Pesawaran, Lampung, 14/8 (ANTARA) - "Warahan" atau sastra tutur Lampung yang merupakan salah satu budaya adat setempat terancam punah.
"Warahan merupakan cerita berirama yang dibawakan manakala orang tua melakukan aktivitas di kebun dan saat bercerita kepada anak-anaknya," ujar salah seorang tokoh adat, Haris Fadilah, di Pesawaran yang berjarak sekitar 40 kilometer dari Bandarlampung, Sabtu.
Saat ini, menurut dia, kebudayaan seperti warahan itu sudah sulit ditemui, bahkan sang penutur atau yang bisa membawakan sastra tutur Lampung itu sudah langka.
"Ciri-ciri wawaghahan atau warahan terlihat pada irama yang menyertai cerita tersebut, dan sifatnya liris atau dipengaruhi pribadi dan emosi si pembawa cerita," katanya menerangkan.
Warahan biasanya, sambung dia, dilakukan pada saat sedang bekerja, seperti memetik cengkih atau menuai padi.
Pada masa lalu, lanjut dia, warahan dibawakan oleh orang tua ataupun kakek-nenek dengan dikelilingi anak-cucunya dengan membawakan cerita sejarah pejuang Lampung dan lainnya.
"Cerita rakyat berbentuk warahan itu, antara lain cerita Radin Jambat, Anak Dalom, dan Sanghakhuk," ujar dia.
Mengenai isi dari warahan atau "wawaghahan" bersifat mendidik, menyadarkan semua orang agar berbuat baik. Hal ini mengingat siapa pun orangnya jika berbuat baik akan memperoleh ganjaran setimpal.
"Warahan juga dapat dibawakan atau dituturkan dalam berbagai bentuk, di antaranya dongeng, hikayat, epos, dan mitos," papar dia.
Namun, sambung dia, saat ini penutur dan sastra Lampung berbentuk warahan itu semakin berkurang peminatnya, apalagi generasi muda saat ini.
Untuk itu, kata dia lagi, pemerintah harus senantiasa menciptakan rasa cinta terhadap kesenian daerah setempat sehingga generasi muda dapat lebih mengenal akan budaya tradisional yang cukup menarik tersebut.
"Sastra tutur itu biasanya disampaikan dengan cara dilantunkan dalam bahasa Lampung, berbeda dari sastra lisan Lampung lainnya, misalnya, dadi, pisaan, canggot, bubiti, dan sagata, pesan yang hendak disampaikan dalam warahan dikemas dalam cerita yang memiliki plot dengan tahapan-tahapan yang jelas," kata dia.
Dia mengemukakan warahan dapat ditampilkan dalam setiap kesempatan.
"Karena memang awalnya adalah dongeng dari orang tua kepada anak atau cucunya, lingkungannya lebih terbuka dibandingkan dengan bentuk sastra lisan lain yang lebih terikat pada peristiwa atau perhelatan adat saja," katanya menjelaskan.
Sumber: Antara, 14 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment