BANDAR LAMPUNG (Lampost): Sastra lokal perlu disampaikan dalam bahasa global agar dikenal luas. Bahasa global perlu menjadi medium dalam memperkenalkan kelokalan. Menggunakan bahasa global membuat teks�yang semula disangka lokal�menemukan ruang legitimasi lain.
Demikian benang merah seminar bertajuk Lokal Global dalam Sastra Indonesia di Taman Budaya Lampung, Sabtu (2-10). Seminar dalam rangkaian Temu Sastra Nusantara Mitra Praja Utama (MPU) ini menghadirkan pembicara Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat, Editor Sastra Suara Merdeka Triyanto Triwikromo, dan sastrawan Lampung Asarpin.
Triyanto mengatakan teks bisa menyeberang ke ruang lain dan dibaca orang lain di luar komunitas pembaca awalnya. Hal ini pernah dilakukan Ahmad Tohari dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris hingga bahasa banyumasan ketika teks itu mengglobal.
Bahasa apa pun, menurut Djadjat Sudradjat, bisa digunakan untuk menyampaikan kelokalan. Bagi Djadjat, lokal global bisa dimasuki dan ditinggalkan kapan saja. "Itulah fleksibelnya sastra. Sastra sebagai dunia tanpa komando ini bisa menggunakan bahasa lokal atau global," kata Djadjat.
Dia mengatakan sastra lokal berarti mengangkat hal paling dekat dan berada di sekitar dan tidak harus secara verbal diungkapkan dalam karya. Dia mencontohkan, Marah Rusli, pengarang Siti Nurbaya ini, mengangkat kelokalan Minang.
Djadjat mengungkapkan tidak ada hierarki dalam sastra lokal dan global karena semua memiliki derajat sama. "Tidak benar sastra Indonesia duduk di bawah," kata Djadjat.
Sastra memiliki tempat masing-masing di hati pembaca. Teks sastra akan ditafsirkan berbeda oleh setiap pembaca. Setiap pembaca bebas menafsirkan sastra berdasarkan pemahaman dan pengalaman masing-masing. Djadjat menambahkan Indonesia menyumbangkan puluhan ribu teks sastra kepada dunia.
Sastra Indonesia, menurut Djadjat, sejak lama bersanding dengan sastra dunia. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya sumbangan teks sastra Indonesia kepada dunia. Sastra Indonesia bukan anak bawang. Dia mengatakan sejak lama sastra Indonesia terbuka terhadap pengaruh dari luar.
Pada masa kerajaan Hindu, banyak teks sastra yang dihasilkan. Dengan masuknya pengaruh Islam, banyak penyair yang menghasilkan teks sastra. Begitu pun dengan kedatangan penjajah Belanda. Pengaruh Eropa masuk ke Indonesia dengan kedatangan penjajah. (MG2/R-3)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 3 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment