kemarin. Namun, karena guru dan teman-temannya tidak pernah mengajaknya berbahasa Lampung, dia mengaku tidak bisa bercakap-cakap dalam bahasa daerah itu.
"Tapi, kalau ada orang berbicara bahasa Lampung saya ngerti sedikit-sedikit," kata siswa yang juga pandai menulis aksara Lampung.
Hal serupa juga dialami Ayu, siswa salah satu SMAN di Bandar Lampung. Ayu yang sudah belajar bahasa Lampung sejak kelas 1 SD hingga kelas 9 SMP menguasai banyak sekali kata-kata dalam bahasa Lampung. Dia juga gapah menulis aksara Lampung. Namun, jangan mengajaknya bercakap-cakap dalam bahasa Lampung, karena dia akan kebingungan bagaimana menerapkan ilmu yang diperolehnya dalam percakapan sehari-hari.
"Saya belajar bahasa dan huruf Lampung selama sembilan tahun, tapi tetap saja tidak bisa ngomong Lampung," kata siswa cantik tersebut.
Seperti kata pepatah, ala bisa karena biasa. Tidak kala keren pepatah Inggris mengatakan ®MDRV¯language is habbits®MDNM¯ atau ®MDRV¯language is practice®MDNM¯, bahasa itu pembiasaan dan praktek. Masuknya bahasa Lampung dalam muatan lokal atau mulok memang mendorong siswa SD dan SMP di Lampung untuk menguasai vocabularry dalam bahasa daerah yang membanggakan tersebut.
Namun, karena minimnya interaksi dalam bahasa Lampung dalam kehidupan sehari-hari, banyak warga yang lahir dan besar di Lampung, namun anak bukan orang Lampung asli, tidak bisa berbahasa Lampung. Keluhan tentang sulitnya bercakap-cakap dalam Lampung tidak hanya dikeluhkan para siswa. Para orang tua yang sebagian besar pendatang juga kesulitan saat mengajari putra-putrinya berbahasa Lampung.
"Saya pusing kalau sudah ada PR bahasa Lampung, mau nanya tetangga, mereka juga tidak tahu, saya sendiri tidak menguasai. Masih mending kalau ada PR bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya, banyak yang menguasai," kata Pita, ibu dua anak yang tinggal di Way Dadi.
Kepala Subdinas Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Lampung, Maedasuri mengakui, tidak adanya percakapan dalam bahasa Lampung menghambat penguasaan siswa terhadap bahasa daerah ini. Untuk itu, pihaknya akan membicarakan dengan MKKS, dan MGMP untuk kembali mewajibkan siswa berbahasa Lampung pada hari-hari tertentu.
Tidak adanya tenaga pendidik yang mumpuni juga menjadi kendala dalam pendidikan Bahasa Lampung di sekolah dasar.
Selain itu, standar kompetensi yang disusun untuk pendidikan muatan lokal bahasa Lampung lebih menitiktekankan pada penggunaan aksara.
Seperti yang diakui oleh Hadrianis salah seorang guru di sekolah dasar negeri 2 Taman Sari kecamatan gedong tataan kabupaten pesawaran kepada Lampung Post kemarin, Jumat (6-8).
"Saat ini siswa lebih diajarkan kepada pengenalan aksara lampung dan pengenalan kosa kata bahasa Lampung. Dalam mengajarkan muatan lokal kita memangbelum kepada percakapan dalam bahasa lampung," kata Hadrianis.
Ia menjelaskan siswa kelas I hingga kelas VI disekolahnya mendapatkan pendidikan muatan lokal bahasa lampung, Untuk kelas I hingga kelas III selama seminggu mendapat satu kali dua jam dalam seminggu, sedangkan untuk kelas IV hingga kelas VI mencapai tiga jam pelajaran selama satu minggu.
"Pengajaran aksara lampung jauh lebih memungkinkan ketimbang mengajar bahasa Lampung, karena tidak semua guru kelas mampu berbahasa lampung, kecuali mereka yang bersuku Lampung," kata dia.
Hadrianis mengatakan, selama ini hampir semua sekolah dasar disekitar tempatnya mengajar sulit menemukan guru bidang studi bahasa Lampung. Makanya pengajaran bahasa Lampung atau aksara lampung dilakukan oleh guru kelas. "Tapi memang selama penerimaan pegawai negeri sipil tidak pernah ada formasi untuk guru bahasa lampung," kata dia.
Mengenai penyusunan kurikulum Hadrianis mengatakan, memang setiap sekolah dapat menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan secara (KTSP) secara otonom, tetapi tetap berdasarkan pagu atau kompetensi yang ditentukan oleh dinas pendidikan, dan selama ini untuk muatan lokal bahasa lampung memang kompetensinya lebih kepada pengenalan bahasa Lampung.
Ia mengatakan agar pendidikan bahasa lampung dapat berjalan baik, harus dilakukan oleh guru bidang studi bersangkutan. "Unila harus membuka pendidikan bahasa lampung di sisi lain pemerintah juga membuka lowongan bagi tenaga pendidik bahasa lampung," kata dia.
Jika tidak sekolah tidak bisa menyelenggarakan pendidikan bahasa lampung lebih baik karena pengajarannya akan diserahkan kepada guru kelas saja. "Mereka hanya dibekali pendidikan dan pelatihan untuk pengajaran bahasa Lampung saja," kata dia. (SRI WAHYUNI/ABDUL GHOFUR)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 7 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment