Oleh Iwan Gunadi*
KEMISKINAN menjadi salah satu masalah besar Indonesia sejak negeri ini diluluhlantakkan krisis moneter pada 1997. Berbagai upaya menekan angka kemiskinan ditempuh, termasuk mendirikan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), tapi jumlah orang miskin tetap besar. Per Maret 2010, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah mereka 31,02 juta jiwa atau 13,33% dari jumlah penduduk Indonesia.
Jalan pintas yang sering dikedepankan untuk mengatasi kemiskinan adalah memberikan kegratisan atau subsidi pada sektor-sektor tertentu pembangunan supaya orang miskin membayar dengan harga yang lebih murah. Dari berbagai jalan pintas tersebut, kita mengenal bantuan langsung tunai (BLT), beras untuk keluarga miskin (raskin), biaya kesehatan gratis (jaminan kesehatan masyarakat atau jamkesmas), dana bantuan operasional sekolah (BOS), sekolah gratis di sejumlah wilayah, bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, tarif listrik yang lebih murah, dan sebagainya.
Berbagai jalan pintas itu tak sepenuhnya dapat disalahkan. Yang sering menjadi persoalan adalah tahap penerapannya. Pendataan yang tak akurat sering membuat berbagai upaya itu salah sasaran, meskipun TNP2K mengaku bahwa jumlah kesalahan target hanya 10% dan angka kesalahan tersebut konon lebih kecil ketimbang di negara-negara besar lain yang lebih maju. Tak heran jika tak sedikit orang mengantre BLT sambil menunggu di atas sepeda motor atau setelah memarkir sepeda motornya dan memencet-mencet keyboard telepon seluler (ponsel)-nya. Tak sedikit orang mengurus jamkesmas supaya bisa berobat secara gratis, padahal setiap hari dia minum air dingin dari kulkas, menonton sinetron di televisi, menanak nasi dengan dangdang elektronik, dan berangkat kerja mengendarai sepeda motor.
Kemiskinan memang bukan hanya persoalan pendapatan. Kalau cuma itu yang jadi soal, jawabannya relatif mudah. Jika negara mampu mendongkrak pendapatannya, program jalan pintas seperti pemberian fasilitas gratis pada berbagai bidang kehidupan atau tunjangan dana akan mampu menekan jumlah orang miskin. Sekurangnya, orang miskin tak akan menciptakan problem baru bagi masyarakat dan negara. Kalau mau lebih elegan, pemerintah mampu merangsang dan memaksa sektor riil menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih banyak sehingga apa yang disebut sebagai kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif terkikis atau terkurangi secara signifikan.
Sayangnya, kemiskinan lebih merupakan problem mental. Praktek feodalisme yang telah mengakar lama pada mental manusia Indonesia merupakan lahan yang subur untuk tumbuh-kembangnya mental miskin. Feodalisme menggiring masyarakat ke dalam wilayah subordinasi orang yang menjadi atasan, orang yang diseniorkan, ataupun orang yang dituakan. Akibatnya, daya juang dan daya saing masyarakat terkurung rasa segan, takut, dan rikuh. Pasrah menjadi konsekuensi berikutnya lantaran mereka menganggap kepasrahan atau kepatuhan kepada orang yang menjadi atasan, orang yang diseniorkan, ataupun orang yang dituakan akan menjamin mereka memperoleh setiap keinginan atau bahkan mimpi.
Mental malas dan ogah bekerja keras pun terbentuk. Rasa malu sebagai manusia yang tak mampu maju secara mandiri pun terkikis. Kreativitas individu terkubur. Apalagi, inovasitas individu. Yang penting, pandai menjilat. Makin pintar menjilat, makin mudah mewujudkan setiap keinginan atau mimpi.
Kalau sudah begitu, dalam perspektif psikoanalisis Sigmund Freud, kepribadian mereka lebih dikuasai id. Mereka tak lagi memegang teguh prinsip kesenangan berbasis moral, memedulikan realitas, dan menyensor diri. Logika yang mengacu pada prinsip realitas (ego) terbenam. Begitu juga sistem kepribadian yang berlandaskan norma dan nilai sosial (superego) Maka, tak ada lagi keseimbangan antara id, ego, dan superego dalam kepribadian mereka.
Sementara, dalam horison sosiologis, David Emile Durkheim, salah satu pengagas sosiologi modern asal Prancis, menyebutnya sebagai anomi. Pada kondisi seperti itu, cita-cita menggapai sesuatu menjadi dambaan umum yang memengaruhi pemikiran sebagian besar orang dalam suatu kelompok atau masyarakat, tapi aturan-aturan yang ada tak berkembang sehingga gagal mengatur cara-cara pencapaian cita-cita tersebut, yakni memenuhi kebutuhan pokok atau gaya hidup. Ringkasnya, anomi merupakan gejala kegamangan ketika nilai baru belum terbentuk, tapi nilai lama makin tergerus sehingga individu terasing dari lingkungan masyarakatnya. Hal itu terjadi lantaran penjungkirbalikan status dan peran sosial akibat perubahan dan pembagian pekerjaan dalam masyarakat.
Orang miskin yang punya mental miskin pasrah pada kemiskinannya, lalu hanya menunggu belas kasihan orang lain. Kemiskinan telah menjadi ritual. Orang kaya yang punya mental miskin menarik diri dari habitat aslinya dengan cara bersalin hati dengan memanfaatkan fasilitas yang bukan menjadi haknya.
Tak heran jika banyak orang punya mobil pribadi, termasuk mobil mewah, tapi mengantre BBM bersubsidi di stasiun pengisian bahan bakar (SPBU). Mereka mampu membeli mobil, tapi tak sudi membeli BBM nonsubsidi. Padahal, dengan mengisi tangki bahan bakar dengan BBM nonsubsidi, mereka tak akan jatuh miskin.
Pemerintah membangun tak sedikit rumah susun sederhana untuk kelompok masyarakat yang kurang mampu, tapi tak sedikit pula orang mampu yang kemudian meninggali dan memilikinya. Banyak rumah sederhana (RS) dan rumah sangat sederhana (RSS) dibangun berbagai perusahaan pengembang untuk kelompok masyarakat yang belum beruntung, tapi banyak pula penghuninya mengisi rumah-rumah itu dengan barang-barang elektronika yang menunjukkan mereka beruntung dan kendaraan roda empat diparkir di depan rumah. Banyak orang mengaku miskin, tapi ke mana-mana menunggangi sepeda motor?walau hasil kredit?dan menggenggam telepon seluler. Banyak orang mengaku kere dan tinggal di rumah petak, tapi punya televisi, kulkas, penanak nasi elektronik, serta PlayStation dan DVD player. Banyak orang mengaku kaya, tapi senang membeli DVD bajakan.
Mental miskin tak hanya diidap individu, tapi juga kelompok. Misalnya, tak sedikit organisasi ?mengemis? bantuan ke lembaga pemerintah atau badan usaha milik negara (BUMN) dengan mengajukan proposal-proposal tebal untuk merebut dana bantuan sosial (bansos), meski organisasi tersebut dinakhodai pejabat di lembaga pemerintah atau BUMN itu sendiri. Banyak orang mendirikan yayasan, tapi yayasan-yayasan ini mengiba bantuan kepada pihak lain. Bukan pendiri yayasan. Padahal, pendiri yayasan semestinya orang yang kelebihan uang.
Deretan contoh tersebut membuktikan bahwa kemiskinan tak selamanya merupakan sesuatu yang terberikan atau diberikan. Kemiskinan bukan bencana atau musibah yang memalukan, melainkan sebaliknya, pilihan yang menguntungkan. Wajar jika banyak orang dan organisasi seperti berlomba-lomba mengantongi ?sertifikat miskin?. Makin banyak orang atau organisasi bukan saja mendambakan kemiskinan, melainkan juga berjuang sekuat tenaga agar menjadi?atau sekurangnya dianggap ?miskin. Artinya, mental miskin tak hanya menjangkiti orang secara individu, tapi juga secara kolektif. Jadilah kemiskinan laksana salah satu kekayaan utama Indonesia.
Itulah kemiskinan yang sering ditengarai para sosiolog sebagai kemiskinan kultural. Kemiskinan kultural terjadi jika seseorang atau sekelompok masyarakat tak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya, meskipun pihak lain berupaya membantu. Orang atau kelompok seperti ini malah selalu berharap dibantu hingga akhirnya sangat bergantung pada bantuan pihak lain. Padahal, dengan pilihan seperti itu, dia atau mereka mudah diombang-ambing, dikendalikan, dan didikte. Pada titik itu, posisi dia atau mereka lebih rendah dan rentan ketimbang orang miskin yang selalu berusaha keras dan tak pernah mau menadahkan tangan.
Harga diri atau martabat menjadi benda abstrak yang langka di kepala dan dada orang yang bermental miskin. Kalaupun ada, harga diri atau martabat bisa mereka barter dengan harga banting selama pembelinya mau melindungi atau membiayainya. Kalau meminjam aforisma filsuf Prancis, Rene Descartes, cogito ergo sum, mereka dengan bangga bisa mengatakan, "Saya miskin, maka saya ada." Tak ada dalam pikiran mereka untuk berupaya, gagal, berupaya lagi, gagal lagi, berupaya lagi, gagal lagi, hingga akhirnya sukses seperti yang dialami Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat, serta Rhenald Kasali, Azyumardi Azra, dan Yohannes Surya di Indonesia, misalnya.
Boleh jadi, yang ada hanyalah kebanggaan pada kemakmuran masa lalu?jika ada. Misalnya, anak muda ini, yang dengan siapa pun bicara, dia selalu membicarakan dan membanggakan kekayaan nenek moyangnya yang cukup untuk hidup sampai dengan tujuh turunan. ?Tapi, kenapa lu sendiri miskin?? tanya temannya. Dengan enteng, pemuda itu menjawab, "Gimana gue enggak miskin, gue kan keturunan yang kedelapan. Harta nenek moyang gue udah ludes pas keturunan ketujuh, bokap gue."
* Iwan Gunadi, Peminat sosial-budaya
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 7 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment